Oleh : Inayatun Najikah
Pesantren merupakan wadah untuk belajar dan sebagai tempat interaksi antara santri dan kiai. Metode pendidikan pesantren pun terbilang unik dan khas. Bahkan ia bisa menjadi sebuah kerajaan-kerajaan kecil yang memiliki aturan tersendiri. Santri tidak sama dengan murid. Kiai juga tidak sama dengan para guru. Kitab pun tak sama dengan buku pembelajaran. Meski fungsi dan tujuannya sama sebagai tempat untuk belajar, faktanya pesantren sangat berbeda dengan institusi pendidikan formal lainnya.
Ali Usman selaku penulisnya mengatakan buku ini lahir sebagai representasi pengalaman dirinya selama menjadi seorang santri. Ia menyebutkan bahwa tulisan yang terangkum pada buku ini sebagai “jejak petualang” saja. Buku yang memiliki 219 halaman ini terdiri 4 bagian. Bagian pertama diberi judul dekonstruksi pola hubungan santri dan kiai, bagian kedua tentang pertanyaan santri untuk kiai, bagian ketiga dari pesantren menuju perguruan tinggi, dan bagian keempat adalah tentang santri bertanya, maka kiai ada.
“Santri seolah dibungkam dan dicekoki banyak doktrin agama yang sebenarnya butuh penjelasan yang ekstra hati-hati dan panjang lebar.” halaman 13
Sebuah kalimat pembuka yang kemudian saya tandai sebagai inti dari seluruh isi buku ini. Ali Usman tidak gentar menyampaikan pernyataan berani ini yang bisa saja dinilai amat kurang ajar dan lancang. Karena bagaimana pun khalayak umum masih mengamini bahwa pesantren adalah sebuah institusi yang melahirkan santri sami’na waato’na pada kiai. Apapun yang dikatakan kiai adalah maklumat para santri.
- Iklan -
Oleh sebab itu tampaknya kita perlu berbahagia atas lahirnya buku ini. Buku yang ditujukan sebagai bentuk refleksi atas kehidupan tradisional di dalam pondok pesantren itu sendiri. Dimana pondok pesantren dinilai tumbuh berkembang membawa tradisi “dogmatis yang tertutup” yang asal santri bisa dan pandai ilmu agama tanpa tapi.
Atas dasar kecintaan pada pesantrennya, penulis melalui buku ini mencoba mengkritisi hal-hal fundamental yang selama ini berjalan. Meski banyak kritikan yang dijabarkan, namun penulis juga menyandingkannya dengan solusi-solusi bebas serta terbuka terhadap hal-hal yang masih dianggap “tabu” dalam ranah keislaman dengan merujuk tokoh-tokoh filsuf dan pemikir liberal barat.
Pemikiran liberal yang nampak dalam buku Kiai Mengaji, Santri Acungkan Jari selain merujuk pemikir barat, juga didukung dengan rujukan yang diambil dari pemikir islam liberal sepeti Nasr Hamid Abu Zayd, Ulil Abshar Abdalla, serta beberapa tokoh islam liberal lainnya. Sehingga nampak serasi untuk memberikan solusi dan pandangan lain terhadap perkembangan pesantren.
Sebagai contoh mengenai subjudul bahasan, Bagaimana Memahami Al-Qur’an, halaman 95. Penulis membeberkan segenap rujukan bagaimana tafsir Al-Qur’an sejatinya tidak hanya otoritas para mufasir, (ulama ahli tafsir) saja, tapi juga para orang awam. Hal ini dipandang penting olehnya karena penafsiran Al-Qur’an harus up to date sesuai dengan perkembangan zaman.
Tentu apa yang disampaikannya bertentangan dengan banyak pendapat ulama bahwa penafsiran Al-Qur’an tidak boleh sembarangan. Ada kaidah khusus yang harus ditaati. Namun bagi dirinya semakin banyak penafsiran, maka semakin banyak pandangan untuk memahami isi Al-Qur’an tersebut. Karena ia pun meyakini bahwa tidak semua ulama bisa menjadi penafsir. Dan bukankah Tuhan itu fleksibel kepada hambanya? “Aku menurut prasangka hamba-Ku (HR Bukhari dan Muslim)
Pada akhirnya poin-poin yang ditawarkan dalam buku ini memantik nalar kita untuk merenungkan sekali lagi tradisi pesantren, baik hubungan santri dan kiai, metode pembelajaran yang digunakan, terorisme yang (atas nama) agama, hingga bagaimana seorang santri “memahami” eksistensi Tuhan
Judul : Kiai Mengaji, Santri Acungkan Jari
Penulis : Ali Usman
Penerbit : Pustaka Pesantren
Tebal : 219 hlm
ISBN : 602-8995-34-7