Cerpen Fajri Andika
“Dosa, dosa apa yang paling besar, yang membuat kita semakin jauh dari surga?” bertanya Haji Tasbani pada Haji Tamrin dengan ekspresi wajah serius.
“Tentu saja perbuatan yang selama ini kau lakukan,” jawab Haji Tamrin singkat.
Sontak, Haji Tasbani terkejut dengan jawaban kawan karibnya itu. Tiba-tiba, telinga lelaki yang khas dengan peci putih dan serbannya itu pun merah kepanasan. “Maksudmu? Dosa apa yang telah aku perbuat sehingga kau bilang seperti itu?” tanyanya dengan nada makin serius.
- Iklan -
“Coba ingat-ingat,” kata Haji Tamrin. Ia diam sejenak, menghela napas panjang, menyeruput kopi hitamnya, kemudian melanjutkan, “apakah selama ini, setelah menyandang gelar haji, kau merasa tidak pernah melakukan dosa besar yang sangat dibenci oleh Yang Maha Kuasa?”
Haji Tasbani memang tersinggung dengan ucapan Haji Tamrin, namun ia tetap bersikap tenang, seolah tidak terjadi apa-apa. Dan mengikuti seruan temannya itu, ia pun mencoba mengingat, kira-kira dosa besar apa yang telah dirinya perbuat pasca melaksanakan ibadah haji.
Namun, setelah sekian menit mengingat, lelaki paruh baya itu tetap merasa tidak pernah melakukan perbuatan-perbuatan yang dituduhkan Haji Tamrin. Ingatannya justru berputar ke masa di mana dirinya belum menyandang gelar haji. Ia ingat, dulu dirinya setiap detik bersentuhan dengan dosa, bahkan orang-orang di kampungnya memberinya gelar “Ahli neraka”.
Haji Tasbani—sebelum melaksanakan rukun Islam yang kelima akrab dipanggil Yusri—adalah lelaki paling ditakuti di kampungnya. Selain terkenal jago berkelahi, ia juga dikenal sebagai lelaki bertubuh kekar yang tahan terhadap segala macam senjata tajam.
Pernah pada suatu malam, sepulangnya menonton konser dangdut di kampung sebelah, Yusri dihadang dan ditantang adu kesaktian oleh sekelompok orang yang tidak ia kenal. Tanpa rasa takut sedikit pun, ia langsung menerima tantangan orang-orang yang membawa senjata tajam tersebut.
Perkelahian pun tak terhindarkan. Yusri yang pada malam itu tidak membawa senjata, memang kewalahan menghadapi kuat dan tajamnya tombak dan parang preman-preman yang mengaku memang sudah lama ingin membunuhnya itu. Namun, harapan mereka untuk menghabisi Yusri tetap jadi harapan. Senjata-senjata yang mereka andalkan itu tidak mampu melumpuhkan tubuh Yusri yang kekar. Akhirnya, mereka mengaku kalah, dan nama Yusri pun semakin masyhur sebagai lelaki kebal tak tertandingi.
Haji Tasbani memperhatikan, memegang tangan dan lengannya yang keriput karena diserang usia. Waktu berputar begitu cepat, gumamnya. Dirinya yang dulu dikenal sebagai lelaki sakti berbadan besi yang tidak mempan terhadap segala macam senjata, semua itu hanya tinggal cerita. Kini ia hanyalah lelaki renta, yang tubuhnya rentan cedera. Jangankan berkelahi, untuk menggerakkan kakinya saja butuh perjuangan ekstra.
Ia ingat, betapa dulu kakinya sekuat kaki banteng. Jika berlari, tak seorang pun yang dapat mengejarnya. Kecepatan larinya secepat angin. Tidak berlebihan jika orang-orang menjuluki dirinya “Manusia Angin”. Ia ingat waktu dirinya berhasil diringkus oleh polisi ketika mencuri sepasang sapi milik salah seorang warga di kampung sebelah. Polisi yang dibantu warga terpaksa melepaskan senjata api beberapa kali untuk melumpuhkannya karena tidak mampu mengejar kecepatan dan kegesitan larinya.
Tiba-tiba air bening tak terbendung, mengalir deras dari sepasang mata Haji Tasbani. Ia ingat, saat itu dirinya hampir kehilangan nyawa karena banyak mengeluarkan darah. Yang lebih tragis, tak seorang pun yang mau mendonorkan darah, padahal dirinya dalam keadaan sekarat. Hanya orang bodoh yang mau melihat bajingan seperti dia tetap hidup, begitu komentar orang-orang ketika diminta kesediaan mereka untuk mendonorkan darah kepada Yusri.
“Untung saja waktu itu ada kamu. Kalau tidak, mungkin saat ini aku berada di dasar neraka,” kenang Haji Tasbani, “aku berutang nyawa padamu.”
Haji Tamrin hanya tersenyum. Sementara itu, Haji Tasbani terus mengingat kejadian yang baginya sangat tragis dan juga mengharukan itu, bagaimana kawan karibnya itu rela mendonorkan darahnya di saat orang lain mengharap kematiannya.
Juga masih terang dalam ingatan Haji Tasbani ketika dirinya berhasil lolos dari kejaran Malaikat Maut. Waktu itu, setelah berminggu-minggu terbaring tak berdaya di rumah sakit, bukannya istirahat di rumah, ia justru dipaksa melanjutkan masa penyembuhannya di balik jeruji besi. Hampir saja ia menghabisi diri sendiri karena depresi.
Namun, sebelum racun tikus yang ia tenggak menghentikan aliran darah dan denyut nadinya, seorang sipir menemukannya. Lantas, penjaga sel yang tak dikenalnya itu membawanya ke rumah sakit.
“Apa yang kamu lakukan itu tidak benar. Hidupmu harus terus berlanjut. Saya tahu, masa lalumu kurang bersahabat, tapi waktu terus berputar. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi dengan hari esok. Boleh saja hari ini mereka mencelamu, namun bisa jadi suatu saat nanti mereka memujamu. Asal dirimu benar-benar mau meninggalkan dan membuang jauh-jauh masa kelammu, saya yakin mereka akan menerimamu dengan tangan terbuka. Yakinlah!” begitulah sipir itu berkata setelah Yusri lepas dari koma.
Entah bagaimana caranya, lelaki berkulit sawo matang itu seperti mendapat pencerahan. Ia mengamini kata-kata yang disampaikan oleh si sipir. Padahal sebelumnya, tak seorang pun yang mampu meluluhkanku bahkan kiai sekalipun, gumamnya.
Setelah itu, Yusri pun mulai belajar dan mendalami agama. Selama mendekam di balik tembok penjara, dengan tulus dan bersungguh-sungguh, selain kembali melaksanakan salat lima waktu yang sudah lama ditinggalkan, ia juga belajar mengaji. Bahkan setelah bebas ia melaksanakan ibadah haji. Tujuanku melaksanakan rukun Islam yang kelima itu, tidak lain dan tidak bukan untuk menyempurnakan ibadahku dan biar orang-orang di kampungku semakin yakin bahwa aku telah menjadi orang baik, katanya.
“Masih terngiang dalam benakku, betapa terjal jalan yang harus kulewati untuk sampai ke Tanah Suci,” ujar Haji Tasbani, “dulu, setelah masa hukumanku selesai, aku memulai hidup dari nol lagi. Aku bekerja siang dan malam, mengumpulkan uang untuk sampai ke Mekah. Bahkan aku dan para nelayan lain hampir kehilangan nyawa ketika kapal kecil yang kami tumpangi dihantam gelombang pasang. Dan syukur alhamdulillah, kerja kerasku yang berdarah-berdarah itu tidak sia-sia. Seperti yang kau tahu, beberapa tahun kemudian hidungku berhasil mencium Hajar Aswad yang harumnya begitu semerbak itu.”
Haji Tamrin tidak berkata apa-apa. Ia hanya menyimak cerita demi cerita yang terus mengalir dari bibir renta Haji Tasbani.
“Lalu, dosa besar apa yang telah aku lakukan? Bukankah sudah kutebus semua kesalahanku di masa silam? Dan juga, seperti yang kau tahu, sepulang dari Mekah, aku mendirikan yayasan yang khusus menampung anak-anak yang memiliki impian menjadi orang besar namun tidak punya dana. Selain itu, semua hartaku yang berlimpah itu sudah kuhibahkan kepada salah satu pesantren di kampungku jika aku telah tiada.”
“Kebaikan-kebaikan yang kamu bangga-banggakan itulah yang menyebabkan neraka semakin mendekatimu,” tegas Haji Tamrin.
Yogyakarta
Fajri Andika lahir di Sumenep, Madura. Alumnus Sosiologi FISHUM UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.