Cerpen Joe Hasan
Saya justru memilih untuk putus sekolah saat teman-teman sebaya saya berbondong-bondong memilih pergi ke sekolah. Saya lebih senang bekerja mencari uang. Membantu paman saya setiap malam menjual sate. Saya diberi honor sedikit hasil dari penjualan satenya.
Bahagia rasanya bisa memegang uang sendiri tanpa harus meminta dari orang tua. Orang tua saya yang saat itu berada dalam kondisi ekonomi buruk mendukung keinginan saya. Tanpa perlu banyak pertimbangan lagi. Saya tahu mereka tidak rela dengan keputusan saya. Setidaknya itulah pilihan hidup saya tanpa ada paksaan dari orang lain. Awal-awal saya hanya membantu paman berjualan pada malam hari. Makin lama dia makin senang dan mengajari saya bagaimana membuat sate. Dari bagaimana memilih daging ayam yang bagus, membuat bumbunya sebelum dibakar, membuat bumbu kacangnya, sambalnya, bagaimana cara menjaga bara api agar tetap menyala, serta lontongnya. Begitu seterusnya hingga saya menginjak usia remaja. Saya dibiarkan berjualan sendiri memakai gerobaknya. Sedang dia beristirahat di rumah. Hasilnya tentu kita bagi dua. Saya semakin terbiasa dengan profesi saya sebagai tukang sate. Semakin senang bisa memegang uang sendiri. Sementara teman-teman saya hanya senang bermain lalu minta uang pada orang tua mereka.
Hingga sekarang saya bisa membiayai hidup saya beserta istri dan tiga orang anak. Itu semua dari hasil menjual sate. Terkadang saya merasa iri dengan anak-anak yang ramai memakai seragam sekolah—merasa menyesal kenapa dulu saya tidak sekolah. Namun perasaan itu cepat hilang. Semua terbayar dengan anak-anak saya yang kini bersekolah. Saya tidak ingin mereka seperti saya yang tidak punya pendidikan. Maka saya tegaskan pada mereka untuk bersekolah.
- Iklan -
Semua berkat paman saya. Selang beberapa tahun, paman saya meninggal akibat diabetes yang dideritanya. Dia memang sudah lama sakit. Hanya saja tak pernah mau diperiksa. Hingga akhirnya tubuhnya menyerah. Diabetes memenangi dirinya. Kini saya yang menggantikan paman berjualan. Tepat di tempat ia berjualan dulu. Saya sudah memiliki beberapa pelanggan tetap. Tak sedikit juga pelanggan paman dulu yang masih setia berkunjung di sini meski sudah berganti orang.
“Rasa satenya tidak berubah meski sudah ganti orang.” Begitu komentar dari salah satu pengunjung setia paman.
“Ini sate legendaris. Rasanya juara.” Kata salah seorang lagi.
Saya hanya manggut-manggut. Bersyukur. Tak ada resep rahasia dalam membuatnya. Paman selalu mengajarkan untuk mengucapkan basmalah setiap kali memulai perkerjaan. Dan itu saya lakukan. “Agar semua masakan kita berkah buat orang lain. Dan agar kita terhindar dari niat jahat orang lain.” Begitu kata paman dulu. Dulu saya tidak menghiraukan kata-kata bijak itu. Namun entah mengapa, kata-kata itu melekat begitu saja dalam kepala saya. Sungguh petuah yang mujarab. Tak perlulah banyak doa ini dan itu jika kita memang malas untuk menghafalnya, tapi jangan lupakan basmalah saat melakukan apa pun.
Saya terlalu asyik mengipas sate hingga tak sadar bahwa ada orang yang sudah lama berdiri di dekat saya. Pak Haji, pelanggan lama sejak saya masih kecil. Tak banyak perubahan di wajahnya. Awet muda. Hanya rambutnya yang sedikit beruban. Itu pun tertutup dengan peci yang sering ia kenakan ke mana-mana.
“Eh, sudah lama, Pak Haji?” saya basa-basi, berusaha bersikap biasa. Menghilangkan rasa kaget.
“Ya lumayanlah. Tapi tidak terlalu lama,” jawabnya dengan senyum yang begitu bersahaja. “Apa yang sedang kamu pikirkan sampai-sampai kamu tak sadar bahwa saya sudah sedari tadi berdiri di sini, Azis?” lanjut Pak Haji.
“Tidak memikirkan apa-apa, Pak Haji. Hanya mengingat sedikit masa lalu saya bersama paman.”
“Oh, dia sudah tenang di rumah Tuhan. Kita doakan semoga dia bahagia di sana.”
“Amin.”
Begitulah. Selalu menyenangkan berbicara dengan Pak Haji. Hati yang sedang berantakan sekalipun bisa tersusun rapi dengan sendirinya. Aura damai dalam mata dan nada bicaranya bisa dengan otomatis membius lawan bicara. Saya bisa merasakannya.
“Saya bungkus tiga ya, Zis. Tapi buatkan saya satu porsi untuk makan di sini dulu,” pintanya tiba-tiba.
“Siap, Pak Haji.”
“Tumben kamu sendiri, Zis? Anakmu mana?”
“Nanti dia ke sini, Pak Haji. Ada tugas sekolah yang harus diselesaikan.”
“Oh, begitu. Urusan sekolah memang harus diutamakan.”
“Iya, Pak,” saya jawab singkat. Lalu kami terdiam beberapa saat, sambil membuatkan sate pesanan orang lain. Saya belum buatkan untuk Pak Haji. Ada orang lain yang memesan lebih dulu sebelumnya. Meskipun sudah kenal lama, profesional harus tetap dijaga. Itulah salah satu cara untuk menjaga kerukunan dengan pelanggan. Tidak ada yang diistimewakan dan tidak ada yang dianaktirikan. Keprofesionalan ini juga diajarkan paman dulu. Lagi-lagi dulu tidak saya perhatikan yang seperti ini. Namun tertanam begitu saja dalam kepala.
“Anakmu kelas berapa sekarang?” tanya Pak Haji lagi. Sepertinya ia tidak bisa jika hanya diam. Sudah menjadi kebiasaannya untuk ngobrol. Meski begitu saya tetap meladeninya. Yang penting tangan saya tetap bergerak gesit membuat pesanan pelanggan. Jadi tidak ada yang tertinggal.
“Kelas sembilan, Pak. Sebentar lagi ujian.”
Pak Haji ber-oh kemudian. Lalu seperti yang sudah aku terka, dia akan terus mengajak bicara hingga pesanannya selesai. “Bagus kamu sudah mengajak dia bekerja meski usianya masih remaja. Jadi nanti kelak ketika dia sudah lulus sekolah, tidak akan susah menghadapi dunia kerja.”
“Alhamdulillah, Pak Haji. Dia tumbuh jadi anak yang tidak membangkang orang tua.”
“Sangat berbeda dengan anak-anak remaja lainnya. Ada yang mentang-mentang orang tuanya kaya, mereka foya-foya, bilang urusan kerja itu nanti saja diatur kalau sudah lulus. Ada juga yang mampu tapi tidak mau sekolah sama sekali. Sungguh bodoh. Ya sungguh bodoh orang yang tidak mau sekolah itu.”
Seperti ada yang mencekik leher saya. Saya merasa tersindir. Hanya berbeda kisah. Meski dengan kehidupan yang kurang berkecukupan, jika dulu saya melanjutkan sekolah, tentu orang tua saya akan mengusahakannya. Hanya saja semua itu adalah murni keinginan saya sendiri. Saya tidak berminat untuk sekolah. Maka orang tua saya merestuinya.
Saya tidak membalas omongan Pak Haji. Saya asyik dengan pemikiran saya sendiri. Kalau orang yang tidak mau sekolah itu adalah orang bodoh, lalu bagaimana dengan mereka yang sekolah sampai ke luar negeri? Apakah mereka benar-benar pintar? Lalu apa kabar dengan pejabat-pejabat negara yang sering mengambil uang rakyat dengan alasan proyek dan pajak? Mereka sekolah. Apakah mereka pantas disebut orang pintar? Ah ya, mereka pintar. Pintar menipu. Pintar mencuri. Entah ilmu apa yang mereka dapat waktu menempuh pendidikan dulu.
Pak Haji tidak jadi makan di sini. Ada hal darurat yang mengharuskan ia pulang buru-buru. Jadi semua pesanannya dibungkus. Ia bersalam, pamit pulang. Menitip salam pada istri dan anak-anak saya. Pak Haji meninggalkan saya dengan beberapa pelanggan yang masih makan dan pemikiran tentang kata-katanya barusan. Tentang definisi sekolah, pintar, dan bodoh. ***
*JOE HASAN, lahir di Ambon pada 22 Februari. Cerpen dan puisinya pernah dimuat di media cetak dan online.