Oleh Sam Edy Yuswanto*
Kepada ibu, Nurma mengatakan memilih tinggal di rumah saja. Nurma langsung menggeleng dengan raut enggan ketika ibu mengajaknya menghadiri kegiatan nyadran pagi itu. Sebenarnya, kemarin sore ibu sudah menyinggung perihal adat yang biasa digelar tiap bulan Ruwah atau Syaban minggu terakhir dan dihadiri oleh warga sekampung. Nyadran atau menziarahi makam para leluhur yang telah berpulang ke hadirat Tuhan memang sudah menjadi tradisi yang sangat mengakar kuat di kampung Waru, tempat kelahiran Nurma.
Biasanya tiap tahun Nurma selalu ikut ibunya menghadiri acara nyadran yang bertujuan mendoakan keselamatan sekaligus mengingat jasa atau kebaikan-kebaikan para leluhur atau nenek moyang semasa mereka masih hidup. Adat nyadran yang digelar sebelum memasuki bulan Ramadan itu juga menjadi cara bagi ibu menuntaskan rasa rindunya pada bapak.
Bagi ibu, membersihkan makam almarhum bapak, lalu menaburinya dengan bunga-bunga aneka warna, dan dilanjutkan dengan memanjatkan doa agar bapak diampuni segala dosa, dapat menjadi pengobat rindu. Bapak meninggal dunia sepuluh tahun silam setelah menderita demam berdarah selama sepekan dan sempat dirawat di Puskesmas selama tiga hari, tepatnya saat Nurma baru kelas empat Sekolah Dasar. Kini Nurma telah melanjutkan kuliah semester satu di sebuah perguruan tinggi swasta di pusat kota.
“Mulai tahun ini Nurma nggak akan mau ikut nyadran lagi, Bu,” inilah jawaban Nurma ketika ibu membicarakan perihal nyadran kemarin. Jawaban yang membuat ibu langsung tercengang bersebab tahun-tahun sebelumnya putri semata wayangnya itu tak pernah sekali pun menolak saat diajak menghadiri kegiatan nyadran di kampungnya.
“Lho, kenapa, Nduk,” tanya ibu dengan raut heran. Sejak Nurma masih kecil, ibu memang terbiasa memanggil Nduk padanya. Sebuah panggilan bermakna sayang dari orangtua pada anak perempuannya.
Lantas, dengan tegas Nurma menjelaskan pada ibu, bahwa nyadran bukanlah termasuk budaya yang diajarkan oleh syariat. Bahkan bisa menyebabkan syirik atau menyekutukan Tuhan. Tentu kaget bukan main ibu saat mendengar keterangan putrinya itu. Ibu masih ingat penjelasan Mbah Mien, imam masjid di dekat rumah, bahwa adat nyadran itu tidak menyalahi syariat selama bertujuan mendoakan para leluhur. Mbah Mien, sosok yang selalu menolak dipanggil kiai itu juga pernah menegaskan bahwa berziarah ke makam para leluhur dapat membuat kita ingat terhadap kematian yang kelak pasti datangnya. “Dengan mengingat kematian, mudah-mudahan kita akan lebih bersemangat lagi dalam beribadah, sebagai bekal saat kita berada di akhirat nanti,” begitu ucapan Mbah Mien yang masih begitu diingat oleh ibu.
“Bentar, bentar, Nduk. Kegiatan Nyadran kamu bilang syirik?”
“Iya, karena mendatangi orang mati dan memohon padanya itu kan perbuatan syirik, dosen Nurma pernah menjelaskan seperti itu, kita dilarang meminta-minta kepada orang mati,”
“Nduk, dengerin Ibu, kita ke kuburan itu bukan untuk meminta pada orang mati, tapi untuk mendoakan kebaikan kepada para leluhur terutama Bapak, orangtuamu,”
“Berdoa itu di tempat ibadah, bukan di kuburan, Bu,”
“Berdoa itu bisa di mana saja, Nduk. Termasuk di kuburan, kata Mbah Mien berziarah itu bisa mengingatkan kita pada kematian,”
Nurma terkekeh. Terlihat sekali raut wajahnya meremehkan keterangan ibu kandungnya.
“Percaya kok sama Mbah Mien, Bu. Percaya itu sama orang berilmu, kayak dosen Nurma yang pernah menimba ilmu di luar negeri,”
“Astagfirullah, Nduk, Mbah Mien itu juga pernah menimba ilmu di pesantren, bahkan dulu beliau ikut memperjuangkan negeri ini agar bisa merdeka,” ibu mengurut dada mendengar ucapan ketus putrinya barusan. Duh Gusti, apa ini yang diperoleh anakku di bangku perguruan tinggi? Kalau tahu jadinya akan seperti ini, nggak bakalan aku kasih izin dia melanjutkan kuliah. Ibu bergumam penuh penyesalan dalam batin.
“Sudahlah, Bu, pokoknya Nurma nggak mau ikut nyadran, kalau Ibu mau berangkat ya silakan, Nurma di rumah saja,”
Ibu akhirnya memilih diam. Tak mau melanjutkan berdebat dengan putrinya karena itu hanya akan membuatnya merasa kecewa dan bertambah sedih saja.
***
Meski sudah tahu kalau Nurma tak mau diajak mengikuti kegiatan nyadran, tapi entah mengapa pagi itu saat akan berangkat ke tempat pemakamana, ibu kembali mencoba mengajaknya. Siaps tahu dia berubah pikiran..
“Nduk, beneran kamu nggak mau ikut?” ibu berusaha mengucapkan kalimat itu dengan pelan, demi menghindari perdebatan sebagaimana kemarin.
“Nurma di rumah saja, Bu,” jawab Nurma datar dengan raut tegas dan enggan.
Lebur sudah harapan ibu. Akhirnya, ibu pergi ke pemakaman seorang diri membawa tikar sebagai alas duduk dan tas kresek berisi bunga-bunga yang dipetik di halaman rumah. Sejak dulu ibu memang rajin menanam dan merawat bunga-bunga di halaman rumah. Mulai bunga matahari, asoka, melati, dan masih banyak yang lainnya. Entah mengapa kegiatan menanam bunga membuat hati ibu terasa lebih tenteram.
Di tengah jalan menuju pemakaman, ibu berpapasan dengan para tetangga yang juga akan mengikuti kegiatan nyadran yang rencananya dimulai pukul sembilan pagi. Sebagaimana tahun-tahun silam, Mbah Mien yang dipercaya oleh masyarakat untuk memimpin acara tahlil dan doa. Adat nyadran di kampung Waru mungkin agak berbeda dengan kampung-kampung lain, di mana para warga akan datang ke pemakaman dengan membawa sesaji berupa aneka jenis makanan, seperti nasi, lauk pauk lengkap, dan rerupa jajanan pasar. Sesaji tersebut biasanya akan dimakan bersama-sama ketika acara nyadran telah usai.
Pada zaman dulu, sesaji itu ditaruh warga di pekuburan dan ditinggalkan begitu saja di sana tanpa ada yang berani menyentuh dan memakannya. Konon, sesaji itu sebagai persembahan para penunggu kuburan, seperti jin, dedemit, dan makhluk halus lainnya. Namun ketika para ulama datang membawa ajaran agama, sesaji itu diubah esensinya menjadi sedekah yang bernilai pahala dan nantinya akan dibagi-bagikan serta dimakan bersama-sama oleh para warga.
Di kampung Waru, Mbah Mien mengimbau agar warga tak perlu membawa sesaji. Alasannya agar tidak terlalu memberatkan warga. Terlebih, kata Mbah Mien, makan dan minum di area pemakaman itu kurang baik. Mending uang sesaji digunakan untuk hal-hal lain yang lebih bermanfaat, begitu keterangan yang pernah dilontarkan Mbah Mien pada warga kampung Waru.
***
Pergi seorang diri tentu membuat ibu dicecar pertanyaan oleh para tetangga saat berpapasan di jalan.
“Lho, sendirian tho Mbakyu,”
“Iya, biasanya sama si Nurma,”
“Emang kuliahnya nggak libur? Ini kan hari Minggu?”
“Nurma lagi kurang enak badan,” ibu menjawab pertanyaan para tetangga dengan berbohong, demi menghindari pertanyaan lain yang ia merasa malas untuk menjawabnya.
Lantas, ibu dan para tetangga pun kembali melangkah menuju ke pemakaman yang lokasinya di tengah sawah sambil mengobrol tentang banyak hal. Salah satu obrolan khas para ibu adalah tentang harga sembako yang naik drastis menjelang datangnya bulan Ramadan.
***
Kegiatan nyadran akhirnya usai sebelum Zuhur. Para warga pun kembali pulang ke rumah masing-masing. Saat ibu tiba di halaman rumah, keningnya langsung berkerut melihat dua buah motor matic terpakir di halaman rumahnya. Di depan pintu yang terbuka sedikit, ibu berhenti sejenak saat mendengar suara orang-orang mengobrol diiringi tawa yang begitu kencang. Suara tawa yang ibu yakini berasal dari mulut laki-laki.
Ketika ibu meraih handel pintu dan membukanya, suara tawa itu langsung terhenti. Di ruang tamu, selain Nurma, ada dua laki-laki muda dan seorang perempuan berjilbab sebaya Nurma. Dua gelas kopi, dua gelas teh serta dua toples cemilan tampak memenuhi meja kayu yang dilapisi taplak biru muda. Mungkin mereka teman-teman kuliahnya Nurma, gumam ibu berusaha berbaik sangka dalam batinnya.
“Eh, Ibu sudah pulang,” sambut Nurma dengan raut agak kikuk.
Ibu tersenyum kecil. Mengangguk.
“Oiya, ini teman-teman kuliahnya Nurma, kami sedang mengerjakan tugas kuliah bersama,” lanjut Nurma.
Lagi-lagi ibu hanya tersenyum sambil mengangguk kecil. Ketiga teman Nurma hanya menatap sekilas pada ibu sambil tersenyum dan mengangguk. Tak satu pun dari mereka yang berinisiatif untuk berdiri, lalu segera menyalami tangan ibu sebagai bentuk menghormati orang tua. Inilah yang membuat ibu bertanya-tanya dalam hati. Apa saat kuliah mereka tak diajari tata krama oleh dosennya? Ibu hanya mampu bergumam dalam hati, sebelum akhirnya masuk ke dalam.
Saat ibu berada di ruang dapur, Nurma dan teman-temannya kembali melanjutkan obrolan. Sesekali diiringi tawa yang cukup keras. Ibu kembali bergumam, apa ini yang diajarkan di bangku kuliah? Mengobrol dengan lawan jenis dan tertawa dengan suara keras? Ibu hanya menggeleng-gelengkan kepala tanpa bisa berbuat apa-apa.
Bahkan, ketika suara azan Zuhur bergema lantang dari masjid dekat rumah, Nurma dan teman-teman kuliahnya masih terus asyik mengobrol dan bercanda. Ibu yang sejak dulu telah terbiasa salat berjamaah di masjid segera berwudhu dan mengambil mukena putih di dalam kamarnya.
“Nur, nggak salat jamaah dulu,” kata ibu saat hendak berangkat ke masjid. Nurma menggeleng sambil berkata, “Perempuan kan lebih utama salat di rumah, Bu,”
Sebenarnya ibu ingin mendebat perkataan Nurma, tapi ibu merasa tak enak hati karena ada teman-teman Nurma. Ibu enggan bersitegang dan berusaha menjaga perasaan putrinya di hadapan teman-temannya.
“Eh, Yo, Wan, kalian ini kan laki-laki, ikut salat berjamaah dulu sana,” ucap teman perempuan Nurma sambil diiringi tawa.
“Hahaha, nantilah, salat di rumah saja, Zuhur kan waktunya masih panjang, biasanya sampai pukul setengah tiga kan, lha ini masih pukul dua belas,”
Astagfirullah. Ibu spontan berucap istigfar dalam hati saat mendengar jawaban teman laki-laki Nurma yang tak ada sopan santunnya sama sekali. Akhirnya, dengan perasaan sedih dan kecewa, ibu pun tergesa melangkah ke luar. Duh Gusti, mengapa kelakukan mereka seperti itu? Nggak punya tata krama sama orang tua dan begitu mudahnya meremehkan salat? Pertanyaan-pertanyaan itu memenuhi kepala dan membuat ibu merasa pening.
Di depan pintu, ibu hanya mampu mengelus dada saat mendengar Nurma dan teman-temannya kembali melanjutkan obrolan diiringi tawa yang cukup kencang..
***
Puring Kebumen, April-Mei 2020.
Sam Edy Yuswanto*
*Lahir dan berdomisili di kota Kebumen. Ratusan tulisannya telah tersiar di berbagai media cetak, lokal hingga nasional, antara lain: Jawa Pos, Republika, Koran Sindo, Kompas Anak, Suara Merdeka, Jateng Pos, Radar Surabaya, Riau Pos, Kedaulatan Rakyat, dll.