Cerpen Heru Sang Amurwabumi
A Ma pernah bercerita, orang-orang Tiongkok Kuno meyakini jika sincia membawa banyak tradisi dan mitologi. Mulai kepercayaan hujan turun di pagi hari yang mengucurkan rezeki bersama air yang dijatuhkan Kaisar Langit untuk membasahi bumi, membawa tumbuhnya harapan-harapan baru di atas tanah, sampai keberadaan makhluk pengacau bumi dengan memangsa hewan ternak dan anak-anak.
Bahwa, pada masa Tiongkok Kuno terdapat makhluk mitologi bernama Nian Gao. Makhluk yang muncul setiap pergantian tahun, lalu hendak menghancurkan bumi.
Kemunculan Nian Gao membuat orang-orang memiliki ide untuk menaruh makanan sebagai sesajian di depan pintu rumah setiap pergantian tahun. Mereka yakin sesajian itu mampu menyelamatkan hewan ternak dan anak-anak dari perburuan Nian Gao. Sebab kerakusan makhluk rakus itu dialihkan ke makanan yang mereka sediakan.
- Iklan -
Akan tetapi, suatu ketika orang-orang Tiongkok Kuno justru menemukan Nian lari tunggang-langgang manakala menjumpai seorang anak yang memakai baju berwarna merah. Sejak itulah mereka yakin bahwa kelemahan Nian Gao adalah takut pada apa saja yang berwarna merah. Peristiwa itu yang menjadikan tradisi sincia dengan memasang lampion merah, juga tirai dan pintu dihias dengan pernak-pernik warna merah untuk mengusir Nian Gao. Untuk merayakan kebahagiaan bahwa bumi yang dihuni orang-orang Tiongkok Kuno lepas dari cengkeraman Nian Gao, mereka memasak makanan beraneka rupa selama lima belas hari.
Menurut A Ma, secara turun temurun selama ratusan tahun, sejak migrasi orang-orang Tiongkok Selatan ke Hindia Belanda, tradisi penyambutan sincia seperti itu selalu dilakukan oleh peranakannya. Di antara beraneke makanan itu, lontong Cap Go Meh menjadi sesajian penutup di hari kelima belas.
A Ma juga bercerita, lontong Cap Go Meh diyakini mendatangkan keburuntungan sepanjang tahun. Baik bagi pembuat maupun yang memakannya. Bentuk lontong yang bulat memanjang adalah simbol bulan purnama—puncak perayaan sincia di hari kelima belas. Aneka sayur dan lauk pauk yang dimasak dengan rempah-rempah, khususnya kunyit, sehingga menjadikan warna kuning keemasan dipercaya sebagai lambang kekayaan dan kemakmuran sepanjang tahun.
Ketika menginjak hari kelima belas setelah sincia, orang-orang Tionghoa akan beramai-ramai memasak lontong Cap Go Meh. Selain dijadikan sesajian, ia juga disantap sekeluarga setelah ditaburi doa-doa permohonan limpahan umur panjang dan rezeki. Tak mengherankan jika makanan itu selalu ditunggu kedatangannya.
Perayaan Cap Go Meh pula yang membuat wajah A Ma berbinar. Warung makannya akan mendapat pesanan dalam jumlah besar. Bukan hanya dari kerabat dan tetangga, peranakan Tionghoa yang bertempat tinggal jauh dari rumah kami juga berdatangan demi membeli masakan A Ma.
Entah sejak kapan desas-desus itu berkembang, lontong Cap Go Meh buatan A Ma dianggap memiliki tuah. Dia bagai membubuhkan sebuah doa khusus pada masakannya, yang menjadikan siapa saja mendapatkan tuah jika menyantap. Sebenarnya tidak ada yang berbeda dengan lontong Cap Go Meh lainnya. Dibuat dari beras, kemudian sayurnya dari perpaduan ayam, daging, rebung, santan, dan minyak. Namun, ada sebuah resep leluhur kami yang menjadikan lontong Cap Go Meh buatan A Ma berbeda.
Iya, lontong Cap Go Meh buatan A Ma seolah telah menjadi makanan wajib bagi peranakan Tionghoa di kotaku. Aku sendiri juga selalu menyantapnya setiap perayaan itu tiba. Bahkan, meskipun bukan sincia, jika kesedihan sedang merundung, aku meminta A Ma memasak lontong Cap Go Meh. Entah hanya sugesti atau bukan, setelah memakannya, perasaanku seperti menemukan ketenangan. Betapa bertuahnya masakan itu. Masakan yang telah menjadi pelepas dahaga jiwa-jiwa yang kehilangan keseimbangan.
***
Bertahun-tahun lalu, ketika duduk di bangku sekolah dasar, A Ma menjemputku ke ibu kota, setelah sepasukan tentara menyelamatkanku, sementara A Pa dan A Bu tutup usia sebab terjebak di sebuah amuk massa. Aku ingat, peristiwa itu terjadi di bulan Mei tahun 1998. Melalui Persatuan Tionghoa Indonesia, orang-orang yang menyelematkanku bisa menghubungi A Ma di Nganjuk.
Sejak itulah aku tinggal bersama A Ma. Untuk bertahan hidup, A Ma berjualan makanan khas Tionghoa di warung teras rumah. Bertahun-tahun tinggal bersamanya, aku tak pernah mendapatkan jawaban setiap kali melontarkan pertanyaan, “Kenapa orang-orang yang berunjuk rasa itu menyakiti A Pa dan A Bu?”
Setelah duduk di bangku sekolah lanjutan atas, aku baru memahami bahwa peranakan Tionghoa di Hindia Belanda dari masa ke masa memang selalu dianggap sebagai pihak yang harus membayar mahal ongkos konflik politik negeri ini. Sejak zaman VOC, peralihan nagari di Surakarta, sampai masa tumbangnya sang Raja Tiran bernama reformasi.
Anehnya, A Ma selalu memotong perkataanku setiap kali aku membahas perlakuan miring terhadap peranakan Tionghoa seperti kami. “Sudahlah, tak usah kau menyakiti perasaan sendiri dengan mengingat peristiwa demi peristiwa yang bermula dari klaim orang-orang yang merasa paling berhak atas setiap jengkal bumi di negeri kita ini,” tuturnya, “A Ma yakin, suatu hari akan ada pemimpin yang mau mengakui bahwa orang-orang bermata sipit seperti kita juga lahir, tumbuh, dan hidup di atas tanah yang sama. Meminum air yang sama pula. Tanah air Indonesia.”
Mendadak ucapan A Ma terdengar seperti sebuah harapan bagiku. Barangkali juga harapan bagi banyak peranakan Tionghoa lain di bumi pertiwi. Ucapan yang terasa sejuk dan meneduhkan.
***
Setiap kali kesedihan merundung, yang terlintas di benakku adalah lontong Cap Go Meh buatan A Ma. Kepada istri dan anak, aku menceritakan bahwa makanan itu adalah mata pencaharian penghapus sakit hati. Makanan yang selalu menjadi pelipur lara setiap kali sincia tiba dan aku ingat bagaimana A Pa dan A Bu meninggal dunia oleh amukan orang-orang yang merasa paling berhak atas setiap jengkal tumpah darah. Makanan pengentas hidup kami dari kubangan kemelaratan. Kue yang membebaskan aku dari kepiluan yang memborgol kenangan akan kematian.
“Aku selalu menemukan ketenangan, setiap memakan lontong Cap Go Meh buatan A Ma,” ucapku memuji A Ma.
Begitulah, lontong Cap Go Meh h buatan A Ma seperti diturunkan Tuhan untuk menjadi teman masa kecilku. Sebagai bocah peranakan Tionghoa yang tinggal di permukiman orang-orang Jawa, tak jarang teman-teman sepermainan mengejekku dengan panggilan China. Namun, setiap kali itu terjadi, lalu aku memakan lontong Cap Go Meh buatan A Ma, aku menemukan kepercayaan diri. Aku merasa Tuhan sedang bersamaku. Membelaku dari keisengan teman-teman yang jail.
Tak hanya itu, masih banyak tuah dari lontong Cap Go Meh buatan A Ma. Orang-orang sekampung mengakui kalau lontong itu memiliki keajaiban, sering membawa manfaat bagi keluarga yang membutuhkan pertolongan Tuhan.
“Terima kasih, setelah memakan lontong Cap Go Meh buatanmu, aku hamil,” kata Mbak Lilik, tetangga sebelah rumah yang memberitahukan perihal kehamilannya. Padahal sudah sepuluh tahun menikah, dia belum dikarunia keturunan. “Entah kebetulan atau tidak, semenjak memakan lontong Cap Go Meh buatanmu sebulan yang lalu, suamiku menemukan kepercayaan diri, begitu juga denganku. Subuh tadi aku muntah-muntah. Hasil tes di bidan menunjukkan bahwa Tuhan telah mengabulkan ikhtiarku.”
A Ma melempar senyum sambil mengucap syukur tak henti-henti.
Entah kebetulan atau tidak, di hari berikutnya, seorang tetangga lainnya juga mengaku sembuh dari sembelit yang dideritanya berhari-hari setelah memakan lontong Cap Go Meh buatan A Ma. “Mengapa lontong Cap Go Meh buatanmu begitu mujarab?” tanya Pak Karta pada A Ma. “Apakah kau membubuhkan mantra khusus ketika memasaknya?”
Lagi-lagi, A Ma hanya mengucap syukur sambil tersenyum.
“Besok aku akan dilamar teman kerjaku. Ketika aku hampir putus asa menemukan jodoh, justru lontong Cap Go Meh buatanmu menyelamatkanku,” jelas Mbak Is, keponakan Pak Karta yang menemui A Ma di lain hari.
Aku bahkan sering berhayal, lontong Cap Go Meh buatan A Ma memang bertuah. A Ma memasak lontong, sayur, dan lauk pauknya dengan sebuah ritual dan doa khusus, sehingga menjadikannya makanan berkhasiat mujarab. Semakin hari kian banyak orang yang menyebarkan kabar tuah makanan itu. Aku sendiri percaya bahwa Tuhan bisa saja menurunkan karunia berupa kesembuhan dan terkabulnya permintaan lewat masakan A Ma, kepada siapa saja yang tak lelah berdoa.
***
Bertahun-tahun, lontong Cap Go Meh buatan A Ma selalu mengentas aku dari kesedihan. Sebuah petang ketika istriku pamit pulang agak larut malam, ada sebuah pesan masuk di percakapan whatsapp dari seorang teman, “Aku melihat istrimu sedang bersama laki-laki di Rolag.” Nama tempat yang dia sebut adalah sebuah kafe di pinggiran kota yang biasa dijadikan tongkrongan pasangan muda-mudi. Aku tidak serta memercayainya, sebelum akhirnya dia mengirimkan sebuah foto.
Sejak peristiwa itu, aku memilih lebih sering diam jika sedang bersama istri. Entah sadar atas sikapku atau tidak, dia justru makin sering meminta izin keluar rumah. Aku merasa pernikahan kami sedang mengalami tanda-tanda keretakan.
Berhari-hari setelahnya, aku mengecam kecerobohanku—membiarkan istri bergaul leluasa dengan lelaki-lelaki teman kerjanya. Berhari-hari pula aku murung dan tidak bisa menelan makanan yang tersaji di meja makan. Saat itulah, A Ma seperti ikut merasakan kesedihanku, lalu buru-buru memasak makanan kesukaanku.
“Aku sudah memasak lontong lontong Cap Go Meh untukmu. Makanlah,” ucap A Ma lirih.
Aku hanya menggeleng. A ma mendekat, membawa sepiring lontong Cap Go Meh beserta opor ayam, abon, dan serbuk koya. Dia menyodorkan sendok ke mulutku. Aku masih saja mengatupkan mulut.
Mendadak aku mencium aroma tuah dari lontong Cap Go Meh itu. Aku merasa Tuhan sedang hadir kembali di sampingku. Bukan dalam bentuk keutuhan pernikahan, tapi keikhlasan untuk menyikapi takdir. Bahwa, apa yang aku alami saat ini barangkali adalah buah dari dosa-dosa yang aku perbuat di masa silam.
Serta merta aku meraih sendok di tangan A Ma. Lalu memakan Lontong Cap Go Meh buatannya dengan perasaan haru.
***
Entah siapa yang memulai tidak setia dengan pasangan, aku dan istriku makin menciptakan jarak. Bertahun-tahun cekcok mewarnai rumah tanggaku, hingga A Ma berpulang setelah menginjak usia tujuh puluh.
Bertahun-tahun setelah kepergian A Ma, lontong Cap Go Meh buatannya tetap tidak dapat berlalu dari kehidupanku. Tidak ada makanan yang memiliki tuah seperti masakan itu. Tidak ada makanan pelipur lara yang bisa menggantikannya.
Ah, seandainya masih ada A Ma, tentu aku akan menyantap sepiring lontong Cap Go Meh buatannya. Hari ini aku sedang dirundung kesedihan. Selembar surat panggilan dari Pengadilan Agama yang menjadi penyebabnya.
Mendadak aku merindukan A Ma dengan masakannya. Mendadak pula terlintas bayang-bayang masa kecilku, ketika kami hidup bahagia dengan berjualan lontong bertuah. Teringat pula cerita A Ma tentang Nian Gao yang urung melenyapkan bumi. Untuk sesaat, aku biarkan air mata membelah sepasang pipiku yang tirus-legam dan mulai berkeriput. (*)
Heru Sang Amurwabumi,
Pendiri Komunitas Pegiat Literasi Nganjuk. Cerpennya, “Mahapralaya Bubat”, mengantarnya terpilih sebagai penulis emerging Indonesia di Ubud Writers & Readers Festival 2019.
Catatan:
Cap Go Meh = Akhir dari rangkaian perayaan tahun baru Imlek yang dilakukan setiap tanggal 15 pada bulan pertama kalender Tionghoa.
A Ma (bahasa Hokkien) = Nenek.
A Pa (bahasa Hokkien) = Ayah.
A Bu (bahasa Hokkien) = Ibu.