Oleh: Vito Prasetyo
Dalam konteks sosial, pendidikan sastra sering kali berada pada posisi terpinggirkan. Bidang keilmuan dalam pendidikan yang kurang diminati dan tidak populis. Pada orang kebanyakan, menganggap tidak seberapa penting untuk memahaminya, bahkan nyaris menganggap sastra itu ilmu yang kurang bermanfaat. Dan ironisnya, ada asumsi seberapa besar dampak sastra bagi dunia pendidikan?
Jika mengacu pada program pendidikan, maka kedudukan bahasa dan sastra sejajar. Dua kutub yang saling tarik-menarik. Dan dalam catatan sejarah, sastra yang mengangkat dikotomi edukasi moral, telah menempatkan azas humanistik dan sastrawi dalam memperkukuh tujuan pendidikan nasional. Terutama dalam memajukan martabat manusia yang sangat kental dengan tradisi lokalitas dan agama.
Lantas, sejauh mana sosok guru dalam mentransformasikan pendidikan etika melalui ilmu sastra? Guru, selalu menjadi perbincangan yang tiada habis dibicarakan. Guru menjadi instrumen paling penting di dunia pendidikan. Guru dianggap sebagai pencetak ilmuwan, kaum intelektual, bahkan juga kaum beradab. Hingga intuisi pembelajaran, acapkali memunculkan pandangan prismatik, bahwa guru memiliki kemampuan dan kecakapan untuk mendorong perkembangan serta pertumbuhan sikap dan pemikiran kritis bagi siswanya.
- Iklan -
Masih banyak persoalan-persoalan yang membekap dunia pendidikan. Bagaimana peran guru untuk mencetak generasi penerus yang kuat? Bagaimana guru mengajarkan kedisiplinan pada siswa, tanpa menyentuh persoalan hukum yang senantiasa mengintainya? Bagaimana guru menuangkan konsep pembelajaran yang sistematis dengan kurikulum yang sering bongkar pasang? Atau juga, bagaimana guru bertahan menjadi pendidik yang profesional di tengah tekanan sosial ekonomi yang tidak berimbang? Bagaimana guru-guru di daerah 3 T bisa mengakses semua kebutuhan pendidikan di wilayah kerjanya? Dan sejauh mana aspek perlindungan hukum bagi guru, jika itu bertolak belakang dengan etika profesi? Serta masih banyak persoalan-persoalan lainnya.
Seyogianya, dibutuhkan komitmen yang kuat, jika pendidikan nasional berjalan untuk mencapai sesuai tujuan yang dicanangkan. Apakah selama ini ada sistem operasi yang salah dalam pengaplikasian program? Sebab, jika berbicara tentang pendidikan, tentu harus ada instrumen dan formulasi yang saling mendukung. Apalagi tantangan dunia global di era digital semakin berat, maka jalan untuk menjawab tantangan ini harus dengan pendidikan berkualitas, yang memenuhi standar edukasi global.
Kita tidak bisa mengelak, bahwa masih banyak hal dan persoalan yang harus dibenahi dalam dunia pendidikan. Termasuk persoalan dasar yang menjadi pintu masuk dalam pendidikan, yakni penguasaan ilmu pengajaran. Konsep pendidikan, baik tekstual maupun kontekstual secara formal harus memiliki karakteristik sistem yang baik dalam menjangkau proses transisi, transformasi dan edukasi.
Ini tentu bukanlah sebuah premis, jika pendidik terbaik adalah mereka yang mampu mengajarkan dan menunjukkan keburukan serta kegagalan sebuah bangsa sambil tetap mengajarkan cara mencintainya. Di titik ini, kritik kaum terdidik tidak boleh dipenggal, karena seberapa pun pahitnya, ia sepadan dengan tujuan-tujuan nasional suatu bangsa. Untuk mencapai ini, tentu dibutuhkan iklim yang sehat, dan yang beretika.
Pada saat yang sama, meski kerja edukasional
adalah kerja individual, nasib kemerdekaan berinovasi dalam mencerdaskan anak bangsa harus diperjuangkan secara kolektif. Seperti guru, seyogianya mulai mengorganisasi yang berbasis profesi untuk mempertahankan dan memperluas kemerdekaan keguruan.
Lebih dari itu, meski tidak dengan serta-merta, perluasan kemerdekaan impunitas pengajaran dalam pendidikan jelas berhubungan dengan pertumbuhan kaum keilmuan di suatu masyarakat. Tanggung jawab etik para guru bersifat individual dan teknis, yakni mengajar, menanamkan sikap kemandirian yang beretika kepada siswa.
Lembaga pendidikan yang baik mungkin memiliki guru yang memiliki tanggung jawab edukasi kuat, tapi tidak dengan serta-merta melahirkan kaum keilmuan. Harus ada jaminan yang sungguh-sungguh atas kemerdekaan pembelajaran yang merangsang tanggung jawab pendidikan yang bersifat domestik dan individual itu berkembang, bertransformasi menjadi tanggung jawab intelektual di ranah publik yang lebih luas.
Di sini, kita sering terjebak pada persinggungan yang krusial antara kebebasan berpikir dan identitas suatu bangsa. Identitas nasional tidak ditumbuhkan melalui doktrin, disiplin, dan gelora propaganda, melainkan dengan pembentukan karakter dan perilaku simultan antara guru dan siswa.
Dalam konstitusi kita ditegaskan bahwa mencerdaskan kehidupan bangsa adalah tujuan pendirian negara Indonesia. Dengan itu, lembaga pendidikan dasar dan menengah tidak boleh diposisikan sebagai alat atau instrumen untuk kepentingan lain, termasuk tujuan pembangunan ekonomi sekalipun.
Lembaga pendidikan harus memiliki legitimasi keilmuan. Kebijakan kurikulum yang diberlakukan di sekolah, seyogianya tidak hanya bagus secara konsep, tetapi di sisi lain justru membingungkan dalam implementasinya. Kebijakan kurikulum merdeka yang diterapkan, menimbulkan celah dan menjadikan organ sekolah sebagai pertumbuhan ekonomi. Apakah ini sebuah trik untuk membelenggu edukasi?
Ada esensi kebutuhan teknis dalam membentuk karakter dan perilaku siswa pada proses kegiatan belajar-mengajar. Fungsi pokok dari guru adalah tugas mengajar, bukan tugas ganda yang dibebankan termasuk teknis administrasi. Beban ganda ini bisa menciptakan jarak, terutama untuk pemahaman materi belajar. Jika beban ganda ini terlalu tinggi, akan menyebabkan kondisi guru menjadi tidak maksimal dalam proses transisi, transformasi dan edukasi, yang seyogianya menjadi tanggung jawab utama sebagai pendidik.
Seyogianya, lembaga pendidikan harus merdeka dari rasa takut terhadap kritik, terhadap pengetahuan dan kebenaran; merdeka dari birokratisasi, dan dari instrumentalisasi ekonomi. Tentu makna kebebasan pikiran harus sejalan dengan konsep dan norma pendidikan sebagai institusi keilmuan dan pengetahuan. Dalam menjalankan perannya sebagai guru (tingkat dasar dan menengah), ada pendekatan sosiologi dan psikologi yang sangat penting untuk membentuk sikap dan karakter siswa.
Bisa jadi, terjadi serangan terhadap kemerdekaan mengeluarkan pemikiran, seiring dengan menciutnya kebebasan sipil dan kemerosotan demokrasi di Indonesia. Penekanan kemerdekaan pemikiran pendidikan bila menyuarakan beberapa hal. Antara lain: tuntutan pemenuhan hak asasi manusia; kritik terhadap kebijakan pemenuhan standar ekonomi; kritik terhadap kebijakan kurikulum; kritik terhadap praktik kekuasaan, dan lain sebagainya.
Akhirnya, kemerdekaan pendidikan mengalami kemerosotan yang lebih besar akibat instrumentalisasi kebijakan pragmatis yang berada di bawah kepentingan pasar. Lembaga pendidikan memerlukan kemerdekaan keilmuan dan pengembangan kemampuan dalam teknologi maju, sebab kemerdekaan ini tidak sekadar norma yang tujuannya untuk melindungi pengajaran, penelitian dan publikasi pikiran sebagai warga negara.
Kenapa kebijakan bersifat pragmatis? Sebab lembaga pendidikan, bukan tempat yang steril dan aman dari kepentingan ekonomi. Ada semacam arena persaingan norma didaktis dan kepentingan individual yang mungkin saja terstruktur, sistemik dan masif.
Dalam upaya membangun kontruksi kebangsaan, untuk menciptakan generasi penerus bangsa yang bermental kuat dan bermartabat, kita masih membutuhkan orang-orang baik dan benar. Mungkin kalau ini dianalogikan dengan norma agama, harus ada orang-orang yang berakhlak mulia. Tapi bukan berarti dalam dunia pendidikan menjadi ajang penghakiman atau vonis sebuah penyimpangan atau kebobrokan nilai. Maka disini, siapapun harus adil dalam menilai kelangsungan pendidikan. Apakah sistem yang salah, atau ada oknum yang berbuat tidak adil, karena faktor pribadi, bukan karena sistem prosedural kelembagaan. Apalagi menyangkut kedisiplinan, yang muaranya di lembaga pendidikan formal. Ada faktor eksternal yang memengaruhi, misalnya lingkungan hidup para siswa.
Tentu kurang elegan, jika pengertian kemerdekaan edukasi sangat bergantung pada kebijakan-kebijakan pragmatis, yang begitu sarat dengan kepentingan. Baik langsung maupun tidak langsung. Karena ada subjek dan objek pasar yang tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya. Di sini, ada ikatan primordial yang sulit dihapus, karena begitu kentalnya budaya ewuh pekewuh. Yang benar menjadi salah, begitu pun sebaliknya, salah menjadi benar. Sumber pendanaan terbesar bagi lembaga pendidikan adalah negara. Artinya apa; guru atau pendidik berada pada posisi yang dilematis.
Faktanya, dunia pendidikan selalu berorientasi pada kemajuan suatu ilmu terapan, yang senantiasa berinovasi dalam membaca tantangan zaman. Bagaimana menjawab tantangan ini, tentunya tidak sekadar bergantung pada sistem pendidikan yang ada.
Lembaga pendidikan formal (tingkat dasar dan menengah) sebagai pusat pembelajaran dasar keilmuan dan pengetahuan. Seharusnya terus didorong untuk melahirkan insan cerdas dan kritis. Konsep berpikir kritis tidak harus dianalogikan dengan penentangan terhadap kebijakan yang bersifat publik. Justru kebijakan publik harus tetap terkontrol dengan kritik keilmuan, lewat suara-suara pelaku pendidikan.
Maka perlunya format konsep desain yang dituangkan dalam kebijakan penjaminan mutu belajar (nilai kognitif dan afektif) secara otonom, yang tidak sekadar kebijakan pragmatis. Guru harus diberikan kebebasan dan kemerdekaan dalam mengaktualisasikan perubahan nilai bagi siswanya (nilai standar pemahaman materi dan disiplin sikap). Harus juga diberikan ruang keseimbangan untuk melakukan pendekatan-pendekatan formal dan non-formal.
Akhirnya, jika kita mengambil simpulan terhadap permasalahan yang ada, khususnya dalam memenuhi kebutuhan pendidikan etika, maka tempatkan guru sesuai kemampuan bidangnya. Sebab ilmu itu selalu berjalan beriringan dengan peradaban (nilai-nilai etika moral). Dalam dunia pendidikan, harus mampu membedakan antara sastra dan karya sastra, agar sastra moral bisa berimplikasi pada pembentukan karakter positif bagi generasi penerus bangsa. ***
*) Vito Prasetyo adalah sastrawan dan peminat pendidikan.