Oleh: Rara Kamiliya*
Indonesia secara historis merupakan negara kesatuan yang berdiri di atas keberagaman budaya dan tradisi. Tanpa budaya dan tradisi, Indonesia tidak memiliki ciri khas di mata global. Maka dari itu, keberagaman yang masih mengakar kuat di era modernisasi adalah suatu keniscayaan bagi bangsa Indonesia. Setiap tradisi dihasilkan oleh sebuah keyakinan akan adanya kekuatan yang tidak semuanya dapat dibuktikan melalui fakta konkret, atau dengan kata lain dikenal dengan mitos. Terlepas baik atau buruknya, mitos di Indonesia merupakan bentuk kekuatan pemikiran yang membedakan pola pikir bangsa Indonesia dengan bangsa lain.
Kini, pemuda generasi bangsa yang hidup di lingkungan berdasarkan pada rasionalitas seyogyanya bergerak sebagai agen perubahan untuk membebaskan generasi terdahulu dari belenggu tradisi negatif dan tidak memberikan makna apapun bagi kehidupan mereka. Bahkan tradisi tersebut lebih banyak memakan korban perempuan, didasarkan pada asumsi bahwa perempuan diciptakan sebagai makhluk yang lemah dan problematik. Perempuan digambarkan sebagai aib yang rentan menimbulkan rasa malu keluarga di mata masyarakat. itulah sebabnya, Tradisi sering kali membungkam dan membatasi peran perempuan demi menyelamatkan nama baik keluarganya, bukan perempuan itu sendiri. Fenomena seperti ini membutuhkan peran pemerintah dan organisasi masyarakat yang concern terhadap isu emansipasi dan pemberdayaan perempuan, salah satunya adalah Korps Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Putri (KOPRI) sebagai representasi organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Tentunya mereka adalah jawaban atas doa-doa perempuan yang termarjinalisasi di dalam lingkungan mereka.
Kate Millett dalam bukunya Sexual Politics (1970) berasumsi bahwa adat dan budaya adalah ideologi patriarki yang mendasar, di mana sistem ini menempatkan laki-laki pada posisi dominan, kekuasaan, dan otoritas. Budaya, agama, dan mitos digunakan untuk menginternalisasi kekuasaan laki-laki. Masyarakat adat tidak mendukung pendidikan dan karir bagi perempuan disebabkan ilmu dan materi adalah senjata untuk menjadi dominan di sebuah lingkungan. Begitulah sering kali pelaku patriarki adalah kaum perempuan itu sendiri yang berdampak pada tingginya semangat menikah daripada semangat belajar dan berdaya. Mengapa selalu mengarah ke pernikahan? Sebab pola pikir masyarakat adat hanya memandang perempuan lebih berguna dalam rumah tangga dan seks dengan berlandaskan dalil agama, sehingga hal itu sangat mudah diterima dan didukung kaum perempuan. Padahal nyatanya, memahami agama di aspek yang begitu sempit sebagaimana fenomena tersebut menunjukkan kualitas masyarakat yang terbelakang.
- Iklan -
Berdirinya KOPRI saja merupakan bentuk kesadaran mahasiswa PMII terhadap isu perempuan dan diharapkan memfasilitasi perkembangan kader-kader perempuan dalam aspek pemikiran dan aksi nyata dalam jangka panjang. Sebagai organisasi yang fokus pada perkembangan pemuda, KOPRI seharusnya tidak hanya memusatkan edukasi pada para kader, melainkan juga diperluas pada perempuan muda lainnya, baik itu mahasiswa maupun non-mahasiswa. Dedikasi KOPRI di lingkungan masyarakat adat dapat memperkuat legalitas dan kapabilitasnya atas visi emansipasi dan pemberdayaan perempuan. Selain itu, KOPRI dapat menjadi perwakilan atas nama pemuda muslim dalam memberikan edukasi emansipasi perempuan berbasis islam dan memberikan pemahaman luas terkait syariat islam moderat. Pemahaman luas dan moderat sangat penting untuk mengembalikan citra muslim dari stigma radikalisme dan keterbelakangan.
Nilai Dasar Pergerakan (NDP) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia bab II secara jelas menyebutkan salah satu nilai dasar yang wajib dimiliki kader PMII dan KOPRI adalah hubungan manusia dengan manusia berlandaskan salah satu firman Allah SWT dalam Q.S. Al-Hujurat ayat 13. Ayat tersebut mengamini kewajiban setiap manusia untuk memahami ketinggian eksistensi dan potensi yang dimiliki oleh manusia serta mempunyai kedudukan yang sama antara yang satu dengan lainnya. Sebagai warga dunia, manusia harus berjuang dan menunjukkan peran yang dicita-citakan. Tidak ada yang lebih tinggi antara yang satu dengan lainnya, kecuali ketakwaannya. Secara tidak langsung, ayat tersebut menolak sistem patriarki yang sarat akan perbedaan kasta antara laki-laki dan perempuan. Perempuan adalah bagian dari manusia ciptaan Tuhan sehingga memiliki kedudukan yang sama dengan laki-laki.
Berbicara prinsip persamaan mengingatkan kembali pada realita pola pikir perempuan di lingkungan adat bahwa mereka memang dilahirkan tidak sama kedudukannya dengan laki-laki. Oleh sebab itu, sistem patriarki adalah hal yang lumrah dan adil-adil saja menurut mereka. Konteks inilah kiranya menjadi tugas paling awal oleh KOPRI, yakni edukasi prinsip persamaan dan perbaikan pola pikir perempuan dalam lingkungan adat. Dengan tujuan membangun kesadaran bahwa perempuan memiliki kedudukan yang sama dengan laki-laki sebagai manusia serta mengajarkan pola pikir kritis terhadap isu di segala aspek. Edukasi ini dapat dilakukan dalam bentuk konten di media sosial maupun sebuah event diskusi atau dikemas dalam bentuk kuliah umum.
Lebih lanjut, proses edukasi akan lebih berdampak melalui keterampilan praktis. Keterampilan praktis melatih kemandirian perempuan di lingkungan adat dalam menentukan keputusan strategis terkait satu atau dua studi kasus yang disediakan oleh KOPRI sebagai fasilitator edukasi. Pelatihan ini memungkinkan edukasi pola pikir kritis akan terasah dan berguna dalam jangka panjang.
Terakhir, KOPRI pastinya tidak lepas dari tugas advokasi agar suara emansipasi wanita tidak lekang oleh waktu dan zaman. Era digitalisasi memudahkan penyebaran informasi sehingga jarang ada yang sulit diakses di zaman ini. Peran KOPRI dalam advokasi juga lebih luas jangkauannya melalui media sosial, tidak hanya perempuan-perempuan di masyarakat adat melainkan masyarakat di seluruh dunia. Advokasi KOPRI diharapkan menggema secara rutin dengan melibatkan beberapa isu diskriminasi perempuan beserta kritiknya agar kesadaran dan skeptisisme masyarakat, tentang patriarki khususnya, dapat tertanam kuat.
Berdirinya KOPRI yang berlandaskan tujuan para pendahulu PMII untuk memperkuat eksistensi organisasi dalam aspek keadilan gender, tentunya menjadi harapan utama para perempuan termarjinalkan untuk memperjuangkan emansipasi serta pemberdayaan perempuan, tidak hanya bagi kader melainkan pula bagi seluruh kaum perempuan. Adat yang menjadi salah satu ideologi patriarki merupakan tugas baru KOPRI dalam menyelamatkan kaum perempuan yang sulit keluar dari lingkungan tersebut. Melalui edukasi, keterampilan praktis dan advokasi kiranya menjadi langkah awal dengan tujuan mengangkat pola pikir kolot perempuan adat dan melatih berpikir kritis. Jika pola pikir sudah benar maka dipastikan mereka akan mudah menentukan jalan hidup yang lebih strategis dan skeptis. Dengan demikian, angka perempuan polos dan secara tidak sadar didiskriminasi melalui pendekatan adat dan agama akan menurun, serta Indonesia Emas 2045 nanti akan menyambut para perempuan hebat yang berhasil meretas belenggu adat yang tidak rasional.
*Nama pena dari R. Ayu Kamiliya Zahra, mahasiswi UIN Sunan Ampel Surabaya asal Madura. Silaturahmi instagram @raykza_



