Cerpen Pasini
“Bude sempat menuduh aku mengada-ada. Padahal aku sambil menangis meraung-raung.”
Akhirnya kupilih kalimat tersebut sebagai pembuka. Berharap lelaki di depanku itu akan menimpalinya dengan pertanyaan lanjutan, lantas bagaimana ia akhirnya bisa percaya?, misalnya.
Rumah Bude Mida dua rumah jaraknya dari rumah kami. Rumah persis di samping rumah kami justru tak berpenghuni, tengah dalam proses jual-beli oleh pemiliknya yang dipindah-tugaskan ke kota lain. Jadi Bude Mida keluarga kami anggap sebagai tetangga yang terdekat.
- Iklan -
Bude Mida tinggal seorang diri di rumahnya. Suaminya—seorang pensiunan guru SD—telah meninggal setahun lalu. Semasa hidupnya beliau adalah imam langgar yang disegani, ramah, lagi murah senyum. Katanya suatu kali, aku mengingatkannya pada cucu pambarep yang merupakan semata wayang dari satu-satunya anak perempuan. Sejak menikah dibawa suaminya yang seorang pemborong bangunan. Dua anak lelakinya tersisa sebagai lajang dari keseluruhan empat anaknya, dan melihat mereka menikah menjadi impian yang menggantung karena ia keburu berpulang.
Sebenarnya Bude Mida cukup baik. Ia tidak pelit. Jambu air yang tumbuh di halaman depan rumahnya itu kerap dibagikannya gratis pada anak-anak seusiaku yang kebetulan lewat dan dilihatnya dari teras samping, tempat ia menghabiskan sebagian besar hari-harinya dengan merajut. Tapi ketika suatu hari tanpa sengaja kudengar ia menggunjingkan Ibu dengan beberapa perempuan lain di tukang sayur, aku merasa sifat tidak pelitnya itu tidak banyak menolong. Aku tidak lagi mengharapkan sekantung jambu air renyah dengan berpura-pura lewat di jalan depan rumahnya seketika ia muncul dari lubang pintu dengan menenteng perca dan benang wol aneka warna.
Meski di sisi lain, aku mengakui bahwa Ibu memang punya alasan pantas untuk digunjing. Karena ia memilih lelaki yang salah untuk dijadikan suami. Aku sampai bingung harus memberikan jawaban apa atas pertanyaan orang-orang yang menanyakan keberadaan lelaki tersebut di hari nahas itu. Sempat kupikir pada awalnya, saat kepulangannya entah kapan nanti, lelaki itu akan menangis menderu-deru sebagaimana aku. Kemudian ia menampakkan wajah bersalah dan penuh penyesalan karena merasa ikut punya andil atas peristiwa yang sedang menimpa Ibu. Tapi ternyata, yang kutemui justru sebaliknya.
“Bude baru percaya setelah aku bersumpah atas nama Milo.” Tetap kupilih kalimat yang sudah kupersiapkan, meski lelaki itu tidak mendahuluinya dengan tanya. Mulutnya digunakan untuk mengunyah rangin, sisa suguhan tahlilan semalam yang dibawa langsung Bulik Wuning dari rumahnya. Duduk di kursi, pandangannya hinggap di beberapa titik: genteng, tiang penopang blandar, lalu piring dengan isiannya.
Kemudian lelaki itu bangkit dari kursi, mencomot sepotong rangin yang tersisa dan membawanya ke kamar, padahal mulutnya masih dalam keadaan mengunyah dan tangan kirinya sibuk mengusap parutan kelapa yang tersempil di antara lekukan bibir hitam. Aku masih tertinggal di kursi dengan sebuah pikir, mungkin lelaki itu tidak benar-benar ingin mendengarkan ceritaku. Ia tidak butuh untuk tahu. Tidak peduli. Seperti yang pernah dikatakan Ibu, “Bapakmu itu sudah khatam merokok. Susah diubah kebiasaan itu. Bebal dikasih tahu pada hal-hal baik yang lebih berguna.”
Sewaktu Ibu bilang ‘Bapak’, aku membutuhkan waktu beberapa detik untuk memprosesnya sebagai informasi baru agar bisa diterima oleh otak di kepala: lelaki tiga puluh tahunan, berkumis tebal, mulut berbau menyengat, meneriakkan nama ibuku agar segera menghidangkan kopi. Karena ‘Bapak’ sebelumnya adalah lelaki murah senyum, santun, dan penyabar. Tidak suka bicara kasar seperti lelaki itu.
“Entah bagaimana bisa ibumu mau dengan begajulan. Mungkin ia merasa laku. Masih ada perjaka yang mau menikahinya yang janda beranak satu.” Simbah sama herannya denganku. Sambil mewadahi satu centak beras ke dalam kain taplak, lalu menali ujung-ujung kain, mulut Simbah tak henti ngedumel.
Sebelum akhirnya memilih jalan pintas ke rumah Simbah, aku berada di atas boncengan sepeda yang dikayuh Ibu. Pantatku dialasinya lipatan kain jarit, yang kelak digunakannya sebagai jalan pintas ke arah lain.
Ibu membunyikan bel sepeda saat lewat di depan rumah Bulik Wuning, lalu perempuan bertahi lalat di jidat itu akan melambaikan tangan. Aku menangkapnya sebagai ‘hati-hati’ atau ‘syukurlah kalian sering menengok Emak, biar dia tidak kesepian’. Bulik adalah adik kandung Ibu. Mereka hanya dua bersaudara dan tinggal bersama Simbah Putri. Ibu dan Bulik kemudian menikah dan ikut suami masing-masing. Untuk pergi ke rumah Simbah yang akhirnya tinggal sendiri di rumah lama, aku dan Ibu harus melewati jalan di depan rumah Bulik Wuning.
Sampai kemudian Bapak Murah Senyum meninggal dan Ibu menikah dengan Bapak Begajulan. Kami tidak lagi lewat depan rumah Bulik jika ingin ke rumah Simbah. Ibu menuntun tanganku melewati ladang jagung, sela-sela rumpun bambu, menyeberangi sungai, lalu tanaman garut yang tumbuh secara liar dan mengular, sebelum akhirnya sampai di belakang rumah seseorang yang kemudian aku tahu adalah rumah Simbah.
“Kenapa kita tidak naik sepeda saja, Bu?” keluhku saat duri dari ranting bambu menembus sandal dan mencederai telapak kaki.
“Biar lebih dekat,” jawab Ibu. Jika dipikir-pikir, benar juga. Aku bahkan terkejut, warna coklat di kejauhan barat daya yang sering kusaksikan dari beranda rumahku ternyata dinding kayu dari dapur rumah Simbah. Jika saja ladang jagung, sungai dan kebun garut adalah permukaan yang datarnya sama, mungkin jarak rumah kami dengan rumah Simbah hanya seukuran belasan kali panjang galah.
“Karena ibumu malu kalau ketahuan bulikmu. Sudah punya suami baru, masih minta jatah dari orang tua,” bisik Simbah.
Jika dipikir-pikir, benar juga. Setiap kami pulang dari rumah Simbah, Ibu selalu membawa buntelan. Jari-jariku diselipi lembar-lembar uang yang kata Simbah, agar aku tidak perlu meminta pada Bapak Begajulan kalau ingin beli es cincau Mang Komar. Aku memang pernah melakukannya. Berangkat dari pengalaman menengadahkan tangan pada mendiang Bapak Murah Senyum saat bakul jajanan lewat di jalan depan rumah, aku pun melakukan hal yang sama ketika lelaki itu akhirnya menikahi Ibu dan tinggal di rumah kami.
“Minta sana sama kuburan bapakmu,” katanya, seraya memalingkan muka, lalu pergi begitu saja. Kuceritakan perihal itu kepada Simbah. Dalam heran aku bertanya, kenapa Bapak yang ini tidak seperti Bapak yang itu, tetapi Simbah tidak menjawabnya.
Lelaki itu, maksudku Bapak Begajulan, tidak pulang ke rumah setiap hari. Aku pernah bertanya pada Bulik dan ia menjawabnya dengan pertanyaan balik, apakah mulutnya berbau menyengat setiap kali baru kembali. Saat aku mengangguk, Bulik kemudian mengatakan bahwa lelaki itu adalah seorang pemabuk. Itulah alasan dari setiap kepergiannya. Tapi aku cukup tahu bahwa pemabuk bukan sebuah pekerjaan yang bisa mendatangkan uang sebagaimana sopir—pekerjaan Bapak Murah Senyum semasa hidupnya. Buktinya ia selalu bilang tidak punya uang, tidak hanya padaku tetapi juga Ibu.
“Aku sudah tidak lagi mampu menanggungmu, Sum. Panenan tidak seberapa, menjagai aku sakit dan butuh biaya untuk berobat. Dulu waktu kukasih tahu jangan kawin dengan pengangguran, kamu ngeyel. Katamu, setiap orang bisa berubah kalau sudah menikah. Sekarang kamu buktikan pada emakmu ini.” Hari itu saat kami pulang dari rumah Simbah, Ibu tidak lagi membawa buntelan. Tapi sela-sela jariku masih diselipinya beberapa lembar uang.
Beras itu lalu Ibu dapat sekeluarnya dari rumah Bude Mida, meski tidak di dalam buntelan kain taplak. Melainkan tas anyaman. Sebagian ditanak. Sebagian dijual untuk dibelikan bahan lauk, juga gula dan kopi. Lelaki itu begitu mencandunya. Saat di rumah, lebih dari tiga kali sehari ia berteriak ‘Sumiiiiiiiiii’ untuk membuatkannya. Terkadang ia sampai menggebrak meja saat Ibu tidak segera datang, atau bilang kopi mahal bagaimana jika diganti dengan teh tubruk saja.
Tapi beberapa hari kemudian bukan Ibu yang keluar dari rumah Bude Mida, melainkan sebaliknya. Perempuan paruh baya itu bicara dengan nada cukup tinggi sehingga telingaku mampu merekamnya, “Pokoknya nanti siang harus sudah kau kembalikan. Aku tidak mau tahu apa pun caramu.”
Uangku dari Simbah juga sudah habis. Karena tidak hanya kubelikan jajan, tetapi juga ikan asin bakal lauk Milo, kucing kesayanganku. Ia dibawa Bapak Murah Senyum sekembalinya dari bekerja, katanya kaki depan terserempet oleh ban tronton yang dikemudikannya. Kata Bapak lagi, menabrak kucing adalah pertanda buruk dan karena itu memintaku merawat Milo agar ia terhindar dari kesialan di jalan. Aku meraguinya. Baru kemudian ketika Bapak menjadi korban dalam kecelakaan yang tragis, separuh kata-katanya terbukti. Pada bagian kesialan, tapi tidak ‘terhindarnya’. Aku sudah merawat kaki Milo sampai ia sembuh meski berakhir sebagai pincang, tetapi Bapak tetap tidak terhindarkan dari kematian yang sialan.
Ibu murung beberapa waktu sampai kemudian ia didatangi lelaki baru yang mengembalikan senyumnya. Simbah menasihatinya. Bulik mengomelinya. Tetapi Ibu bergeming saja.
Aku tidak gampang mendapatkan uang jajan lagi semenjak Ibu berganti suami. Ibu lebih banyak mengalihkan perhatianku pada mobil-mobilan dari kulit jeruk, robot dari serpih-serpih kardus, atau persediaan gundu dan sowangan dengan ekornya yang panjang lagi melingkar sebagaimana badan ular. Mang Komar lewat dengan lonceng dideringkan dan berhenti di pertigaan, bawah pohon mahoni yang cukup rindang. Beberapa kawanku merubungnya.
“Bu, Ibu,” kataku. Sebelah tanganku menarik-narik daster kumal Ibu di bagian pinggang. Sebelah yang lain menunjuk ke arah pertigaan.
Ibu diam saja. Aku menarik dasternya lebih keras. Terdengar bunyi sobekan. Ibu bergegas ke dalam. Aku menangis di beranda.
Kurang lebih satu jam kemudian saat aku lelah menangis dan kurasa air mata pun nyaris habis, aku mencari Ibu. Aku terpikir untuk mengajaknya ke rumah Simbah. Mungkin perempuan tua itu sudah tidak marah dan mau memberi kami beras serta uang lagi. Kami bisa mengambil jalan pintas seperti biasa agar Bulik Wuning tidak tahu dan menggunjingkan Ibu. Aku bahkan berjanji dalam hati tidak akan mengeluh perihal duri lagi.
Tapi alangkah terkejutnya aku, kutemukan Ibu dengan jerat kain di lehernya pada salah satu tiang di ruang tengah. Aku memanggil-manggil namanya, tetapi Ibu hanya diam saja. Kupegang kakinya, beranjak dingin. Tubuh Ibu bergelantungan bagai kelelawar menjelang tidur atau laba-laba pada sarangnya. Bedanya, mata Ibu melotot sempurna dan mulutnya menganga bagai pintu gua.
Kantung mataku dengan lekas melakukan pengisian ulang. Aku berlari ke arah rumah Bude Mida. (*)
Catatan :
Padaringan : tempat menyimpan beras
Pambarep : pertama
Blandar : kayu atau bambu pipih panjang untuk menyangga genteng
Centak : ukuran yang setara dengan empat batok kelapa
Sowangan : layang-layang berukuran besar
*PASINI, mitra BPS Kabupaten Ngawi sebagai tenaga entry data. Menulis cerpen yang pernah termuat di sejumlah media cetak dan daring, antara lain: LP Ma’arif NU Jateng, Republika, Femina, Jawa Pos, Media Indonesia, Kompas.id, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Detik, Cendana News.