Cerpen Robbyan Abel Ramdhon
Irwan percaya bahwa laut yang menghadap dermaga itu menyimpan masjid paling rahasia di dunia. Hanya orang-orang tertentu yang mampu beribadah di masjid itu. Konon, jika manusia dapat mencapai batas keimanannya, maka manusia tersebut bisa datang ke masjid itu dengan berenang ke dasar laut seperti ikan hiu.
Setidaknya begitu yang dipercayai Irwan sejak ia mendengar cerita tentang masjid di bawah laut dari gurunya. Di antara teman-temannya, Irwan yang paling memercayai cerita itu. Ia sering ditertawakan manakala berandai-andai tentang bagaimana dirinya saat beribadah di bawah laut kelak. Irwan membayangkan, di sana, ia akan membuat saf dengan orang-orang alim dari berbagai penjuru. Oleh gurunya, Irwan senantiasa diberi semangat untuk terus mengaji agar dapat segera menemukan tanda-tanda menuju masjid di bawah laut.
***
- Iklan -
Kurang dari sebulan setelah Irwan bertekad untuk tekun mengaji, ia mulai kehilangan semangatnya. Irwan mestinya sudah di surau malam itu, tapi ia memilih pergi memancing bersama Hendra ke dermaga tempat kapal nelayan biasa bersandar. Sesampainya di dermaga, Irwan mulai menyiapkan perangkat memancing. Ia mulai mengaitkan umpan, lalu melemparkannya ke arah terjauh. “Clup!” bunyi itu menandakan bahwa umpan Irwan sudah tenggelam. Bunyi yang sekaligus memecah keheningan malam.
Sambil menunggu ikan memakan umpan, Irwan membayangkan lagi bagaimana rupa masjid di bawah laut itu. Mungkinkah di sana juga dipasang alat pengeras suara agar ketika waktu salat sudah dekat, jama’ah segera merapatkan saf. Atau adakah agama lain yang perlu dihormati hingga alat pengeras suara tidak perlu menjadi pengeras suara seutuhnya. Semacam agama yang dibuat untuk para pengikut sang monster laut, Kraken.
Selain memercayai adanya masjid di bawah laut, Irwan pun tidak memungkiri bahwa di sana, juga ada seekor cumi raksasa bernama Kraken. Monster yang selalu disalahkan bila terjadi kecelakaan kapal. Irwan mengerti jika orang-orang itu berbohong perihal kejahatan Kraken. Sebab ia percaya, yang besar harus melindungi yang kecil. Dan Kraken, pasti melakukannya. Hal inilah yang membuat Irwan tidak suka makan cumi, meski setiap ayahnya pulang melaut, Irwan selalu dibawakan cumi sebesar lengan orang dewasa.
“Jangan melamun, nanti kamu nyemplung,” kata Hendra, teman Irwan yang ditinggal ayahnya entah ke mana. Ketika itu Hendra diantar ke surau, suatu kebiasaan yang dilakukan ayahnya sebelum pergi melaut. Sampai Hendra menyadari, bahwa hari itu menjadi hari terakhir ia diantar oleh ayahnya.
Para nelayan yang mengenal ayah Hendra pun menyebutkan berbagai kemungkinan: digulung badai, kapalnya menabrak karang, dimakan Kraken. Irwan tentu saja membantah kemungkinan terakhir. Meski bantahannya tidak sungguh-sungguh pernah diungkapkan pada orang-orang itu, terlebih kepada Hendra.
Walau demikian, Hendra masih anak yang ceria, yang selalu menjadi komando saat mereka pergi memancing. Hendra juga mempunyai kemampuan membaca cuaca yang baik. “Kalau awan di langit seperti tersisir angin, berarti cuaca di laut bagus untuk memancing,” kata Hendra sebelum mereka berangkat ke dermaga.
“Aku tidak melamun, aku sedang–”
“Membayangkan masjid di bawah laut itu, kan?” Hendra memotong pengakuan Irwan. Seolah-olah hafal betul apa yang sedang dipikirkan temannya itu.
“Seharusnya aku tidak mengikuti ajakanmu malam ini,” ketus Irwan.
“Jangan marah begitu, aku hanya bercanda,” Hendra menyenggol bahu Irwan kemudian melayarkan seutas senyum, “kau tahu, aku juga percaya kalau di dalam sana ada masjid,” kata Hendra, sambil melepaskan pandangannya ke laut.
“Apa yang kau bayangkan tentang itu?”
“Aku membayangkan ayahku sedang salat di sana bersama orang-orang alim dari berbagai penjuru,” Irwan menyurutkan tatapannya dari Hendra, bagai merespons kepedihan di balik perkataan temannya itu.
“Apa kau sungguh-sungguh percaya masjid itu ada?”
“Kau masih meragukanku?” tanya Hendra.
“Tidak.”
Hendra menyilangkan kaki, lalu memeluk tubuhnya sendiri. Menahan batang pancing menggunakan pantatnya.
“Terkadang aku datang ke dermaga ini tidak benar-benar karena ingin memancing,” kata Hendra.
“Lantas?”
“Sebelum ayahku menghilang, aku selalu menunggunya di tempat ini. Ia sering membawakanku cumi sebesar lengan orang dewasa bilamana pulang melaut.”
“Aku juga sering dibawakan cumi sebesar lengan orang dewasa oleh ayahku,”
“Bagian kepala selalu menjadi bagian terbaik. Kalau kau?”
“Tidak, tidak.”
“Tidak apa?”
“Aku tidak suka makan cumi,”
“Terus kau suka makan apa?”
“Apa saja, yang penting bukan cumi.”
“Kenapa bisa begitu?”
“Karena Kraken nanti bisa kecewa padaku.”
“Oh, monster laut yang sering menenggelamkan kapal itu?”
“Iya. Dia dikabarkan pernah melakukannya.”
“Kau sungguh percaya Kraken juga ada di bawah laut?
Belum Irwan menjawab pertanyaan Hendra, senar pancingnya bergerak. Seperti ada arus besar yang hendak menariknya menjauh.
“Aku dapat!” seru Irwan.
Mereka berdua pun bahu-membahu menarik pancing itu. Berharap ikan yang memakan umpan mereka segera menampakkan diri ke permukaan. Akan tetapi bukan mulut ikan yang pertama mereka lihat, melainkan cairan, serupa tinta hitam yang digunakan untuk menulis surat oleh orang-orang dulu.
Mereka bertatap-tatapan bagai mempertemukan pikiran yang sama. Lalu pelan-pelan menarik gagang pancing. “Hitungan ketiga,” Hendra mengambil komando, “1, 2, 3!” Mereka berdua terlempar ke belakang dengan mendaratkan punggung secara bersamaan. Di saat itu pula seekor cumi sebesar lengan orang dewasa melayang ke langit, telah memakan umpan mereka.
***
Mereka bersepakat untuk merawat cumi yang didapatkan malam itu dengan segala hormat atas seisi laut, daripada harus memakan dan menikmati bagian kepalanya sebagai hidangan terakhir dalam sebuah pesta. Cumi itu dimasukkan ke dalam ember besar berwarna hitam. Hingga jika ia menguarkan tinta, warna tinta dan ember bisa saling menyesuaikan.
“Bagaimana kalau sebaiknya kita rebus saja?” kata Hendra.
“Kita sudah bersepakat untuk tidak memakannya,” jawab Irwan.
“Tetapi kita tidak mengerti cara merawatnya.”
“Sudah hampir seminggu dan dia masih baik-baik saja. Jangan khawatir.”
Hendra menyelupkan tangannya ke dalam ember.
“Jangan begitu!” bentak Irwan, “lihat, dia jadi takut. Tintanya keluar.”
Hendra memerhatikan cumi itu, lalu melihat wajah sukacita Irwan sambil berkata:
“Sebaiknya malam ini kita kembalikan saja dia ke laut.”
***
Mereka pergi ke dermaga setelah perdebatan panjang yang akhirnya membuat mereka bersepakat untuk mengembalikan cumi itu ke laut. Sesaat Irwan terkesiap ketika melewati surau yang penuh dengan anak-anak mengaji.
Mereka melintas di bawah awan yang menggumpal serupa anjing hitam. “Jika langitnya seperti ini, artinya apa?” tanya Irwan pada Hendra. Hendra tidak menjawab, ia masih serius memerhatikan langkahnya kalau-kalau di depan ada batu besar atau kerikil tajam. Mereka butuh waspada untuk sampai ke dermaga.
Sepanjang perjalanan, nampak segelintir nelayan yang tergopoh-gopoh karena ketinggalan rombongannya melaut. Menjelang magrib, kampung tempat mereka tinggal tidak boleh ramai. Sangat berisiko jika seseorang – terutama anak kecil – belum kembali ke rumah atau masjid pada waktu-waktu tersebut. Bisa-bisa suatu musibah akan menimpanya.
Mendekati dermaga, sayup-sayup mereka mendengar suara azan. Padahal, mereka sama-sama tahu, tidak pernah dibangun masjid di sekitar sana. Hanya ada dua tempat ibadah di kampung ini: Masjid Baiturrahman dan surau tempat mereka mengaji. Mereka juga tidak pernah mendengar ada agama lain yang memasuki kampung.
Mereka mempercepat langkah kaki sembari diiringi firasat ganjil. Cumi yang mereka bawa tiba-tiba menguarkan tinta hitam, seperti sedang berusaha memberi tanda yang sulit dimengerti.
Setibanya di mulut dermaga, mereka membuang terlebih dulu air dalam ember yang sudah keruh, supaya mereka bisa lebih mudah menyaksikan cumi itu pergi ke tempat asalnya.
Sementara suara azan semakin terdengar jelas dari sudut yang tak terjangkau. “Barangkali berasal dari sana,” kata Irwan seraya mengusap air matanya yang keluar tanpa musabab. Mereka melihat sebentar ke arah laut yang luas, yang pekat, yang mengakibatkan batas laut dan langit seperti menyatu. “Selamat tinggal,” ucap Hendra.
Mereka mengayunkan ember berisi cumi itu ke laut. “Clup!” suara itu semestinya menandakan bahwa sesuatu telah masuk ke perut laut. Akan tetapi, ketika mereka melihat ke bawah, cumi itu tidak pergi, tidak juga mati. Ia berenang mondar-mandir di permukaan air seperti hendak mengajak mereka ikut turun. Irwan dan Hendra bertatap-tatapan, bagai mempertemukan pikiran yang sama. “Clup!” mereka pun terjun tanpa memikirkan apa yang selanjutnya akan terjadi.
Ketika mereka sudah dalam keadaan mengapung, cumi itu bergeming di antara mereka. Sampai beberapa saat kemudian, barulah cumi itu berenang ke dalam laut; Irwan dan Hendra mengikutinya. Cumi itu terlihat menguarkan cahaya. Walau terkaget-kaget, Irwan dan Hendra tetap mengikutinya bagai sudah terhasut oleh hal yang mereka tidak mengerti.
Cumi itu semacam ingin memberi petunjuk ke sebuah tempat. Tempat yang belum jua terjangkau. Hingga Irwan dan Hendra menyadari, mereka berenang sudah terlalu jauh.
Mereka mulai mengalami kesulitan bernapas. Leher mereka serasa tercekik. Mereka bahu-membahu untuk kembali ke permukaan. Tetapi cumi itu segera menghadang dengan cahaya yang menyilaukan serta tubuh sebesar lengan orang dewasa. Mereka ternanar, dan pelan-pelan kegelapan menyelimuti pandangan mereka. Akan tetapi mereka masih mendengar, suara azan semakin melengking di bawah laut. (*)
*Robbyan Abel Ramdhon, lahir di Mataram, 5 Januari 1998. Sejumlah cerpen dan esainya pernah diterbitkan baik oleh media cetak dan daring. Juga bergiat di Komunitas Akarpohon Mataram.