Cerpen Ian Hasan
Tiba-tiba saja muncul gejala aneh di kampungku. Banyak anak yang berebut untuk bisa azan belakangan ini. Selidik punya selidik, ternyata orangtua merekalah yang berlomba-lomba supaya anaknya bisa paling duluan atau paling sering azan di musala.
“Yah, ajarin azan dong!” Anak laki-lakiku pun tak luput terkena imbasnya.
Padahal yang kutahu sebaliknya. Lama-kelamaan musala yang jaraknya hanya seratusan meter dari rumahku itu semakin sepi jemaah. Saat itu aku belum bisa mengerti penyebabnya. Aku hanya bisa menduga-duga dan tak berani sedikitpun memastikan. Mungkin karena Haji Lamin yang kurang berbaur dengan tetangga atau bisa jadi karena memang warga sendiri yang sedang mencari perkara. Aku dan istri berusaha tidak terpengaruh dengan hal itu.
- Iklan -
Sebagai warga baru yang masih ngontrak, tiap hari aku ajak istri dan anakku ke musala supaya mereka gampang bermasyarakat. Bagaimanapun, tetangga sudah kami anggap saudara sendiri, mengingat keberadaan perantau seperti kami.
“Sudahlah Mas, yang penting kita tetep berangkat sama anak-anak.” Istriku menyemangati.
Seperti sudah menjadi kesepakatan tak tertulis, warga pendatang seperti kami tidak akan pernah mendapatkan hak sama dengan warga asli. Pendatang kerap dianggap penumpang. Ibarat sudah puluhan tahun tinggal di kampung ini, tetap saja cap seperti itu tak bisa hilang. Ada semacam mufakat bahwa warga aslilah yang paling mengerti dan memahami situasi lingkungannya. Kecuali jika warga pendatang seperti kami memiliki pangkat, jabatan penting, kaya raya, atau punya kedudukan mulia karena sudah menyandang gelar ustaz atau haji. Situasi seperti ini membuat kami berusaha berbaur dengan warga sebaik mungkin, agar tidak dikucilkan, apalagi dimusuhi.
Pernah ketika di warung, seorang tetangga menceritakan perihal Mat Rokim, cucu Haji Lamin pemilik musala. Aku perkirakan usianya hanya terpaut beberapa tahun lebih muda dariku. Kebanyakan orang menganggap Mat Rokim berbeda karena tingkah laku dan cara dia berpakaian yang tak selazimnya. Bahkan ada beberapa warga yang menyebutnya idiot, cacat mental dan sejenisnya. Pernah kuperhatikan sorot matanya memang beda, tapi jelas sekali kupandang tak pernah menyimpan kebohongan, apalagi kelicikan. Haji Lamin pernah mengatakan cucunya punya dunia sendiri, sepenuh hidupnya untuk bermain.
Saat pertama kali tinggal di kampung ini, memang aku sendiri sempat merasa risih dengan kehadiran Mat Rokim di musala. Apalagi ketika terpaksa harus berdiri di sampingnya dalam barisan salat jemaah. Sering tanpa sadar aku menahan nafas dalam salat karena sudah terlebih dulu berprasangka buruk soal bau badannya, meskipun pada akhirnya tuduhanku itu tidak terbukti. Di balik dekil pakaiannya, aku tahu Mat Rokim menyembunyikan ketulusan yang tak dipunyai orang biasa sepertiku.
Pernah juga kuperhatikan tingkahnya saat aku terlambat datang berjemaah salat. Ketika itu Mat Rokim suka tengak-tengok, bersandar di tembok, atau bahkan membalikkan badan sambil melambai-lambaikan salah satu tangan—sambil yang lain tetap bersedekap, untuk mengajak anak-anak kecil kembali ke barisan. Bahkan sekali waktu tingkah kekanakannya membuat gaduh, karena Mat Rokim mengeluarkan bunyi kentut ketika salat jemaah masih berjalan. Kejadian semacam ini membuat para tetangga sempat menganggap dia kurang waras. Atau bisa jadi warga yang enggan datang ke musala, sebab merasa terganggu dengan ketidak-laziman perilakunya itu. Dan alasan terakhir ini tak pernah terungkap sedikitpun, terlebih karena hanya menjadi dugaanku sendiri saja.
Entah sudah berapa kali kutanyai Haji Lamin perihal tingkah Mat Rokim. Tetapi setidaknya suatu petang selepas maghrib, dia pernah bercerita dengan sejelasnya. Keanehan Mat Rokim—menurut penuturan Haji Lamin, terjadi sejak banjir bandang puluhan tahun lalu. Saat itu usia Mat Rokim belum genap tiga bulan. Kedatangan banjir yang tiba-tiba, membuat semua warga tak punya kesiagaan, termasuk mengamankan harta benda mereka. Haji Lamin dan istrinya pun sudah pasrah, harta paling berharga mereka lepas akibat terjangan tanpa diduga. Tubuh mungil Mat Rokim tak luput ikut hanyut terbawa derasnya air yang menggenangi perkampungan.
Haji Lamin tahu, sungai di sebalah Barat kampung bakal membawa benda apapun yang hanyut ke pantai utara. Apalagi mengingat Mat Rokim masih bayi, siapa pun tak mengira kenyataan esok paginya. Ketika air mulai surut di subuh yang masih kalut, tangisan Mat Rokim terdengar dari rimbunan bambu yang sekarang berdiri musala ini. Bayi Mat Rokim tersangkut batang bambu yang rebah melintang, bercampur tumpukan ranting, dedaunan, dan pakaian penduduk yang hanyut terbawa banjir.
Mat Rokim kemudian tumbuh disertai keanehan-keanehan yang seringkali susah diterka. Pernah seisi kampung geger karena niat baik Mat Rokim menghibur anak tetangga yang baru saja ditinggal mati ayahnya. Dia datang bersama rombongan Tanjidor sesaat setelah jenazah selesai dimakamkan. Duka tak jadi larut karena biang keramaian justru datang menyambut. Sampai sekarang tak ada satupun warga yang tahu siapa yang membayarnya. Pernah juga suatu Mat Rokim mengajak orang-orang membersihkan jalan ke kuburan, menata bebatuan, menyingkirkan ranting-dahan penghalang jalan. Hanya satu-dua orang mau mengerjakan karena sungkan, sementara yang lain sekadar memperhatikan sambil lalu saja. Di hari berikutnya baru terungkap, ada warga yang satu keluarga menjadi korban kecelakaan kereta. Tentu saja keanehan berulang seperti itu membuat siapapun menganggap Mat Rokim berbeda. Pun sekali-dua peristiwa justru menyudutkan Mat Rokim sebagai penyebabnya.
Haji Lamin dan istrinya bersyukur, masih diberi kesempatan membesarkan Mat Rokim hingga sekarang. Suara sumbang ataupun sanjungan sudah tak mempan lagi di telinga mereka. Apa pun yang terjadi dengan Mat Rokim, bagi mereka sudah takdir dan memang harus diterima. Apalagi tak terhitung sudah berapa kali Mat Rokim menjadi jalan keluar atas kesulitan yang pernah dihadapi keluarga Haji Lamin. Suatu ketika pernah keluarga Haji Lamin terdesak hutang dan nyaris menjual tanah beserta rumahnya, Mat Rokim pulang membawa teman seorang pengusaha yang kemudian melunasinya. Atau saat pembangunan musala terkatung-katung, tiba-tiba datang seorang dermawan dari luar Jawa mengaku sedang mencari Mat Rokim yang pernah ditemuinya di Makkah. Dermawan itu merampungkan pembangunan musala hingga jadi seperti sekarang, meski setelahnya tak banyak warga yang mengingatnya.
Kasak-kusuk tetangga mengenai Mat Rokim masih saja muncul manakala sekali waktu terdengar dia azan. Mereka menyalahkan pengurus musala yang teledor, sekalipun yang dipergunjingkan sesungguhnya bukan itu. Mereka heran mendapati kesaksian Mat Rokim bisa azan. Sedangkan mengajak bicara dia saja tak gampang. Dia hanya berbincang dengan orang-orang yang dikehendaki, dengan bahasa yang bisa mereka pahami. Mat Rokim lebih banyak diam, sambil menenteng radio kesayangannya berkeliling kampung, bahkan kadangkala dia pergi jauh ke tempat yang tak pernah diketahui keluarga, apalagi warga.
Berminggu-minggu cerita soal azan Mat Rokim riuh kembang. Terlebih dalam beberapa kali kejadian selalu disertai peristiwa lain yang menggemparkan.
“Nape juga tiap Si Rokim azan, ade aje yang mati?” begitu rata-rata tuduhan tetangga ketika nongkrong di warung atau ketika ibu-ibu mengerubuti tukang sayur.
Peristiwa demi peristiwa membuat warga tak bosan-bosan membicarakan keanehan terakhir Mat Rokim. Awalnya bulan kemarin. Seorang rentenir kondang mati disengat listrik dengan tubuh hangus terlilit kabel putus dari tiang lampu dekat kuburan. Juragan tempe yang suka hutang ke tetangga kiri-kanan, juga diketahui warga mati kecemplung sumur di belakang rumahnya. Lalu seorang tetangga baru yang punya kios kelontong di mulut gang, mendadak mati juga saat mengoplos minuman keras tengah malam. Benar atau tidak, hampir seluruh warga mengaitkan semua kematian itu sebab Mat Rokim. Suara azan Mat Rokim seperti membawa kutukan. Apalagi ketika esok harinya, setelah Mat Rokim azan subuh, pak lurah diketahui warga meninggal di rumah salah satu janda yang belum lama berpisah dari suaminya. Tak pelak seisi kampung gempar, tak kenal tua-muda, laki-perempuan, semua membahasnya. Mereka bahkan mendakwa suara Mat Rokim mengandung bisa atau tuah mematikan.
“Makanye ajarin tu anak-anak, azan!”
“Elunya juge, kalo ude tue, jangan nyang macem-macem!”
Sekarang terjawab kenapa orang-orang tua berlomba menyuruh anaknya belajar azan. Rupanya siapapun tak menghendaki kesialan menimpa keluarga mereka. Di sisi lain, warga yang ikut jemaah di musala semakin berkurang, hingga sebarispun jarang penuh. Ibu-ibu yang biasa mengantarkan anaknya juga mulai berhalangan. Ada saja alasannya. Padahal, semakin mereka enggan ke musala, membuat semangat anak-anak lebih agampang bertumbangan.
Haji Lamin mulai khawatir dengan keadaan musalanya. Banyak hal yang dia pikirkan yang sesekali dia ceritakan mirip keluh-kesah tanpa jalan keluar. Hingga untuk urusan keuangan dari infak jemaah dan masyarakat sekitar, akhirnya dia percayakan padaku. Tak kuasa kutolak permintaannya dalam rundungan nelangsa seperti itu.
Musala tetap saja sepi, kecuali satu-dua jemaah dan anak-anak yang berebut azan lalu seenaknya pergi atau bikin gaduh di pelataran. Bahkan orang-orang mulai mengungkit perihal dana kas musala yang kubawa. Kebanyakan mereka mempermasalahkan kondisi bangunan dan perlengkapan musala yang dari dulu hanya begitu-begitu saja. Persoalan jadi merembet ke masalah toilet bau pesing, cat dinding kusam, kaca pintu dan jendela buram, karpet kotor, tempat wudu bocor dan suara corong pengeras musala yang tidak enak didengar.
“Namanye orang sedekah kan maunye manfaat, iye kan Mpok?”
“Ditumpuk dulu, buat naek haji kali? Hahaha…!”
Kali ini sasaran obrolan warga tertuju padaku. Padahal setahuku, tugas bendahara sepertiku hanya bertanggungjawab dan mencatat keluar dan masuknya duit. Apalagi untuk urusan musala yang bersinggungan dengan hajat warga sekampung. Tentu saja aku tak berani lancang mengeluarkan anggaran sembarangan untuk kebutuhan-kebutuhan tadi tanpa pertimbangan dari pengurus lain, lebih-lebih menimbang masukan dari Haji Lamin. Bukan hanya dalam hal mengeluarkan, untuk menerima uang semacam bantuan dari luar saja bukan hakku untuk memutuskan.
Kebimbanganku yang seperti itu nyatanya terbaca Haji Lamin. Dia berharap ada jalan keluar yang setimpal. Di sisa usianya, dia berkeinginan musala kembali ramai dan segala sesuatunya terurus. Sedangkan kesehatannya terlihat semakin menurun. Beberapa kali ketemu, dia berujar bahwa hanya aku dan Mat Rokim yang menjadi tumpuan harapannya sekarang. Bahkan dia sempat berpesan soal masa depan Mat Rokim yang dititipkannya padaku, seolah akhir usianya tinggal sejengkal lagi.
Hujan mengguyur seisi kota dan aku pun tak pelak kuyup sepanjang perjalanan pulang dari tempatku bekerja. Sesampainya di rumah aku sempat menggigil. Segelas teh panas disiapkan istriku di meja makan. Pikiranku tambah risau dengan musala, jemaah dan Haji Lamin. Akhir-akhir ini dia jarang terlihat. Kabarnya dia mulai gampang masuk angin dan sakit-sakitan. Gemuruh petir dan kilat menandaskan kesuraman lain di benakku. Pikirku, malam ini musala bakal kosong karena hujan turun sangat deras. Anak-anak tetangga juga bakal dilarang keluar rumah sendirian tanpa orangtua.
Waktu Magrib tiba. Aku bergegas mengambil sarung, peci dan baju koko di gantungan. Biar saja anak istri di rumah. Mereka masih bisa berjemaah di rumah, sementara aku harus segera melangkah ke musala. Setidaknya nanti, lampu dalam dan serambi musala sempat kunyalakan agar malam ini tidak bertambah suram. Sambil mengenakan payung, kucincing sarung melewati genangan di jalanan menuju musala. Terbersit kekhawatiran tertumpuk dugaan dalam batinku. Bayangan wajah renta Haji Lamin memenuhi kepanikan yang tak kumengerti. Waktu seakan cepat sekali berjalan. Sampai-sampai tak kuhiraukan teriakan anakku yang tak mau ditinggal.
Sambil tergesa, pandangan dan seluruh perhatianku tertuju ke musala. Rupanya lampu dalam dan serambi telah dinyalakan terlebih dulu oleh Mat Rokim. Kekhawatiranku bertambah. Setengah berlari kupercepat langkah berusaha mendahului Mat Rokim yang sedang berwudu. Dia terlihat tergesa menyelesaikan wudunya, akupun ikut tergesa. Mat Rokim selesai lebih dulu dan sempat terlihat gusar dengan lambaian tangannya menghalau kedatanganku.
Yang kuingat hanya beberapa saat setelah kakiku menginjak undakan pertama musala, suara azan Mat Rokim terdengar lamat karena bercampur gemuruh tumpahan hujan mengenai atap seng serambi. Sebersit kepasrahan menggantung kekhawatiranku sebelumnya, menyusul beberapa detik kemudian cahaya kilat dan suara petir mengagetkanku, tanpa ampun menghajar tumpukan atap musala dengan sekali sambaran. Nyala api menerangi seisi kampung yang seketika itu menggulita. Bersama geming aku tahan kesadaran agar tetap terjaga, disusul kerumunan warga menyaksikan kapar tubuh Mat Rokim tertimpa runtuhan atap musala kakeknya.
*Ian Hasan, Kelahiran Ponorogo, saat ini bergiat di Sanggar Pamongan Karanganyar, selain terlibat di beberapa komunitas, termasuk Komunitas Kamar Kata.