Oleh : Yuditeha
Berkat pertolongan Saki, pemuda buruk rupa dan miskin dari Kademangan Sukodono, jiwaku terselamatkan dari maut. Jurang tercuram di wilayah Kademangan Plupuh itu hampir menghempaskanku. Waktu itu Saki lewat dekat jurang itu, yang menurut pengakuannya nanti sedang melakukan perjalanan menuju Sala untuk mengadu nasib, menawarkan jasa lukisnya di pesta rakyat. Karena dia melihatku sedang mengambil ancang-ancang untuk melompat ke jurang, Saki tidak tinggal diam. Dia menangkap tubuhku.
Urungnya niatku bunuh diri bukan karena munculnya kesadaran dalam diriku bahwa menghilangkan nyawa sendiri termasuk dosa besar. Bukan pula karena setelah itu aku menjadi takut mati. Perubahan itu memang berkat nasihat Saki—menyarankan kepadaku untuk membuat diriku yang cantik menjadi jelek, agar orang lain tak sudi lagi menjamahku—meski sebenarnya waktu itu aku merasa tidak benar-benar memahami maksudnya.
Namun, yang pasti karena nasihat Saki itu muncul dalam diriku sebuah keinginan yang tidak bisa kulakukan jika aku dalam keadaan mati. Ya, kalian benar. Balas dendam. Aku akan membuat dua orang yang memperkosaku mati penasaran, atau setidaknya akan kubuat mereka menderita selamanya.
Esok harinya aku langsung menemui juru tulis kademangan untuk meminta data kunjungan tamu selama dua pekan sebelumnya. Dari sana aku menjadi tahu tinggalnya kedua lelaki bejat yang memperkosaku itu. Mereka adalah dua dari sekian lelaki yang beberapa waktu lalu berkunjung ke kademangan untuk melamarku, tapi tak ada yang aku terima.
Sehari berikutnya aku meminta tolong kepada seorang prajurit kademangan yang biasa diberi tugas menjadi telik sandi, untuk mencari tahu lebih rinci tentang kedua lelaki itu. Aku sengaja tidak memberitahu kepadanya bahwa dua orang itu telah memperkosaku. Meski begitu aku berpesan kepadanya agar berhati-hati. “Bersikaplah sewajar mungkin, seakan kau tidak sedang melakukan penyelidikan,” tambahku.
“Apa saja yang ingin Ndoro Ayu ketahui?” tanya prajurit.
“Tempat tinggal, pekerjaan. Pokoknya semuanya, apa pun itu.”
Hanya membutuhkan satu hari prajurit itu telah menyelesaikan tugasnya dengan lancar. Setelah itu selama empat hari secara diam-dian gantian aku menggelandang sendiri untuk melakukan pengintaian. Barulah setelah itu aku beraksi. Aku berhasil menuntaskan apa yang kuinginkan, membunuh kedua orang itu tanpa bisa diketahui jejaknya.
Ketika itu ingatanku langsung tertuju pada Saki, lebih tepatnya nasihatnya yang berbunyi: Buatlah dirimu jelek. Aku tersenyum karena telah melakukannya. Terus terang, aku mendapatkan kepuasan tersendiri pada saat melihat mereka sekarat, terlebih ketika detik-detik nyawanya akan lepas dari raganya. Karena itu aku semakin mengamini apa yang Saki bilang. Terlebih setelah itu aku mendapati kenyataan bahwa usai berhasil melakukannya, aku merasa apa yang kulakukan itu seperti bisa mengembalikan separuh jiwaku yang sebelumnya pergi .
Aku kembali, dan ketika tiba tiba di kademangan, bersamaan datangnya utusan dari Kraton Sala. Mereka menyampaikan pesan dari Raja untuk rama dan keluarga. Raja mengundang kami untuk menghadiri acara ruwatan di Kraton. Biasanya setiap kali rama akan mendatangai undangan dari Kraton selalu mengajakku, tapi belum pernah sekali pun aku bersedia. Tapi untuk kali itu lain, bahkan kepada rama akulah yang lebih dulu meminta izin untuk diperkenankan turut serta pergi ke Kraton. Lantas kembali aku teringat Saki. Aku berharap ketika tiba di Sala, ada kesempatan menjumpainya. Menemukan tempat di mana Saki menawarkan jasa lukisnya di pesta rakyat tentu bukan hal yang sulit.
Setelah melakukan perjalanan dengan gerobak kademangan, kami akhirnya sampai di Sala, bahkan sudah sampai di Kraton. Sebentar saja kami telah berbaur dengan banyak orang. Kulihat pakaian beskap dan kebaya yang dikenakan para undangan semuanya bagus. Kata rama, hampir seluruh keluarga kademangan wilayah Sala hadir. Karenanya aku menjadi penasaran dengan Kademangan Sukodono, selain karena daerah itu adalah tempat asalnya Saki, juga karena ingatanku tentang peristiwa besar terkait perselisihannya dengan Kademangan Galanggang yang dulu sempat menggegerkan warga.
Tentu saja aku juga penasaran dengan Luwika, demang Sukonono yang terkenal itu. Sepak terjangnya memimpin Kademangan Sukodono menjadi sorotan banyak orang, Beruntungnya aku karena saat itu berkesempatan menemuinya dan sejenak kami sempat berbincang. Meski Luwika sudah terlihat tua, tapi badannya masih tampak tegap dan sehat. Orangnya baik, tutur katanya terkesan berwibawa.
Di sela-sela acara itu aku bermaksud pergi untuk menyempatkan datang menemui Saki. Ketika akan keluar dari pintu gerbang aku bertabrakan dengan seseorang pelayan. Badanku hampir jatuh jika seorang pemuda tidak menangkapku. Sejenak aku berada dalam rengkuhannya. Dalam beberapa waktu lamanya mata kami bertautan hingga tidak menyadari keadaan. Begitu tersadar, pemuda itu membantuku berdiri sebelum melepas pegangannya. “Maaf,” ucapnya.
“Saya justru terima kasih karena tidak terjatuh,” sahutku. “Namaku Sima,” tambahku sembari mengulurkan tangan mengajaknya bersalaman, bermaksud mencairkan suasana.
Pemuda itu bernama Tantra, yang mengenalkan diri sebagai putra demang Galanggang. Usai kami berkenalan berlanjut berbincang hingga sejenak melupakan tujuanku menemui Saki. Begitu menyadarinya aku permisi kepadanya.
“Terburu-buru,” ujar Tantra.
“Ingin menemui seseorang di pesta rakyat,” sahutku.
Tantra menawarkan untuk mengantarku. Aku tak kuasa menolak. Dengan memakai gerobaknya kami menuju ke tempat pesta rakyat. Sampai di tujuan, Tantra tidak ikut menemaniku menemui Saki. Setelah beberapa kali aku bertanya kepada orang yang bertemu di tempat itu akhirnya aku menemukan tempat Saki. Rupanya benar, memang mudah menemukan tempat di mana dia menawarkan jasa lukisnya.
Aku lega, kami kesampaian bertemu. Tampaknya Saki benar-benar kaget atas kedatanganku. Bahkan katanya dia sempat menduga sedang melihat hantu. Namun aku hanya bisa sebentar di tempat itu karena tidak enak jika Tantra harus menunggu lama. Sebelum aku permisi untuk kembali ke kraton, kusampaikan kepada Saki bahwa aku sangat terkesan dengan salah satu lukisan karyanya. Lukisan itu bergambar diriku dengan luka di wajah.
Aku berpikir, hampir semua yang terjadi senada dengan nasihat Saki, demikian juga dengan apa yang akhirnya kulakukan. Hanya saja, apa yang kubuat jelek bukan wajahku, melainkan perilakuku. Sebelum aku berlalu, aku bilang sekali lagi kepada Saki bahwa aku sangat menyukai lukisannya. Dan aku akan bahagia jika dia memperbolehkan aku membelinya. Namun dengan cepat aku menambahkan bahwa aku lupa membawa uangnya.
Kuperhatikan Saki terlihat masih ingin berlama-lama berbincang denganku, tapi aku memang harus segera pergi, dan akhirnya kami berpisah baik-baik. Sebelum aku dan Tantra kembali ke Kraton, aku meminta tolong kepadanya agar dia bersedia membayar sebuah lukisan yang ingin kubeli. Aku berjanji akan mengganti uangnya setelah sampai di Kraton. Dengan senang hati Tantra menuruti permintaanku, bahkan dia memintaku untuk menunggu di gerobak, sementara dia yang melakukan pembayaran sekaligus mengambil lukisan itu langsung kepada Saki dengan pengantar pesan dariku.
Sebenarnya ketika aku bilang kepada Saki bermaksud membeli lukisannya, Saki justru mempersilakan kepadaku untuk membawanya tanpa membayar. Namun aku tidak melakukannya. Aku punya cara lain yang lebih halus, di mana dengan cara itu aku akan mengantongi dua keuntungan. Pertama, menutup kesempatan Saki mengutarakan cintanya padaku, sebab aku merasa dia menyukaiku. Kedua, aku bisa membuka kesempatan selebar-lebarnya buat Tantra agar dia mengungkapkan cintanya kepadaku.***
Yuditeha, Penulis yang tinggal di Karanganyar.