Cerpen M.Z. Billal
1. Di Barbershop
“Aku mau di situ!”
“Kita bisa cari tempat yang lebih bersih,” sahut ayahnya. “Lagi pula di situ sepi. Itu artinya dia barber yang kurang mahir.”
- Iklan -
“Ayah tidak bisa menilai pekerjaan orang lain sebelum mencoba cari tahu sendiri bagaimana hasil pekerjaannya,” dia menjawab tegas. “Dan aku cuma mau di situ.”
Dia tahu ayahnya tak bisa menolak. Maka dia lekas turun dari mobil dan bergegas masuk ke dalam ruang pangkas rambut yang sederhana itu. Sementara ayahnya memilih untuk menunggu di luar.
“Halo, Pak. Saya mau pangkas rambut di sini.” Dia menyapa pria pemangkas rambut yang duduk termenung di belakang meja kecilnya. Terlihat sekali pria itu kurang semangat. Mungkin karena menyaksikan sendiri barbershopnya sudah diambang gagal.
“Oh, iya. Silakan, Mas.” Barber itu tiba-tiba bersemangat dan memintanya duduk di kursi putar. Matanya kembali berbinar saat melihat dia mungkin sebagai pelanggan pertama hari ini. Sebab ia yang awalnya murung, tiba-tiba menjadi ramah dan bergairah.
Tanpa berkata lagi dia langsung duduk di kursi putar itu seraya memandang wajahnya sendiri di cermin persegi ukuran besar dan melihat sisi belakangnya dari pantulan cermin yang menempel pada dinding lain. Dia melihat betapa pucat seluruh kulitnya dan merasa agak sedih, lalu meminta barber itu untuk merapikan rambutnya.
Kemudian setelah rambutnya selesai dipangkas dia langsung membayar sesuai harga yang dikatakan oleh barber itu.
“Terima kasih ya, Mas. Sudah berkenan mampir. Saya senang masih ada yang tertarik kemari.”
“Sama-sama, Pak.” Dia membalas sambil tersenyum. “Bapak hanya perlu tetap bersemangat saja kok dan memberi sedikit tambahan warna di ruangan ini. Masa pandemi memang betul-betul sulit, tapi saya lebih yakin kita bisa tetap berusaha.”
Barber itu tersenyum lebar dan kembali mengucapkan terima kasih, sebelum dia pamit. Barangkali memandangnya hingga jauh dari balik jendela kaca.
Dan di perjalanan pulang ayahnya memuji ketampanan wajahnya juga hasil kerja barber itu.
“Besok sepertinya aku mau ke sini lagi!” katanya. Membuat ayahnya mengerutkan dahi.
“Untuk apa?”
“Aku ingin lebih pendek lagi.”
“Kenapa tidak sekarang saja?”
Dia hanya tersenyum. Dan lagi-lagi ayahnya tak bisa menolak.
Keesokan harinya dia kembali datang. Barbershop itu masih sepi. Tentu saja kedatangannya membuat si barber terkejut sekaligus cemas. Barangkali si barber berpikir bahwa dia merasa kurang puas dan ingin menuntut. Namun ketika dia menjelaskan bahwa keinginannya adalah memendekkan lagi rambutnya, si barber pun merasa lega. Dia bergegas duduk di kursi putar dan mulai mengajak berbincang hingga si barber menyelesaikan pekerjaannya. Dan setelah selesai dia kembali membayar tarifnya lalu pamit pergi.
Di perjalanan pulang, lagi-lagi ayahnya memuji ketampanannya dan hasil kerja si barber. Dia tersenyum seraya mulai membahas kehidupan si barber kepada ayahnya. Dia bercerita, bahwa si barber sebenarnya takut usahanya tutup. Masa pandemi betul-betul meresahkan. Sebab ia punya tiga orang anak yang masih sekolah. Sementara istrinya hanya mampu ikut membantu dengan berjualan jajanan di pinggir jalan kota.
“Jadi, apa kamu ingin melakukan sesuatu untuknya?” Ayahnya bertanya.
“Iya,” sahutnya. “Bisakah aku datang lagi ke sana besok? Aku ingin memendekkan lagi rambutku.”
Ayahnya hanya bisa tersenyum.
***
2. Di Bahu Jalan
Pengendara sepeda motor itu berhenti tepat di depan gerobak dagangannya. Pria itu terlihat lelah saat melepaskan helmnya. Keningnya tampak lembab. Apa lagi saat ia menurunkan tas ukuran besar dari punggungnya. Ia seperti merasa sesak oleh masker yang menutupi sebagian wajahnya.
“Numpang istirahat sebentar boleh, Bu?” Pria itu menyapanya.
“Oh, ya boleh toh, Mas. Silakan saja.”
“Terima kasih ya, Bu. Kalau gitu saya pesan es campurnya, Bu. Biar hilang haus saya.”
“Iya, Mas. Tunggu sebentar ya.”
Seketika dia langsung sigap menyiapkan pesanan pria pengendara itu. Memasukkan bahan-bahan manis dan es batu ke dalam satu kantong plastik dan memberikannya pada si pengendara motor.
“Perjalanan jauh ya, Mas?” tanyanya seraya menurunkan sedikit maskernya.
“Inggih, Bu.” jawab pria pengendara itu. “Sudah lama tidak pulang. Kangen sama orang tua. Sejak ada corona saya tidak pulang. Setelah divaksin dua kali dan mengurus surat kesehatan inilah saya baru berani pulang.”
“Ya begitulah, Mas. Memang serba sulit sekarang. Saya juga sudah lama tidak pulang kampung. Paling-paling cuma telepon saja buat berkabar.”
Kemudian keduanya terlibat dalam percakapan. Seolah mereka sudah pernah saling mengenal sebelumnya. Si pria pengendara bertanya soal bagaimana usahanya di masa pandemi. Dia menjawab apa adanya. Bahwa masa pandemi adalah masa yang sangat sulit meski dia harus tetap bersyukur karena masih ada orang-orang yang mau membeli dan tidak merasa takut menghampiri dagangannya. Begitu pun sebaliknya, si pengendara juga berbagi sedikit kisah tentang pekerjaannya. Bahwa ia karyawan pabrik yang sudah dua tahun tidak pulang. Ia nekat pulang karena sudah sangat rindu pada orang tua dan kampung halamannya. Ia juga tidak menyalahkan aturan yang ditetapkan pemerintah. Namun ia juga perlu secara langsung melihat bagaimana kondisi kedua orang tuanya. Tidak melulu secara virtual.
Hingga setengah jam berlalu, keduanya saling berbagi cerita, akhirnya si pengendara memutuskan untuk bersiap-siap lagi melanjutkan perjalanan. Ia kembali menggendong tas ukuran besar itu di punggungnya.
“Baiklah, Bu. Terima kasih banyak sudah boleh numpang berteduh. Saya pamit dulu. Senang sekali bisa mengenal ibu. Semoga lain waktu bisa berjumpa ibu lagi.” Pengendara itu mengangguk sebagai bentuk kesopanan terhadap orang yang lebih tua.
Akan tetapi belum sempat pria pengendara itu menyalakan kembali mesin sepeda motornya, dia sudah memanggil pria itu lagi.
“Mas, Mas. Tunggu.” Sambil berlari kecil dia memberikan satu kantong plastik berisi makanan, air mineral, dan beberapa bungkus permen. “Ini buat masnya kalau nanti tiba-tiba merasa lapar dan perlu berhenti.”
“Ya Allah, Bu. Jangan repot-repot, untuk ibu saja.” Si pengendara terkejut sekali dengan sikapnya. Tetapi buru-buru dia mengatakan bahwa dirinya hanya ingin berbagi. Agar si pengendara motor tetap dalam kondisi baik sampai tiba di tujuan. Membuat si pengendara motor jadi terharu dan makin rindu pada kedua orang tuanya.
“Salam buat orang tua ya, Mas. Semoga semua sehat walafiat.”
“Inggih, Bu.”
Sekali lagi, si pengendara mengucapkan terima kasih padanya dan bergegas melanjutkan perjalanan pulangnya yang masih cukup panjang. Sementara dia kembali berjalan menuju gerobak dagangannya. Menyaksikan jalan kota yang masih lengang dan toples-toplesnnya yang masih penuh oleh bahan-bahan manis berwarna.
***
3. Di Kantor
Setelah menandatangani beberapa berkas, dia langsung menyuruh sekretarisnya kembali bekerja di ruangannya sendiri. Namun tak lama dia mulai fokus menatap layar komputernya, tiba-tiba dia teringat sesuatu dan lekas meraih ponselnya di meja.
Ditekannya sejumlah nomor di layar dan mulai melakukan panggilan kepada seseorang yang belum dia beri nama itu.
“Assalamualaikum. Halo, dengan siapa ini?” Seseorang yang dia hubungi menyahut dari seberang.
“Halo, selamat siang juga, Pak. Maaf saya non muslim, jadi saya tidak bisa menjawab salam Bapak, ya.” Dia membalas pria di telepon itu dengan sopan.
“Oh, iya, tidak apa-apa, Pak. Maaf juga saya tidak tahu. Ada apa, ya?” Pria dalam ponsel itu menjawab juga dengan nada yang ramah. Dia berpikir, benar yang dikatakan putranya bahwa pria tersebut memang santun.
“Begini, Pak.” Dia mulai menceritakan apa yang menjadi buah pikirannya kepada pria yang sedang dia hubungi itu. Sesekali dia tampak bersedih. Bahkan matanya mulai berkaca-kaca dan nyaris berlinang. Pria dalam ponsel itu pun ikut merasakan kesedihannya dengan mencoba memberikan semangat dan motivasi. Dan tak hanya itu, pria dalam ponsel itu pun juga tidak menyangka bahwa dirinya akan menjadi sangat penting dalam hal ini. Sebab dia pun baru menyadari itu. Lebih-lebih pria itu tidak percaya kalau dia berusaha mencari nomor ponselnya dari pedagang buah yang berjualan di sebelahnya.
“Jadi, kapan Bapak punya waktu untuk mampir ke rumah saya?” tanyanya kemudian. “Nanti saya kirim alamat rumah saya lewat SMS.”
“Saya selalu punya waktu, Pak. Hari ini saya bisa ke rumah Bapak.”
“Baiklah. Terima kasih banyak sudah berkenan. Nanti sore saya tunggu di rumah ya, Pak. Selamat siang.”
Kemudian dia menutup panggilannya dengan perasaan lega. Belakangan dia selalu memikirkan putra keduanya yang memerlukan perhatian lebih banyak. Meski hidup berkecukupan dan bisa memenuhi seluruh permintaan, dia merasa kebahagiaan anak-anaknya tetap hal utama. Walaupun permintaan yang diajukan itu sebelumnya tidak pernah diminta.
Dan pada sore harinya dia sudah berada di rumah. Menunggu pria itu di beranda bersama putranya yang berkulit pucat. Putranya yang telah memasuki usia remaja itu masih sibuk membaca buku cerita yang kemarin baru dia belikan. Dia senang melihat putranya selalu berusaha untuk tetap sibuk dan bersemangat.
Ketika dia berkata kepada putranya bahwa ia boleh melakukan hal-hal yang dia suka, seseorang membuka pintu pagar dan berjalan menyeberangi halaman.
“Saya senang sekali Bapak akhirnya datang.” Dia menyambut pria itu dengan sumringah. Begitu pun dengan putranya. “Ayo, Pak. Silakan masuk.”
“Baik, Pak. Terima kasih.”
Kemudian mereka masuk ke dalam rumah dan duduk di kursi tamu.
“Seperti yang saya katakan tadi siang. Putra saya ini sepertinya begitu antusias melihat Bapak. Jadi, ia ingin melakukan sesuatu.”
“Iya, Pak.” Putranya buru-buru menambahkan. “Saya ingin sekali memendekkan rambut saya lagi. Atau lebih tepatnya saya ingin menggundul rambut saya. Karena mungkin saya tidak punya waktu lebih lama. Jadi, maukah Bapak melakukan itu untuk saya? Saya juga ingin membantu usaha Bapak agar lebih berkembang. Mungkin dengan menambahkan beberapa perabot dan hiasan. Boleh, kan?”
Sontak mata pria yang bekerja sebagai barber itu langsung berkaca-kaca. Dia sungguh tidak menyangka akan mendapat bantuan dari keluarga yang begitu menghormati orang lain meski berbeda keyakinan. Dan keharuan itu semakin memuncak ketika tangannya perlahan menggugurkan seluruh rambut yang tumbuh di kepala remaja pengidap kanker otak itu. Dia seperti melihat putra kandungnya sendiri. Dalam hati dia memanjatkan doa terbaik untuk keluarga ini. Semoga kebaikan selalu menjaga hati mereka dan seluruh perjalanan hidup yang mereka tempuh.
***
4. Di Perjalanan
Dia melihat pria tua berkopiah hitam berjalan lambat di bawah terik matahari jelang sore. Dia merasa kasihan. Terlebih melihat barang bawaan pria tua itu terlihat cukup berat. Spontan dia terbayang ayahnya yang sama tuanya. Namun dia takut terlambat pulang. Karena perjalanannya masih cukup panjang. Jadi dia memutuskan tetap berusaha fokus berkendara menuju kampung halamannya.
Akan tetapi semakin jauh dia meninggalkan pria tua itu melangkah sendirian, hatinya semakin gamang. Dadanya diliputi kesedihan. Seolah ada yang berontak dari dalam dirinya. Maka, dengan keyakinan yang kuat akhirnya dia mengambil keputusan untuk putar balik. Digegasnya menghampiri pria tua yang mulai kelelahan itu dan bertanya dengan sopan untuk mengawali percakapannya.
“Kakek mau ke mana? Kok sendirian?” dia bertanya.
Awalnya si pria tua masa bodoh. Atau mungkin lebih tepatnya kurang fokus karena sudah sangat lelah. Namun kemudian ia menoleh kepadanya dengan napas tersengal.
“Mau ke pasar, Nak. Tadi bawa sepeda. Tapi bannya bocor. Jadi saya titipkan di rumah yang ada di simpang tiga sana.”
Mendengar jawaban si pria tua makin terenyuhlah dia. Hatinya semakin tak tahan untuk segera memberi sedikit pertolongan.
“Ya sudah, Kek. Sini saya bantu antar Kakek ke pasar, nanti sepedanya saya jemput dan diperbaiki di bengkel pasar.”
“Tidak usah, Nak. Kamu sedang dalam perjalanan jauh sepertinya. Lebih baik kamu tetap melanjutkan. Saya tidak apa-apa, kok.” Si pria tua menolak. Terlihat berusaha kuat namun kondisi tubuhnya tetap menunjukkan bahwa dia sudah tidak sanggup.
“Tidak repot, Kek. Saya sungguh ingin bantu. Ayo lekas naik, Kek.”
Melihat kesungguhannya ingin menolong, si pria tua akhirnya mau naik sepeda motornya. Ia merasa terharu dan berpikir ternyata masih ada anak muda yang mau menolong pria tua yang sedang kelelahan berjalan sendirian.
Kemudian dia pun langsung menyalakan mesin motornya lagi dan bergegas mengantar si pria tua ke pasar. Dia juga merasa tidak perlu terlalu banyak mengajak si pria tua berbincang. Selain karena si pria tua terlihat lelah, dia juga merasa si pria tua mulai kehilangan pendengarannya karena usia. Maka lebih baik dia memperbanyak tindakan daripada terus berbicara.
Sesampainya di pasar, dia menyuruh si pria tua menunggu sebentar. Dia putar balik untuk menjemput sepeda si pria tua. Akan tetapi, barangkali karena dia kurang fokus berpikir, jadi dia tak bisa membawa sepeda itu ke pasar karena ukuran sepeda itu besar dan membuatnya sulit berkendara. Maka dia putuskan saja meminta tolong pada salah seorang penghuni rumah tempat si pria tua menitipkan sepedanya untuk memperbaiki sepeda itu sekaligus menjemput si pria tua di pasar dengan membayar sejumlah uang. Si penghuni rumah akhirnya sepakat membantu ketika dia mengatakan bahwa dia merasa iba melihat si pria tua harus berjalan sendirian, meski jarak pasar itu hanya sekitar dua kilometer saja.
“Kek, nanti Kakek akan dijemput seseorang dari rumah tempat Kakek menitipkan sepeda, ya.” Dia memberi tahu si pria tua yang masih sabar menanti. “Saya harus lanjut perjalanan. Tapi tenang saja, semuanya sudah beres. Kakek cukup menunggu di sini saja nanti ketika semuanya selesai.”
“Masya Allah, Nak. Kamu jangan terlalu repot mikirin saya. Saya tidak apa-apa kok. Terima kasih banyak sudah banyak membantu. Semoga Allah membalas perbuatan baikmu dengan kebaikan yang lebih banyak lagi ya, Nak.” Si pria tua terharu. Matanya berkaca-kaca.
“Sama-sama, Kek. Oh iya, ini untuk Kakek.” Dia mengeluarkan sebotol air mineral pemberian perempuan pedagang es campur di bahu jalan dari dalam kantong plastik. “Semoga kita bisa bertemu lagi ya, Kek.”
“Iya, Nak. Amin. Siapa namamu?”
“Yusuf, Kek.”
Kemudian dia pamit pergi melanjutkan perjalanan pulangnya. Si pria tua semakin terharu ketika dia secara cepat memasukkan sejumlah uang ke dalam kantong kemejanya. Pria tua itu tak bisa menolak dan terus mendoakan semoga dia selamat sampai tujuan. Sementara dia merasa senang bisa melakukan sesuatu untuk orang lain.
***
5. Di Beranda
Ketika dia mengakhiri ceritanya di beranda jelang magrib, sebutir air mata berlinang di pipinya. Dia merasa sangat bersyukur. Sementara istrinya mengelus pundaknya serta-merta ikut terbawa dalam kebahagiaan yang melanda dada dan pikirannya.
Dia selalu berdoa untuk keluarga itu. Terutama untuk anak laki-laki yang kini harus berjuang melawan rasa sakit yang menderanya. Bahkan dia juga memberitahu anak-anaknya untuk bersikap seperti anak laki-laki itu.
“Dia sungguh anak yang baik sekali. Tapi Ayah yakin masih banyak orang baik yang menciptakan lingkaran kebaikan di dunia ini. Termasuk kalian.”
***
*M.Z. BILLAL, lahir di Lirik, Indragiri Hulu, Riau. Menulis cerpen, cerita anak, dan puisi. Fiasko adalah novel pertamanya. Bergabung dengan Community Pena Terbang (COMPETER) dan Kelas Puisi Alit