Oleh : Septi Rusdiyana
Arum duduk di atas bangku bambu yang berada di pinggir jalan dekat lapangan bola. Matanya memandang kosong ke langit. Hari menjelang sore dan dia masih betah berlama-lama di tempat itu. Sebutir buah kersen jatuh tepat mengenai pangkal hidungnya. Arum mengaduh. Buah-buah kecil di atas kepalanya terlihat banyak sekali. Arum seperti baru menyadari jika pohon yang sejak dulu menjadi tempatnya menenangkan diri, kini telah tumbuh besar.
Arum mengambil tas sekolah yang bertengger dekat kaki. Membuka, lalu meraih kotak makan yang di dalamnya berisi sepotong kue ulang tahun bertabur keju. Sejenak Arum tersenyum lebar. Dia bahagia karena tahun ini ulang tahunnya kembali dirayakan. Tadi saat di sekolah, setelah diminta membuat sebuah permohonan dan meniup lilin di depan kelas, seorang teman menyeretnya ke halaman. Satu per satu teman meneriakkan selamat ulang tahun sembari melempar telur dan tepung secara bergantian. Jerit dan tawa mewarnai suasana siang itu. Arum terharu.
Arum memandangi kue itu lama sebelum akhirnya memakan potongan kue sedikit demi sedikit. Arum belum pulang ke rumah sejak jam sekolah berakhir. Kue ulang tahun itu adalah makanan paling lezat yang bisa ia nikmati. Selain perutnya lapar, kue itu menjadi bukti jika masih ada seseorang yang peduli padanya.
Arum menarik napas panjang, lalu diembusnya kuat-kuat. Sembari mengunyah, ingatannya tertuju pada kejadian dua hari lalu. Waktu itu Arum tak sengaja terperosok ke dalam parit. Lumpur mengotori sepatunya. Sesampainya di rumah, ayah Arum melayangkan gagang sapu mengenai tulang keringnya. Arum menjerit kesakitan.
“Kau tahu berapa harga sepatu itu? Dasar anak tak tahu diuntung!” bentak ayah Arum kala itu.
Arum mengelus-elus memar di kakinya. Arum masih belum mengerti kenapa ayahnya bisa semarah itu hanya karena dirinya tak sengaja mengotori sepatu. Dan sekarang bukan hanya sepatu, tapi juga seragam, rambut, bahkan tas sekolahnya penuh dengan adonan lengket telur dan tepung, Arum sudah bisa membayangkan akan semarah apa ayahnya jika bertemu degannya nanti. Arum bergidik ngeri.
“Kamu kok belum pulang?” Seorang lelaki dewasa mendekati Arum. Sejenak lelaki itu mengamati penampilan Arum. “Selamat ulang tahun, ya. Semoga apa yang kamu cita-citakan tercapai,” lanjutnya.
Arum bergeming. Dia terlihat canggung.
“Kamu cantik. Kalau saja anak perempuanku masih hidup, mungkin ia sudah sebesar dirimu,” kata lelaki yang kini sudah duduk di samping Arum.
Arum merasa tidak asing lagi dengan lelaki itu. Beberapa kali Arum melihat lelaki itu berjalan-jalan di sekitar rumahnya. Arum pikir, lelaki itu pasti tinggal tak jauh dari rumahnya. Pernah juga, Arum merasa seperti diikuti saat berangkat ke sekolah. Namun, saat melihat lelaki itu masuk ke pabrik cerutu yang berada di seberang sekolahnya, Arum yakin jika lelaki itu kerja di sana. Tak jarang lelaki itu mengulas senyum pada Arum saat tanpa sengaja keduanya beradu pandang. Entah kenapa, Arum sama sekali tidak takut dengan keberadaan lelaki asing itu. Arum justru merasa diperhatikan, dan itu membuatnya senang.
Arum meletakkan kue ulang tahun yang tinggal separuh di sebelahnya. Dia merasa tak enak melanjutkan makan, apalagi basa-basi menawarkan pada lelaki itu. Bagaimanapun, tidak sopan memberi makanan sisa. Apalagi kepada orang yang jauh lebih tua.
“Makanlah. Kue itu adalah doa. Jadi tuntaskan doa orang-orang yang mengasihimu dengan menghabiskannya,” sahut lelaki itu seakan tahu apa yang ada di pikiran Arum.
Arum menurut. Lelaki itu kemudian bercerita tentang anak perempuannya. Sejenak Arum terkenang saat dia kecil: waktu ibunya masih hidup. Semampu yang bisa Arum ingat, ayahnya sangat menyayangi Arum. Malah jauh lebih perhatian daripada ibunya sendiri. Namun sejak malam itu: malam yang hujan, saat Arum terbangun dari tidurnya karena mendengar keributan di ruang tengah, Arum melihat kedua orangtuanya bertengkar hebat. Satu kalimat yang tidak pernah bisa dilupakan Arum, adalah kata yang terlontar dari ayahnya sesaat setelah ibunya pergi, “Dasar pelacur!”
Sejak saat itu, tabiat ayah Arum berubah. Arum sering dimarahi. Bahkan, Arum kerap mendapat pukulan di tubuhnya. Meski kadang Arum tidak tahu apa kesalahan yang dia perbuat pada ayahnya, tapi Arum tidak pernah berusaha membela diri, apalagi menghindar. Bagi Arum, rasa sakit sudah menjadi bagian dari hidupnya.
“Namanya Nia. Ia takut kucing. Buah kesukaannya adalah kersen. Karena itu, saat pertama melihatmu duduk di bawah pohon ini, aku merasa kamu adalah Nia.” Lamunan Arum buyar saat mendengar lelaki itu melanjutkan cerita.
Sejenak keduanya terjebak diam. Matahari sudah hampir tenggelam. Anak-anak yang sebelumnya bermain bola juga sudah tak kelihatan lagi. Arum terlihat masih enggan beranjak dari tempat duduknya. Arum merasa ada dan ketiadaan dirinya di rumah, bukanlah hal penting lagi bagi ayahnya. Pagi tadi sebelum berangkat sekolah, Arum sempat membuatkan sarapan untuk ayahnya, meski hanya nasi dengan lauk telur mata sapi yang berusaha Arum goreng dengan sebaik mungkin, tapi ayahnya justru melempar piring itu ke lantai hingga isinya berhamburan.
“Jangan melamun. Ini hari ulang tahunmu. Seharusnya kamu bahagia,” ucap lelaki itu lagi.
Arum masih bergeming. Suara lembut lelaki itu membuatnya nyaman sekaligus sedih. Arum menangis tanpa suara. Lelaki itu meraih Arum ke dalam pelukan. Akhirnya Arum bisa menikmati lagi kehangatan yang sudah lama tak pernah dirasakannya. Tangis Arum semakin pecah. Terlebih saat lelaki itu mengatakan: “Aku ingin mengajakmu makan di seberang jalan sana. Nasi gorengnya enak. Anggap saja itu hadiah ulang tahun dariku. Kamu suka nasi goreng, kan?”
Arum memandang lelaki itu dengan tatapan takjub. Bibir Arum tersenyum meski air mata masih terus saja mengalir di pipinya.
“Tapi sebelum makan sebaiknya kamu mandi dulu. Aku yakin ayahmu pasti marah jika kamu pulang sekarang. Apa kamu mau mandi di rumahku? Ada banyak baju Nia yang bisa kamu pakai nanti,” bujuk lelaki itu.
Tanpa ragu, Arum mengangguk tanda setuju. Mobil yang dikendarai teman sekomplotan penculik berhenti di depan mereka. Lelaki itu mengajak Arum masuk. Mobil segera melaju. Arum tahu jika dirinya berada semakin jauh dari desa. Perasaan takut dan cemas mulai menguasai dirinya. Dalam situasi yang belum sepenuhnya bisa Arum pahami, tiba-tiba bayangan wajah ayah saat marah dan memukuli Arum, berputar-putar di kepala.***
Septi Rusdiyana, Ibu rumah tangga, yang tinggal di Yogyakarta. Penyuka cerpen.
IG : @rusdiyanasepti