Oleh Sam Edy Yuswanto
Selama ini, Idulfitri menjadi momen yang dirasa tepat bagi mayoritas umat Islam untuk saling bermaaf-maafan. Bahkan, meskipun di antara mereka tak pernah berselisih paham sebelumnya, mereka bila bertemu biasanya secara spontan akan mengucapkan selamat hari raya seraya memohon maaf lahir dan batin.
“Nggak pernah berbuat salah kok minta maaf, nggak ada yang perlu saya maafkan karena nggak ada kesalahan”. Komentar semacam ini mungkin pernah kita dengar. Bagi saya pribadi sih, tak menjadi masalah saat kita bertemu sesama muslim, baik yang akrab maupun tidak, kenal maupun tidak, lantas mengucapkan selamat hari raya lengkap dengan permohonan maaf. Selain karena sudah menjadi tradisi (yang baik) ucapan tersebut juga bisa membuat kita lebih akrab dengan orang lain.
“Minta maaf kok nunggu hari raya? Bukankah setiap orang yang berbuat salah harus segera minta maaf?” Kalimat sejenis ini juga mungkin kerap menyambangi telinga kita. Atau bisa jadi kerap dibuat status di media sosial kita. Kalimat yang menurut saya bernada sinis, sentimen, dan tak memberi kesan yang positif ini sebaiknya kita hindari. Ya, saya sangat setuju ketika suatu hari kita berbuat kesalahan terhadap orang lain, maka idealnya kita harus bersegera memohon maaf kepada pihak yang bersangkutan. Namun, realitas selama ini, tak semua orang memiliki nyali untuk segera memohon maaf. Mungkin juga ia masih merasa gengsi untuk bersegera minta maaf meskipun di dalam hati sudah menyadari dan mengakui kesalahannya. Karenanya, ia lantas mencari momen yang tepat, misalnya menunggu Idulfitri untuk bertemu dan meminta maaf kepada orang yang pernah disakitinya.
- Iklan -
Menurut saya sih, tak menjadi masalah bila ada orang yang menunggu momen Lebaran untuk bermaaf-maafan. Daripada tidak memohon maaf sama sekali atas kesalahan yang pernah diperbuat di masa lalu. Namun, yang lebih baik lagi ialah ketika seseorang berbuat kesalahan lantas sesegera mungkin untuk bertemu dengan yang bersangkutan untuk menyampaikan permohonan maaf secara tulus. Yang menjadi persoalan serius ialah ketika kita berbuat kesalahan terhadap orang lain tapi kita tidak pernah merasa bersalah dan tak mau memohon maaf kepadanya. Orang semacam ini tergolong orang yang sangat egois atau keras hatinya.
Penting direnungi di sini, ketika ada orang datang kepada kita untuk memohon maaf dengan tulus atas segala kesalahan yang pernah dia perbuat di masa lalu, maka tugas kita ialah memberinya maaf secara tulus pula. Mungkin ada sebagian orang yang merasa enggan bahkan tak mau memaafkan kesalahan orang lain kepadanya. Bisa jadi keengganannya memberi maaf itu karena masih merasa sakit hati atau belum bisa melupakan perlakuan orang tersebut kepadanya. Saya sangat-sangat memaklumi hal ini. Akan tetapi bukanlah sikap yang bijak dan dewasa bila kita terus bersikukuh alias tak pernah mau membukakan pintu maaf kepada orang yang penah menzalimi kita. Karena bagaimana pun memberi maaf itu termasuk perilaku mulia. Bukankah kita juga sering berbuat kesalahan (dosa) kepada Tuhan dan berharap dosa-dosa kita diampuni oleh-Nya? Karenanya, maafkanlah kesalahan orang lain bila kita ingin kesalahan kita dimaafkan oleh-Nya.
Membersihkan Dosa
Satu hikmah penting dari sikap memohon maaf atas kesalahan yang pernah diperbuat terhadap orang lain ialah dapat menjadi wasilah pembersih dosa. Ya, sebab yang namanya kesalahan terhadap sesama manusia harus diselesaikan (dengan cara meminta maaf secara tulus) dengan manusia itu sendiri. Belum dianggap cukup bila kita sekadar menyesalinya dan bertobat kepada Allah Swt.
Alangkah baiknya sebelum tutup usia, kita bersegera memohon maaf sekaligus keridaan dari orang-orang yang pernah kita sakiti. Jangan sampai kesalahan kita kepada orang lain menjadi penghalang kita menuju surga-Nya kelak. Jangan sampai kita menjadi orang yang bangkrut hanya gara-gara merasa gengsi untuk mengakui kesalahan dan memohon maaf kepada orang lain.
Ibnu al-Jauzi dalam buku Air Mata Cinta Pembersih Dosa mengurai satu hadis yang berkaitan tentang hal ini. Tentang orang yang bangkrut ketika hidup di dunia. Jadi, ketika Rasulullah Saw. sedang bersama para sahabatnya, beliau bertanya, “Wahai para sahabatku, tahukah kalian siapa itu orang bangkrut?” Para sahabat menjawab, “Wahai Rasulullah, orang bangkrut, menurut kami, adalah orang yang tidak lagi memiliki dinar dan dirham sama sekali.”
Namun, bagaimana reaksi Rasulullah ketika mendengar jawaban sahabatnya itu? Ternyata definisi orang yang bangkrut itu bukan seperti yang diuraikan sahabatnya. Beliau berkata, “Tidak, bukan itu. Orang bangkrut adalah orang yang datang pada Hari Kiamat dengan membawa salat, puasa, zakat, dan sedekah, tetapi ia pernah mencaci Fulan, menganiaya Fulan, memakan harta Fulan, dan menumpahkan darah Fulan. Karena itu, ia harus membayar “ganti rugi” kepada mereka dengan kebaikannya. Ternyata sebelum kewajibannya terbayar lunas, kebaikannya sudah habis. Akhirnya, kesalahan dan dosa mereka diambil dan dipikulkan kepadanya, lalu ia pun dicampakkan ke neraka. Inilah orang yang bangkrut.” Semoga Allah Swt. melindungi kita dari hal tersebut.
Betapa sangat menakutkan bila kita merenungi apa yang pernah diuraikan oleh Kanjeng Nabi Muhammad Saw. perihal definisi orang yang bangkrut. Bahkan seorang ahli ibadah sekalipun, yang hari-harinya selalu dihiasi dengan beragam ibadah, tetapi bila ia pernah melakukan kesalahan kepada orang lain (misalnya menyakiti hatinya dengan kata-kata) maka dosanya belum diampuni oleh Allah. Dosanya baru bisa lebur ketika ia memohon maaf kepada pihak yang bersangkutan. Seandainya dosanya berkaitan dengan utang piutang, maka selain memohon maaf, ia juga harus melunasi utangnya tersebut.
Mudah-mudahan, tulisan sederhana dan singkat ini dapat menjadi sebuah refleksi bagi saya khususnya dan juga para pembaca yang budiman, agar berusaha berhati-hati, menjaga diri kita dari berbuat aniaya terhadap sesama. Semoga kita menjadi pribadi yang lekas meminta maaf jika berbuat salah pada sesama sekaligus pribadi yang mudah memaafkan kesalahan orang lain. Wallahu a’lam bish-shawaab.
***
*Sam Edy Yuswanto, penulis lepas mukim di Kebumen.