Cerpen Yuditeha
Belum lama aku bertemu dengan anak gelandangan. Tentu saja dia tidak sekolah, tapi andai sekolah, kira-kira anak itu sekarang kelas lima SD, tapi jalanan tampaknya telah mendewasakan dia lebih cepat. Pada saat itu aku hendak pulang usai menjalani tes pegawai di sebuah dinas kota. Ketika aku sedang menunggu bus antar kota di sebuah halte, anak itu juga sedang berada di sana, asyik menikmati rokok sendirian.
Karena bus yang kutunggu tidak segera muncul, untuk menghalau bosan aku mendekati anak itu, setidaknya bisa menjadi teman selama menunggu di halte. Aku permisi duduk di dekatnya. Sebelum dia mengangguk, sejenak memperhatikan aku dengan tatapan aneh. Karena itulah begitu aku duduk, sengaja tidak langsung mengajak bicara. Aku ingin tahu sikapnya setelah aku berada di sampingnya.
Kuperhatikan bocah itu tetap santai, seperti tidak terpengaruh dengan keberadaanku yang ada di dekatnya, bahkan tampak sangat menikmati rokoknya. Kupertahankan untuk tidak mengajak bicara dulu sampai anak itu menghabiskan rokoknya. Ketika ujung rokok yang terbakar telah mendekati jarinya, dijentikkan tegesan itu ke tengah jalan.
- Iklan -
Pada saat itulah aku ingin mengajaknya bicara, tapi rupanya lebih dulu dia telah mengambil sebatang rokok lagi dalam bungkus yang dia taruh di saku celana. Setelah itu dia melihatku lalu tanpa mengatakan sepatah kata pun dia menyodorkan bungkusan rokok itu kepadaku. Tanpa bicara juga, aku mengambilnya sebatang.
Bocah itu lantas menatap ke jalan, sembari menyalakan rokoknya lagi dengan korek api yang sedari tadi berada di genggamannya. Aku menunggu koreknya. Begitu dia selesai menyalakan rokok, korek itu tetap dia genggam. Lantas aku memberi isyarat kepadanya bahwa aku juga ingin menyalakan rokok. Seketika dia tersadar, gegas mengulurkan korek itu dan menyalakannya. Aku tinggal mengarahkan ujung rokok pada api korek itu sembari pangkal rokoknya kusedot.
“Kau selalu memegang korekmu?” tanyaku usai rokokku menyala.
Pertanyaanku tidak langsung dijawab, tapi dia memandang ke arahku agak lama. Namun lantas pandangannya berubah menjadi seperti tatapan kosong. Tak lama kemudian dia sadar. “Aku tidak ingat, tapi kupikir mungkin iya,” jawabnya kemudian.
“Kau punya masalah dengan korek?”
Dia menggeleng ragu. “Tapi,” ucapnya, tapi tidak dilanjutkan.
“Kenapa?”
Kembali dia menggeleng, dan wajahnya seperti sedang berpikir.
Lantas aku bilang padanya, bahwa dulu aku pernah mendengar ungkapan dari seorang teman, jika ada orang yang suka memegang korek, katanya orang itu punya masalah perihal api di kehidupan masa lalunya. Selesai aku mengatakan hal itu, dengan cepat dia kembali menggeleng.
“Katanya pula, orang yang seperti itu punya obsesi untuk membakar sesuatu,” tambahku.
Anak kecil itu menatapku tajam. Matanya membulat besar, hingga bentuk mata dan wajahnya tampak tidak simetris.
“Kenapa?” tanyaku.
“Kau punya keluarga?” Dia tidak menjawab pertanyaanku, tapi gantian dia yang bertanya. Kupikir dia berusaha mengalihkan topik bicara. Dan aku yang gantian menggeleng untuk menanggapi pertanyaannya.
“Anak?” Dia bertanya lagi.
“Kedua orang tuaku sudah meninggal, sementara aku anak tunggal, dan sampai sekarang belum berkeluarga,” jawabku.
“Bukankah punya anak tidak harus berkeluarga dulu?” sahutnya.
Kembali aku menggeleng, sembari tersenyum. “Kau sendiri gimana?” tanyaku.
“Sebatang kara,” jawabnya cepat.
“Sama sekali tak ada keluarga?”
Lagi-lagi dia menggeleng.
“Berarti kita senasib,” ujarku. “Di mana mereka?” tanyaku sembari tak sadar kepalaku menoleh ke suatu tempat.
“Yang terakhir biasanya lama,” sahutnya.
“Apa?”
“Bus yang terakhir biasanya lewat sekitar 1 jam lagi.”
Spontan aku tertawa, dan dia langsung melihatku. “Maksudku, orang tuamu di mana?” tanyaku memperjelas.
Sepertinya untuk menjawab pertanyaanku, membuat dia harus berpikir. Tampak dari pandangannya kembali mengarah ke jalan yang mulai sepi, sembari menyedot rokoknya dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan. Aku lihat hal itu sepertinya nikmat. Lantas aku meniru apa yang dia lakukan, tapi mungkin karena cara menyedotku mengentak hingga membuatku tersedak. Lantas dia tertawa. Setelah itu kami saling tatap.
“Kata orang ibuku pelacur,” ucapnya.
“Kok katanya?” tanyaku.
“Rumah bordil tempat ibu bekerja dibakar, dan ibu ikut terbakar.”
“Lalu bapakmu?”
Bocah itu menatapku sebelum kembali pandangannya lurus ke depan. “Pertanyaanmu aneh. Ya tentu saja aku tidak tahu bapakku yang mana,” jawabnya kemudian.
“Tapi biasanya perempuan tahu siapa yang berhasil menghamilinya,” sahutku dengan nada pelan karena takut menyinggungnya.
“Katanya pejabat,” tukasnya cepat.
“Kok katanya lagi?”
“Sudahlah, tidak penting!”
“Lalu siapa yang kemudian merawatmu?”
“Seorang gelandangan.”
“Itu namanya kau tidak sebatang kara.”
Anak itu menatapku dengan nanar. Karena itu aku jadi bertanya-tanya, apakah kata-kataku yang baru saja kuucapkan telah menyinggung perasaannya, atau mungkin malah menyakitinya?
“Wilayah yang kami tinggali, yang mereka sebut sebagai tempat kumuh, dan dianggap tak layak berada di kota ini, mereka bakar, dan orang yang merawatku itu ikut terbakar.”
“Maaf,” sahutku.
“Bukan salahmu.”
“Tapi aku membuka lukamu.”
“Ah, mungkin karena itulah aku suka memegang korek api.”
“Kau tidak ingin melakukan sesuatu yang berbahaya, kan?”
“Kau benar.”
“Syukurlah.”
“Maksudku, kau benar, aku memang punya keinginan membakar sesuatu.”
Mendengar perkataannya tentu saja membuatku kaget. Entah mengapa aku merasa apa yang dia ucapkan bukan candaan. Meski dia masih kecil, tapi bila memperhatikan nalarnya memang bisa merujuk ke sana. Lantas dengan pelan-pelan aku mencoba menanyakan, apa yang sesungguhnya ingin dia bakar.
“Surga,” jawabnya tenang tapi tegas.
“Hah! Bagaimana mungkin?”
“Tidak ada yang tidak mungkin.”
Membakar surga. Aku penasaran, mengapa dia punya pemikiran dan keinginan seperti itu. Tak kuasa kutahan rasa penasaranku hingga aku bertanya lagi. Dengan penuh semangat anak itu langsung menjelaskan alasannya. Dia bilang, orang-orang yang merasa hidupnya bersih selalu ingin menghilangkan yang kotor dengan cara membakar. Orang-orang itu memusnahkan segala hal yang dinilai buruk. Alasannya mereka membersihkan kehidupan dari segala yang nista. Dengan begitu hidup mereka akan menjadi suci lantas merasa pantas untuk berharap, kelak ketika mati dapat dimasukkan ke dalam surga. “Dan aku tidak menyukai hal itu. Karenanya aku ingin melenyapkan surga!” tambahnya.
Sungguh, ketika aku mendengar apa yang dia katakan, aku tidak punya keberanian untuk memberi tanggapan, hingga waktu setelahnya lebih banyak berlalu dalam diam. Sesekali kami memang masih bicara, tapi hanya membahas sesuatu yang bersifat basa-basi, dan hal itu berlangsung sampai bus terakhir yang aku tunggu datang. Akhirnya, pada saat itulah kami berpisah, seakan tidak ada sesuatu yang perlu dipermasalahkan.
Mungkin baginya orang-orang itu memang tidak ada masalah, tapi tidak denganku. Aku menganggap apa yang disampaikan anak itu sepertinya bukan main-main. Aku sulit menghalau kata-katanya dari pikiranku, bahkan terus saja terngiang di benakku. Dan ketika kisah pertemuanku dengannya hampir terlupa, aku langsung teringat kembali ketika suatu hari aku melihat sendiri peristiwa kebakaran besar di kota.
Pada saat itu, begitu aku keluar dari gedung dinas penataan kota, usai melakukan perbincangan dengan pimpinan agar aku bisa diterima kerja di dinas tersebut, aku melihat banyak api bermunculan di area gedung. Tak membutuhkan waktu lama gedung satu kompleks perkantoran kota itu terbakar, termasuk gedung yang baru saja aku datangi. Dalam bayanganku, seorang gelandangan kecil dengan korek api yang selalu ada di genggamannya sedang berada di tempat itu. Aku berpikir, anak itu pasti menganggap bahwa dirinya telah berhasil membakar surga. (*)
Tentang Penulis:
YUDITEHA, Pendiri Komunitas Kamar Kata. Telah menerbitkan 19 buku.