Oleh: Fajrul Alam
Sebelum melangkah ke dalam buku ini, alangkah baiknya menilik lebih dini tentang penulisnya. Astrajingga Asmasubrata merupakan penyair militan yang lahir di Cirebon, 3 Maret 1990. Meski pendidikan formalnya hanya sampai tingkat menengah pertama. Namun pendidikan di luar kelasnya sungguh sangatlah luar biasa. Lebih-lebih jam terbangnya dalam hal perpuisisan dan persajakan. Beliau mengimplementasikan secara benar-benar tentang petuah bijak dari Ki Hajar Dewantara yang berbunyi, “Jadikan setiap tempat adalah sekolah dan setiap orang adalah guru.” Pesan ini mengajarkan kita tentang pendidikan atau belajar dapat dilakukan di mana pun, kapan pun, dan oleh siapapun. Pepatah ini diejawantahkan betul-betul oleh penulis. Sehingga tak heran jika karyanya sudah dibukukan dan terbit serta turut mewarnai dunia literasi di Indonesia.
Buku antologi puisi karya Astrajingga Asmasubrata yang berjudul Buku Panduan Begadang merupakan buku ketujuhnya. Buku yang berangkat dari gejolak batin penulis berikut kepekaan dan kedalamannya dalam menyelami lika-liku kehidupan. Sepertinya penulis terilhami oleh perkataan Nietzsche, “Segala sesuatu yang tidak membunuhku akan membuatku kuat.” Sebagaimana disampaikannya pada kalam pengantar dalam buku ini. Buku yang meski tipis, namun mengandung banyak khazanah rasa dan gemuruh batin yang sekalipun kata serta gramatika bahasa barangkali gagap atau kesulitan untuk mewakilinya.
Oleh karenanya, Astrajingga menganalogikan dirinya dengan seorang tukang yang sedang merobohkan menara gading yang telah dilembagakan oleh gramatika bahasa, kemudian membangun linieritas puisi di atas puing-puingnya (Hal. 6). Dengan begitu, puisi-puisi dalam buku ini masuk kategori puisi modern yang lebih bebas berekspresi dengan dalam pembentukan sebait puisi tidak terikat dan dikekang oleh persajakan a-b-a-b, umpamanya. Dari sini, kita dapati bahwa proses kreatif penyair dalam berkarya, memang benar-benar terbangun dari pergumulan rasa atau pergulatan batin yang kemudian penyair coba ungkapkan via kata-kata hingga menjelma sebutir puisi.
Buku Panduan Begadang menjadi semakin menarik karena dilengkapi dengan kode QR yang mengantarkan kita pada musikalisasi puisi. Hal ini menjadi keunikan dan daya tarik tersendiri sekaligus juga menjadi pembeda dari buku kumpulan puisi lainnya. Dengan fitur musikalisasi puisi ini, pembaca diajak mendengar puisi versi musik untuk lebih menghayati sembari memberikan tafsir yang barangkali akan berbeda dari puisi mode baca-tulis. Penulis sangat memahamai atas heterogenitas pembacanya dan keanekaragaman pemahaman atau tafsir dari masing-masing pembacanya terhadap puisi-puisi yang ditampilkan dalam buku ini. Puisi-puisi dalam buku ini dimusikalisasi oleh Paguyuban Gigs Kelar Ngaji yang penulis sendiri, Astrajingga Asmasubrata berpartisipasi penuh serta aktif di dalamnya.
Mengapa saya menyebutnya dengan “Tutorial Begadang Yang Benar”, karena dalam buku antologi puisi ini, para pembaca akan menemukan banyak kata yang mungkin jarang ditemukan di khalayak publik. Diksi yang tidak teramat familier di telinga pembaca. Barangkali sebagian besar pembaca pun baru kali pertama mendengarnya. Seperti halnya, alprazolam, anxiety, nonsense, spanram, geligi, leksikon, liris, giris, magi, senewen, nomad, negasi, korsase, epitaf, dan lengas dan lain-lain. Sebagai contoh, akan saya cantumkan satu puisi dari Buku Panduan Begadang yang berjudul Quarter Life Crisis. (Hal. 15)
QUARTER LIFE CRISIS
- Iklan -
Aku masih nendoakan diriku setiap hari
Dengan luka di garis telapak tangan, depresi ini
Adalah gelagat trauma yang dingin
Menyentuh epilog seperti negasi terakhir
Dalam maklum separuh pupus dan separuh biru
Insomnia yang bisu menyongsong takabur
Sebutir alprazolam adalah korsase malam
Yang disematkan di dada pengharapan
Sebab aku kurang percaya diri saat sakit
Atau ini sekadar imajinasi lain yang memilih
Logat lirih dari segurat nama pada cermin
Yang memburamkan angan-angan tak lazim.
2024
Dari pembacaan saya, penulis, dalam hal ini, Astrajingga seolah-olah atau memang benar demikian, bahwa dirinya sedang mengajak pembaca untuk melakukan ritual begadang yang baik dan benar dan tidak dilarang. Sebagaimana pesan dari raja dangdut, Bang Roma Irama, “Begadang boleh saja, asal ada perlunya.” Penulis mendorong pembaca untuk begadang yang benar dengan cara belajar. Yakni, salah satunya dengan cara membaca dan menambah perbendaharaan kata. Dari puisi-puisi yang menampilkan diksi-diksi yang ganjil akan mendorong pembaca untuk lebih intens menyelaminya dari kata perkata. Tampak sekali dari puisi di atas, istilah-istilah yang belum ramah di telinga pembaca. Terlebih pembaca yang masa ritual membacanya masih tergolong kurang alias seusia balita, seperti saya.
Tak hanya itu, begadang yang benar ala Astrajingga sekurang-kurangnya adalah momentum untuk merefleksi kehidupan, instropeksi diri, dan ruang untuk menghimpun harapan dan doa-doa. Hal ini, tergambar dari puisi di atas, di mana aku lirik selalu mendoakan hal baik untuk dirinya apalagi di situasi sulit dan problematik. Aku masih nendoakan diriku setiap hari/Dengan luka di garis telapak tangan, depresi ini. Luka di garis telapak tangan dapat diartikan sebagai masalah kehidupan yang timbul tenggelam. Dan solusi dari sekian banyaknya cobaan dan rintangan hidup adalah tengadah doa dan bersimpuh kepada Sang Pencipta. Dalam prespektif religi tak lain adalah ibadah malam, seperti salat tahajud, salat hajat, dan ibadah lainnya yang dilakukan di saat orang lain sedang khusyuk dalm dengkur.
Dengan demikian, pembacaan saya atas puisi di atas, sekurang-kurangnya adalah bentuk tutorial atau prosedur begadang yang baik dan benar. Begadang yang memiliki manfaat dan nilai positif untuk diri sendiri. Tentunya lain pembacaan, akan lain pemaknaan. Terlepas dari itu, puisi-puisi lainnya yang termaktub dalam buku antologi ini sebenarnya penuh pesan moral yang terslip di balik rimbun kata-kata. Sulit ditemukan kecuali dengan perantara membaca dan menyelam jauh ke dalam, ke jantung kata-kata.
Berbicara kekurangan dari buku ini, saya rasa tak menemukan banyak kelemahan. Hanya saja, mungkin dari sebagian pembaca yang tidak suka tantangan akan merasa kesulitan dan jengkel ketika dihadapkan dengan istilah dan diksi baru yang belum pernah didengar. Tersebab, banyaknya kata yang ilmiah di sisi lain juga menjadikan pembaca dalam membaca buku ini perlu mengakrabi kamus atau google untuk mencari tahu istilah-istilah baru yang baru sampai di telinga pembaca. Tapi bagi pra pembaca yang antusias dengan hal baru, perkara semacam ini justru memicu sekaligus memacu semangat dalam belajar dan menambah wawasan.
Teriring salam bahagia dan selamat membaca seraya begadang ria!
Judul : Buku Panduan Begadang
Penulis : Astrajingga Asmasubrata
Penerbit : Basabasi
Cetakan : I, November 2024
ISBN : 978-623-305-488-1
Fajrul Alam, lahir di Kebumen, Februari 2001. Kecanduan kopi dan gorengan. Saat ini adalah seorang guru honorer dan berkegiatan di SKSP (Sekolah Kepenulisan Sastra Peradaban) Purwokerto. Karya-karyanya terbit di beraneka ragam koran, buku antologi puisi, majalah, dan media online. Sedang berusaha menerbitkan antologi puisi pribadinya.