Cerpen Halima Maysaroh
Aroma asin air laut kuhirup dalam-dalam, ada nikmat petualangan dalam dadaku. Lepas dari Kota Namlea, ibu kota Kabupetan Buru ke Kecamatan Kayeli dengan menggunakan kendaraan laut Feri, kurang lebih 20 menit kapal feri ini mengantarkanku berserta rombongan ke suatu desa yang sangat asri dan kental akan adat-istiadat; Desa Kaiely.
Aku, Rizwar, Nanda, Sukma, Kamalia dan Raka beserta seorang pemandu wisata yang dengan luwes menjelaskan keistimewaan Kecamatan Kayeli ini. Kak Zaman, begitu ia akrab disapa. Kami jalan kaki dari pelabuhan feri menuju Benteng Defensie yang berjarak 500 meter dari tempat kapal bersandar. Sepanjang kami berjalan kaki, pemandangan pohon bakau di kanan jalan dan pepohonan sagu di bagian kiri—dan memang lahan rawa. Untuk orang yang ingin melenturkan kembali tegangnya otak dari hiruk pikuk kota, tempat ini sangat tepat untuk dikunjungi.
Kami berpapasan dengan beberapa warga yang sedang beraktivitas harian, mencari kayu, mencuci pakaian di sungai, pergi ke kebun dan mengail ikan di laut. Kegiatan khas masyarakat pesisir Maluku.
- Iklan -
“Benteng Defensie atau dikenal dengan Benteng Kayeli ini dibangun pada tahun 1785. Menandakan kejayaan Kayeli sebagai pusat pemerintahan Belanda di Pulau Buru pada masa administrasi Provinsi Amboina. Gubernurnya adalah Bernardus Van Pleuren,” celoteh Kak Zaman setibanya kami di pintu gerbang benteng bertuliskan VOC itu.
Geboute onder de regeering vanden weledelen agtbaren heer Bernardus Van Pleuren gouvernour endireoteur deeser provintie Amboina onder het opzigt van den bockhounder en opperhooft deeser comtoire ls in haga. VOC 1785
Kalimat asing itu yang menyapa kami. Kalimat itu masih tertera jelas di bagian atas pintu gerbang tua Benteng Defensie. Pasti dulunya benteng ini megah, hingga ratusan tahun berlalu gerbangnya masih kokoh dan tulisan di gerbang masih terbaca dengan baik.
“Rahman, jangan tinggalkan aku!” pinta seorang wanita berparas noni Belanda kepada pemuda yang wajahnya sangat mirip denganku.
Aku mengucek mata, mengelap kacamataku dengan ujung kemeja dan memperjelas pandanganku ke arah mana sumber suara itu kudengar. Tak ada apa-apa di sana, entah ke mana mereka, dan siapa mereka. Mengapa dalam hitungan detik menghilang begitu saja.
“Kak Zaman, apakah ada orang tinggal di benteng ini?” tanyaku pada pemandu, sesaat kami memasuki pintu utama benteng.
“Mana ada orang tinggal di bangunan tua ini. Sudah enggak ada benda yang bisa difungsikan. Sumur tua pun sudah mati,” jelas Kak Zaman sembari menunjuk sumur tua yang berada dalam benteng.
“Ah Dimas, apa-apaan kamu. Bangunan setua ini mana ada orang yang tinggal. Aneh kamu!” Rizwar mengejekku.
Aku berpikir keras. Siapa dua orang yang barusan aku lihat dan dengar. Lari lewat mana mereka sekilat itu. Siapa pria itu, mengapa begitu mirip denganku dan mengapa hanya aku yang bisa melihatnya. Ya sudahlah. Aku terus mengikuti rombongan yang dipimpin Kak Zaman ini meneliti tiap inci benteng.
“Nah ini sumur andalan yang memenuhi kebutuhan air penghuni benteng,” kata Kak Zaman sambil menunjuk sebuah sumur di sudut bangunan.
Tiga orang wanita cantik bermata biru, kulit putih bersih dan berambut ikal blonde sedang beraktivitas di sekitaran sumur itu. Mereka menimba air sumur dan mengisi beberapa tempayan serta membawanya ke arah yang sepertinya dapur. Menyadari keberadaan kami, mereka tersenyum dan menundukan kepala tanda hormat. Aku pun melakukan hal yang sama. Memberikan senyum dan menundukkan kepala pada mereka yang bercakap-cakap tapi tak kuketahui maksudnya. Dari raut wajah mereka, aku rasa mereka sedang bertanya-tanya atau membicarakan kehadiran kami di benteng ini.
“Eh, kalian enggak sopan banget sih, mereka senyum ke kita lho, kalian cuek gitu saja,” Aku memperingatkan pada teman-teman.
“Mereka siapa maksudmu, Dim?” tanya Nanda keheranan.
“Itu mereka cewek-cewek bule yang tadi ambil air di sumur,” kataku meneruskan langkah mengikuti rombongan.
Serentak semua terbahak-bahak ke arahku, seolah sedang menonton program komedi di televisi. Aku tidak merasa ada yang lucu dari kata-kataku. Aku yang salah atau teman-temanku yang sedang tidak waras.
“Bangun, Dim! Bangun woi!” seru Kamalia sambil mengacak-acak rambutku.
“Iya nih, Dimas ngigau melulu. Sumur tua yang di dalamnya cuma ada lumpur kering gitu dibilang ada yang ambil airnya, cewek-cewek bule lagi katanya,” Sukma terpingkal-pingkal.
“Kelamaan jomlo kamu, Dim,” Raka menyikut perutku.
Aku tidak mengerti dengan penglihatan teman-temanku yang mendadak buram. Tapi kubiarkan saja mereka menertawaiku dan kami terus melanjutkan penelusuran. Tanpa sengaja aku menyandung bekas bangunan yang sudah membatu dengan diselimuti lumut. Aku tersungkur dan terasa perih di dengkulku, sepertinya lecet. Tak satu pun teman ada yang menolongku. Mereka justru terus melanjutkan langkah.
“Eh, tolong aku dong!” seruku yang tak satu pun mengacuhkan.
Susah payah aku bangkit dan memegangi lututku yang agak perih. Aku meringis kesakitan. Kukucek-kucek mata ini. Aku memang masih berada di dalam benteng tapi kondisi benteng sangat berbeda. Tadi yang kupijak adalah rerumputan liar karena lantai benteng telah mengelupas dan rusak. Sekarang lantai yang kupijak adalah semen yang masih dalam kondisi baik.
“Tangkap dia!” seru pimpinan rombongan di belakangku.
Tanpa perlawanan dan dalam kondisi terkejut, aku ditawan oleh rombongan yang terdiri dari belasan orang berbadan kekar dengan seragam prajurit ala penjajah yang sering aku lihat di buku-buku sejarah.
Mereka membawaku ke ruang tahanan. Terdapat beberapa orang tahanan yang melihatku dengan mata tajam tanpa kedip. Tatapan tahanan itu kosong, bahkan mereka kaku seperti patung batu. Manusiakah, mumi, patung, vampir atau apa mereka itu, entahlah.
“Rahman! Di mana kau sembunyikan Anneliese?” bentak prajurit yang sejak tadi mengekang kedua tanganku.
“Anneliese? Aku tak tahu siapa dia. Aku bukan Rahman,” sahutku sambil berusaha melonggarkan cengkraman si prajurit.
Satu tonjokan mendarat di dahiku, rupanya pimpinan prajurit itu tak puas dengan jawabanku. Padahal aku sudah mengatakan hal yang sesungguhnya. Aku terus meringis kesakitan, nyeri lutut bekas tersungkur, sakit tonjokan di dahi. Sial apa aku ini.
“Tuan Herold membawa putrinya dalam rangka kerja sama di sini, bukan untuk kau culik, Rahman! Annelise akan bekerja di sini sebagai pembina para wanita untuk berdaya. Kau apakan Anneliese sampai bisa takluk pada orang sepertimu?” prajurit berseragam kombinasi hitam dan merah itu memelototiku, liurnya hampir tumpah ke wajahku.
“Aku bukan Rahman, tidakkah kalian paham itu? Aku Dimas,” penjelasanku yang kuharap dipercayai.
“Sekali lagi kau katakan bahwa kau bukan Rahman, maka kau akan kujadikan santapan buaya di muara,” ancaman mengerikan disodorkan padaku.
Aku menyerah, tak lagi mengatakan sepatah kata pun. Kubiarkan tubuhku dimasukkan ke dalam ruang jeruji. Mereka mengancamku dengan begitu banyak hal seram dan mematikan jika aku tidak menunjukkan keberadaan Anneliese sekarang.
“Rahman, Rahman,” suara lirih seorang wanita samar-samar dalam temaram lampu minyak di ruang tahanan.
Tubuh lunglai ini kupaksakan mendekati sumber suara itu. Kulihat jelas wanita cantik berparas noni Belanda, persis wanita yang kutemui bersama pria yang begitu mirip denganku tadi.
“Keluarlah lewat sini, Rahman!” wanita itu menarik lengan tanganku dan mengendap-endap keluar ruang tahanan yang sudah sangat sepi di malam hari.
Wanita itu mengarahkanku ke salah satu ruangan sempit berisi tumpukan karung-karung yang sepertinya berisi rempah-rempah, cengkih dan pala hasil bumi wilayah ini.
“Aku sengaja bersembunyi dari orang-orang pemerintahan dan orang tuaku yang menentang hubungan kita. Kupikir kau akan mencariku, ternyata kau malah menghilang dan kudengar kau ditangkap. Makanya aku kembali untuk mengeluarkanmu, Rahman,” celoteh si noni.
“Apakah kamu Anneliese?” kuberanikan diri bertanya.
“Apakah mereka memukuli kepalamu hingga kau hilang ingatan?” si noni balik bertanya.
“Ketahuilah, Anneliese. Aku bukan Rahman tapi aku Dimas,” jelasku.
“Rahman seorang putra pemuka agama dan pengurus rumah ibadah penduduk lokal di sini sedang pura-pura tidak mengenalku dan hilang ingatan,” wanita yang sudah kupastikan Anneliese itu memelototiku tampak begitu emosional.
“Aku tak tahu bagaimana caranya agar kamu mengerti bahwa aku bukan Rahman. Aku bukan putra pemuka agama. Aku datang ke sini hanya untuk berwisata.”
Anneliese justru mengernyitkan kening, merasa kata-kataku hanyalah mengada-ada. Rupanya Anneliese tak kunjung mengerti. Itu wajar, karena aku pun tidak mengerti dengan apa yang sedang terjadi. Mengapa Rahman begitu mirip denganku.
“Sekarang sudah malam, penjagaan mulai lengah, sebaiknya kita keluar dari sini segera, sebelum yang lain menyadari keberadaan kita,” ujar Anneliese.
Aku menurut saja pada Anneliese. Perkara dia tidak mempercayai bahwa aku bukanlah Rahman, tidak kuambil pusing lagi, yang penting aku bisa lolos dari tempat mengerikan ini.
Aku dan Anneliese mengendap-endap ke arah belakang benteng. Sepanjang itu juga Anneliese menggenggam tanganku mesra dan sangat erat. Benar-benar terasa bagaimana Anneliese teramat mencintai Rahman.
“Berhenti!” seru penjaga gerbang.
“Anneliese ditemukan! Anneliese ditemukan!”
Aku dan Anneliese dikepung oleh puluhan pengawal. Kami tak dapat berkutik lagi. Salah satu pengawal menyeretku ke arah yang sama seperti tadi, yaitu ruang tahanan. Tangan Anneliese semakin erat. Dia tak mengendorkan genggamannya sama sekali.
“Lepaskan saja, Nona Anneliese,” pinta petugas jaga gerbang malam ini.
“Tidak!” tegas Anneliese menolak.
“Rahman harus dipenjarakan, lepaskanlah!”
Anneliese tak merenggangkan genggamannya sedikit pun. Semakin erat dan lebih erat lagi. Hingga tubuh Anneliese pun ikut terseret ke pintu ruang tahanan di mana aku dipenjarakan untuk kedua kalinya. Aku sudah berada dalam ruang berjeruji. Sedang Anneliese berada di pintu dengan terali besi yang sudah terkunci. Aku tetap mendekat pada pintu karena Anneliese tak kunjung melepaskan tanganku. Dengan bersekat pintu terali besi, aku bisa merasakan betapa Anneliese mencintai Rahman.
“Tinggalkan aku. Tak apa aku di sini sendiri. Kau pergi saja, semua sedang mencarimu,” bibirku berceloteh tanpa aba-aba.
“Tidak! Kataku tidak!” ternyata Anneliese itu keras kepala.
“Entah bagaimana agar kau paham, Anneliese. Aku bukan Rahman,” aku tahu si keras kepala Anneliese pasti tetap tidak percaya.
“Aku tak peduli walau kau mendadak hilang ingatan, bahkan hingga kau lupa siapa dirimu, Rahman. Aku tak peduli lagi karena aku tak mau berpisah darimu dari saat ini hingga nanti,” tatapan mata biru Annelise begitu indah saat berbicara.
“Semua lari ke gunung! Banjir akan segera menenggelamkan kita,” seru petugas pesiar informasi.
“Anneliese, lekas selamatkan dirimu!” Aku meronta agar Anneliese melepaskan tanganku dan menyelamatkan diri.
Ternyata banjir melanda pesisir pantai, bisa jadi akan menelan isi benteng ini. Aku tak mungkin bisa lari dari sini. Kunci pintu sel ini telah dibawa lari petugas yang menyelamatkan diri tanpa berpikir melepaskanku terlebih dahulu. Makanya aku meminta Anneliese agar mau melepaskan genggamannya dari tanganku.
“Tidak Rahman, aku akan tetap bersamamu walau harus tenggelam dan mati,” terlalu kokoh pendirian Anneliese.
“Jika kau mencintai Rahman, maka lekas selamatkan dirimu. Pasti saat ini Rahman pun sedang menyelamatkan diri ke gunung. Aku Dimas. Aku bukan lelaki yang kau cintai. Percayalah.”
Air banjir dengan rasa asin menamparku. Aku tak bisa bernapas lagi. Mungkin aku tenggelam dan mati sebentar lagi. Tapi lamat-lamat aku sempat melihat Anneliese berlari dibawa oleh lelaki yang mirip denganku. Ternyata Rahman datang menyelamatkan kekasihnya. Aku lega.
“Dimas, kamu siuman?” suara itu tak asing lagi—suara khas ibuku.
Telingaku sudah bisa bekerja, mendengar apa pun di dekatku. Aku mendengar suara ibu, ayah, Sukma, Nanda, Raka, Rizwar, Kamalia dan Kak Zaman. Tapi mataku belum bisa menyapa mereka, teramat berat untuk dibuka. Kelopak mataku seperti ditindih satu ton beras.
Susah payah aku membuka mata. Pelan-pelan. Sedikit demi sedikit mataku terbuka juga. Sekelilingku tersenyum. Aku pun tersenyum.
“Aku di mana? Apa aku di surga?” tanyaku yang merasa berada di awang-awang.
“Dimas, jangan bercanda. Apa kamu kurang menyusahkan. Jangan tanya kamu di mana, tapi jelaskan kamu ke mana saja selama tiga bulan ini,” ibuku mengomel.
“Tiga bulan? Baru semalam aku di Benteng Dafensie. Kalian kawan macam apa … aku ditinggal begitu saja.”
“Semalam katamu? Tiga bulan lalu kamu menghilang tanpa jejak di dalam benteng. Kami mencari hingga putus asa. Bahkan kepolisian turut mencarimu,” Sukma melototiku kesal.
“Akhirnya kemarin sore, anak-anak penggembala sapi menemukanmu di depan gerbang benteng dalam keadaan tak sadarkan diri. Di usung ke puskesmas pun enggak membuahkan hasil. Makanya kamu dilarikan ke rumah sakit sini, ditangani rumah sakit. Malam sudah enggak ada feri jadi diseberangkan dengan speedboat,” jelas Raka.
“Lalu di mana Anneliese dan Rahman? Apakah mereka juga selamat dari banjir?” tanyaku memastikan mereka pun selamat sepertiku.
“Dari mana kamu tahu mereka?” ayahku balik bertanya.
“Mereka siapa? Bukannya banjir bandang di Teluk Kayeli memang pernah terjadi di tahun 1919 lalu? Itu sebabnya pusat pemerintah Belanda pindah ke kota Namlea,” sahut Kak Zaman.
“Rahman adalah Kakek buyutnya Dimas dari ibu, yang biasa kita sebut Oyang Rahman di setiap kita kirim doa. Anneliese itu dulu kekasih Oyang Rahman. Namun dia di pulangkan ke Belanda.” Ayah menunjukan foto Oyang Rahman yang benar saja sangat mirip denganku.
“Sebelum Anneliese dipulangkan ke Belanda, dia meminta anak turun Oyang Rahman harus ada yang diberi nama Dimas, karena saat banjir melanda, Anneliese bertemu dengan seseorang bernama Dimas. Karena anak dan cucu Oyang Rahman perempuan semua, maka tidak ada yang diberi nama Dimas hingga kamu cucu buyut laki-laki pertama yang kami beri nama Dimas. Sayangnya, Oyang Rahman sudah meninggal jauh-jauh sebelum kamu lahir bahkan saat ibu masih kecil,” panjang lebar ibuku menjelaskan.
Jadi, kejadian semalam itu reka adegan di tahun 1919? Bahkan aku pernah ke tahun 1919 sebelumnya menurut cerita Anneliese?
Aku mencoba menata pikiranku yang ruwet. Aku pegang kepalaku. Aduh, sakit! Tonjokan prajurit benteng semalam masih membiru di dahiku. ***
*HALIMA MASYAROH, penulis dari Pulau Buru. Guru Bahasa Inggris yang menerbitkan beberapa buku fiksi. Jejak menulisnya dapat diikuti pada akun Instagram @hamays_official