Oleh : S. Prasetyo Utomo
MASIH gelap subuh, Samsu mendorong kursi roda Panji Rangsang, ayahnya, meninggalkan Lembah Kelelawar. Kursi roda melintasi jalan berkabut. Mereka menuju surau Kiai Muhaya yang sedang dipugar. Telah sebulan Panji Rangsang salat subuh di surau semenjak terserang lumpuh. Wajahnya menyusut. Tubuh mengering. Sepasang matanya hampa.
Dengan wajah menunduk, Samsu mendorong kursi roda ayahnya. Ia bergetar saat berpapasan dengan Suro Kolong. Lelaki muda itu tak berani menatap wajah Suro Kolong. Ia pernah mencuri di ladang jagung lelaki tua itu.
Suro Kolong berjalan mengikuti kursi roda Panji Rangsang. Dua lelaki tua itu tak bertegur sapa. Mereka berdiam diri. Suro Kolong menghindari percakapan yang akan menyakitkan hati Panji Rangsang, musuh bermain tomprang 1) merpati dengan taruhan sawah dan ladang.
Kursi roda Panji Rangsang berhenti di depan pintu surau. Samsu menjauh dari ayahnya, menyalakan rokok, dan menghisapnya. Langkah Suro Kolong melewati depan kursi roda Panji Rangsang. Tangan kanan Panji Rangsang menarik lengan Suro Kolong. Langkah Suro Kolong berhenti.
“Aku tak menduga bakal lumpuh seperti ini,” kata Panji Rangsang, parau. “Aku melakukan tomprang dengan seseorang, menang taruhan seratus juta. Beberapa hari kemudian aku lumpuh.”
Suro Kolong mendengarkan semua keluhan Panji Rangsang. Duduk menahan sepi di kursi roda, Panji Rangsang masih ingin terus bicara. Suro Kolong menunggu kesempatan untuk memasuki surau. Ia ingin menghindari percakapan yang terlalu lama. Tetapi ia tak sanggup melepaskan diri dari Panji Rangsang yang ingin menyingkap kemalangan nasib hidupnya.
“Apa karena aku selalu menenggak ciu 2) hingga jadi lumpuh? Selama ini aku merasa tubuhku kuat meski seringkali teler. Tapi kenapa sekarang lumpuh?” kata Panji Rangsang menggugat keadaan dirinya.
“Semoga kau sembuh seperti semula,” balas Suro Kolong. Ia memaksakan diri untuk tersenyum, menebar perhatian pada lelaki kursi roda itu. Ia memasuki surau, dan Panji Rangsang termangu di ambang pintu.
Tak seorang pun menyapa Panji Rangsang. Lelaki tua itu serupa patung kayu lapuk. Dengan pandangannya yang layu, ia mengenali orang-orang desa yang memasuki surau. Tak seorang pun tersenyum. Tak seorang pun menyalaminya. Mereka melintas di depannya, dengan diam, kadang dengan pandangan sinis. Hanya Kiai Muhaya, selepas salat, yang menghampirinya. Menyalaminya. Lelaki itu mencium punggung tangan kiai dengan lelehan air mata.
***
LANGIT masih berbintang cemerlang ketika Samsu mendorong kursi roda ayahnya. Mereka melintasi jalan beraspal. Di belakang mereka Suro Kolong melangkah lambat menuju surau Kiai Muhaya. Sebelum lumpuh, Panji Rangsang tak pernah memasuki surau. Ia menghabiskan waktu untuk berjudi – dari malam hingga pagi, bahkan hingga siang. Kadang mabuk ciu dan tertidur sampai sadar kembali.
Suro Kolong menjauhi Panji Rangsang. Tetapi ia tak pernah benar-benar bisa menghindar. Sebelum memasuki surau, Panji Rangsang meraih lengan Suro Kolong, mencengkeram. Dengan suara menahan tangis, ia mengadu, “Kaulihat tubuhku yang melemah? Lihat, kaki kiriku mengecil. Tiap hari tubuhku makin sukar bergerak.”
“Kau sudah mengambil keputusan yang benar, pergi ke surau ini,” balas Suro Kolong.
“Apa aku bisa kembali sehat?”
Suro Kolong tak menanggapi kegelisahan Panji Rangsang. Ia tak bisa memberi harapan pada lelaki yang senantiasa berjudi itu. Ia menghindar dari perbincangan yang lebih pilu.
***
RUMAH kayu Panji Rangsang di Lembah Kelelawar diperbaiki. Kayu-kayu didatangkan dengan truk. Suro Kolong termangu melihat tukang-tukang yang giat bekerja membenahi rumah kayu, di sisi pagupon 3), tempat burung-burung merpati balap dipelihara. Samsu mendorong kursi roda ayahnya, mendekati Suro Kolong yang memandangi burung-burung merpati yang biasa diadu tomprang.
Terdengar parau suara Panji Rangsang, “Aku mesti mengakhiri adu tomprang denganmu. Selama ini aku selalu kalah. Sawah ladangku habis sebagai taruhan. Sekarang aku lumpuh, tak mungkin lagi bisa merawat burung-burung merpati itu.”
“Bersabarlah, semoga kau lekas sembuh. Kita kembali tomprang.”
“Aku tak tertarik lagi adu tomprang,” tukas Panji Rangsang, “Ambillah semua merpati kolong itu untukmu.”
“Merpatimu berharga mahal. Kau bisa menjualnya pada orang lain.”
“Sudah saatnya aku berhenti mempertaruhkan sawah ladangku untuk bermain tomprang,” kata Panji Rangsang. “Bawalah burung-burung merpati itu dengan kandangnya sekalian. Aku tak memerlukannya lagi.”
Suro Kolong memandangi wajah Panji Rangsang yang menyusut dan layu. Bukan wajah Panji Rangsang yang dulu, yang senantiasa penuh pengharapan beradu tomprang dan menampakkan kemauan untuk menang.
“Akan kubayar semua burung merpati balap ini,” kata Suro Kolong.
“Semoga kau hidup bahagia bersama Lastri dan merpatiku.”
Suro Kolong terdiam. Sekilas, ia memandangi wajah Panji Rangsang yang menunduk. Masih diingat Suro Kolong, peristiwa pernikahannya dengan Lastri. Saat itu Lastri selalu dirayu Panji Rangsang. Ke mana pun pergi, Panji Rangsang mengabarkan, Lastri bakal dinikahinya. Kedudukan Suro Kolong sebagai pegawai kecamatan membuatnya penuh percaya diri. Ia mendekati Lastri dan meminta keluarganya melamar gadis itu. Ia menikahi Lastri, dalam resepsi pengantin yang meriah. Panji Rangsang merasa kekasihnya dirampas, dan selalu mengajak tomprang burung merpati dengan Suro Kolong, mempertaruhkan sawah dan ladang. Berulangkali Panji Rangsang kalah tomprang, sawah dan ladangnya dikuasai Suro Kolong. Dalam hati, ia masih ingin merampas kembali sawah ladang yang kini dimiliki Suro Kolong. Ia ingin melihat Suro Kolong miskin, dan Lastri menyesal telah memilih menikah dengan pegawai kecamatan itu. Akan tetapi, hingga Suro Kolong pensiun, ia lebih sering kalah dalam adu tomprang. Ia merasa tak memiliki kesempatan untuk menyeret Suro Kolong dalam kemiskinan. Kini ia menyerahkan semua burung merpatinya pada Suro Kolong. Ia ingin mengakhiri rasa dendam dan dengki.
***
KELELAWAR-KELELAWAR terbang berhamburan pagi itu, bercericit gaduh, berkitar-kitar, dan kembali hinggap di dahan pepohonan. Orang-orang desa mengabarkan Panji Rangsang meninggal dunia. Suro Kolong melangkah terburu-buru melayat ke rumah Panji Rangsang. Rumah papan itu terlihat murung di atas hamparan Lembah Kelelawar. Empat hari Suro Kolong tidak melihat Panji Rangsang salat subuh di surau Kiai Muhaya, kini tersiar kabar ia meninggal dunia. Suro Kolong paling pagi datang. Masih senyap. Hanya beberapa orang yang melayat ke rumah terpencil itu.
Di antara para pelayat, Suro Kolong melihat Kiai Muhaya memasuki pelataran rumah Panji Rangsang, dan disalami semua orang. Kiai Muhaya memilih duduk di sisi Suro Kolong.
“Kau mesti tahu satu hal mengenai amal almarhum,” kata Kiai Muhaya,”Uang yang kauberikan padanya sebagai pembelian burung merpati, disumbangkan padaku untuk memugar surau.”
Di antara para pelayat, Suro Kolong paling banyak merenung. Ia menunduk, dengan wajah menyembunyikan rasa pedih. Malu.
***
Pandana Merdeka, April 2025
Catatan:
1) tomprang = aktivitas menerbangkan merpati dari jarak tertentu.
2) ciu = minuman keras
3) pagupon = kandang merpati
S. Prasetyo Utomo, lahir di Yogyakarta, 7 Januari 1961. Menyelesaikan program doktor Ilmu Pendidikan Bahasa Unnes pada 9 Maret 2018 dengan disertasi “Defamiliarisasi Hegemoni Kekuasaan Tokoh Novel Kitab Omong Kosong Karya Seno Gumira Ajidarma”.
Semenjak 1983 ia menulis cerpen, esai sastra, puisi, novel, dan artikel di beberapa media massa seperti Horison, Kompas, Suara Pembaruan, Republika, Koran Tempo, Media Indonesia, Jawa Pos, Bisnis Indonesia, Nova, Seputar Indonesia, Suara Karya, Majalah Noor, Majalah Esquire, Basabasi.
Menerima Anugerah Kebudayaan 2007 dari Departemen Kebudayaan dan Pariwisata untuk cerpen “Cermin Jiwa”, yang dimuat Kompas, 12 Mei 2007. Menerima penghargaan Acarya Sastra 2015 dari Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Menerima penghargaan Prasidatama 2017 dari Balai Bahasa Jawa Tengah.
Kumpulan cerpen Bidadari Meniti Pelangi (Penerbit Buku Kompas, 2005), dibukukan setelah lebih dari dua puluh tahun masa proses kreatifnya. Cerpen “Sakri Terangkat ke Langit” dimuat dalam Smokol: Cerpen Kompas Pilihan 2008. Cerpen “Penyusup Larut Malam” dimuat dalam Pada Suatu Hari, Ada Ibu dan Radian: Cerpen Kompas Pilihan 2009 dan diterjemahkan Dalang Publishing ke dalam bahasa Inggris dengan judul “The Midnight Intruder” (Juni 2018). Cerpen “Pengunyah Sirih” dimuat dalam Dodolitdodolitdodolibret: Cerpen Pilihan Kompas 2010. Novel yang terbit Tarian Dua Wajah (Pustaka Alvabet, 2016), Cermin Jiwa (Pustaka Alvabet, 2017), Percumbuan Topeng (Cipta Prima Nusantara, 2022). Kumpulan cerpen Kehidupan di Dasar Telaga (Penerbit Buku Kompas, 2020), nomine Penghargaan Sastra Badan Bahasa 2021. Kumpulan cerpen terbaru Ketakutan Memandang Kepala (Hyang Pustaka, 2022) dan Anak Panah Dewa (Penerbit Nomina, 2022). Novel terbarunya Iblis Menjelma Senapan Berburu (Falcon Publishing, 2024). Kumpulan esai yang segera terbit Hegemoni Kuasa dalam Sastra (Penerbit Jbs, 2024).