Cerpen Muhammad Lutfi
Air sungai mengalir tidak terlalu deras. Airnya juga tidak begitu dalam. Batu-batu padas menghiasi wajah sungai tersebut. Air sungai itu jernih dan tidak ada sampah yang ikut terseret bersama arusnya yang tenang. Sehingga, banyak ikan-ikan yang berenang dan hidup di air tersebut. Di tepi sungai tersebut, dihiasi beberapa pohon pisang yang hijau dan masih segar terkena embun. Beberapa anak-anak terlihat membawa pancing dan duduk di tepi kali itu. Meskipun hujan sedang mengguyur kawasan sungai tersebut, anak-anak itu tidak pantang pulang ke rumah sebelum mereka mendapatkan ikan. Mereka akan tetap memancing sampai apa yang mereka inginkan terpenuhi. Terkadang mereka saling berlomba untuk cepat-cepat dapat ikan duluan.
“Lihat! Lihat! Ada ikan besar bergerak-gerak!”
“Bohong!”
- Iklan -
“Aku tidak berbohong! Ada ikan besar muncul ke permukaan. Aku melihat kepalanya.”
“Tidak mungkin di arus sungai yang tenang dan tidak terlalu dalam seperti ini ada ikan besar hidup.”
“Mungkin saja. Mungkin saja, itu ikan milik Raju yang katanya memang sengaja dia lepaskan di sungai ini.”
“Kenapa ikan miliknya dilepaskan ke sungai?”
“Aku dengar-dengar, katanya ikan itu mau dimasak istrinya. Dia tidak mau. Karena usia ikan itu belum cukup dewasa.”
“Raju ada-ada saja. Mana mungkin ikan mau dimasak belum cukup dewasa. Seharusnya semua ikan bisa dimasak kalau tubuhnya sudah dipandang enak untuk dimakan.”
“Raju orang yang lebih berpengalaman dari kamu. Dia orang yang lebih tahu ikan daripada kamu.”
“Aku juga tahu tentang ikan.”
“Coba… kamu sebutkan nama ikan yang kamu ketahui!”
“Gurame, Lele, Nila, Koi, Hiu, dan Piranha!”
“Cuma itu saja?”
“Iya… Cuma itu saja.”
“Raju lebih tahu banyak tentang nama dan jenis-jenis ikan. Dia itu orang yang suka pelihara ikan.”
“Kalau suka pelihara ikan, kenapa ikan yang dia pelihara dilepaskan begitu saja ke sungai?”
“Karena dia lebih paham tentang ikan.”
Dua anak yang sedang memancing itu berdebat tentang seekor ikan. Seorang anak yang sedang memancing tersebut melihat sebuah ikan yang besar dan memunculkan kepalanya ke permukaan. Tetapi temannya tidak percaya. Menganggap bahwa tidak ada ikan besar yang sanggup hidup di sungai yang tidak terlalu dalam ini.
Menurut rumor yang beredar, ikan besar yang sering dilihat pemancing di sungai tersebut adalah ikan Gurame milik Raju. Dia adalah seorang peternak dan pecinta ikan. Raju tahu tentang jenis ikan dan nama-nama ikan, bahkan, Raju tahu tentang bagaimana cara memelihara dan mensikapi ikan.
“Ikan itu terlihat kembali! Kali ini siripnya yang terlihat.”
“Kamu mungkin sudah ngantuk, sehingga berhalusinasi melihat ikan besar. Karena dari tadi mancing tidak dapat-dapat hasil.”
“Aku tidak berbohong kali ini!”
“Kalau ada ikan yang besar menurut katamu itu, paling-paling itu hanya seekor biawak. Atau mungkin…”
“Mungkin apa?”
“Mungkin buaya!”
“Jangan menakut-nakuti aku seperti itu! Aku jadi takut beneran ini.”
“Mana mungkin di sungai seperti ini ada buaya, kamu itu memang penakut. Buaya hidupnya kan di sungai muara. Seperti ikan-ikan besar, hidupnya juga di sungai muara: yang mengalir deras dan dalam.”
Kedua anak yang masih mancing itu membahas tentang ikan besar yang muncul di permukaan. Ikan besar itu seakan menjadi penunggu sungai tersebut. Sungai yang menjadi tempat anak-anak dan orang-orang untuk memancing dan menghibur diri.
Arus sungai itu perlahan beriak dan terbelah. Suara kaki orang yang berjalan di arus sungai itu mengganggu ikan-ikan di dalam sungai. Mengganggu dua orang anak yang sedang menunggu hasil memancing karena sedari tadi belum mendapat ikan.
“Aduh… ikan-ikannya berlari pergi. Kamu sih… mengganggu ikan-ikan itu, Raju!”
“Kurang ajar! Tidak pernah diajarkan sopan santun? Bicara sama orang tua tidak pakai tata krama.”
“Maksudku, Pak Raju…”
“Iya begitu, seharusnya yang benar!”
“Kamu mengganggu kami memancing saja, Pak Raju!”
“Kenapa aku yang kalian salahkan? Aku kan baru saja sampai di sini.”
“Baru saja, tapi setibanya di sini langsung berjalan di dalam sungai. Mengganggu ikan-ikan itu memakan umpan kami. Ikan-ikan itu jadi lari sekarang.”
“Aku juga sama-sama sedang mencari ikan, bukan kalian saja.”
“Cari ikan, tapi tidak bawa pancing sama jala. Mau cari ikan pakai tangan?”
“Aku tidak perlu pakai alat seperti itu. Aku mencari ikanku yang sudah besar sekarang!”
Kehadiran Raju di sungai itu benar-benar mengganggu dua orang pemancing tersebut. Raju berjalan di dalam sungai. Membuat air beriak dan berisik, mengganggu ikan-ikan di sungai itu untuk tetap tenang.
Raju sedang mencari ikannya yang sekarang sudah besar. Ikan Gurame yang dia lepaskan lima tahun yang lalu. Saat istrinya mencoba untuk memasak ikan itu, Raju melarikan ikan tersebut ke sungai dan melepaskannya ke dalam sungai. Ikan itu kini sudah besar. Dia mencari keberadaan ikan yang dulu dia lepaskan itu, untuk kembali dibawa pulang.
“Memangnya, ikan apa yang kamu cari?”
“Aku mencari ikanku yang sekarang sudah besar. Ikan gurame yang mungkin sekarang seukuran paha orang dewasa. Aku dulu melepaskannya di sungai ini. Kali ini aku akan membawanya pulang!”
“Aneh! Ikan di lepaskan di sungai. Iya kalau ikan itu masih hidup. Mungkin ikan itu sudah mati.”
“Seenaknya saja kalau bicara! Aku terkadang menengoknya di sungai ini. Aku lemparkan beberapa palet ikan ke sungai. Dia tak mau makan kalau tidak palet.”
“Memang, tidak dengar kabar terbaru?”
“Kabar apa?”
“Kemarin, Pak Haji Anam mendapatkan ikan besar setelah mancing di sungai ini. Ikan itu juga ikan gurame. Berukuran sepaha orang manusia dewasa. Pak Haji sampai kelelahan menangkapnya. Beratnya sekitar 70 Kg. Mungkin itu ikan yang kamu maksudkan!”
“Yang benar saja?”
“Kalau tidak percaya, tanya saja sama Pak Haji Anam!”
“Kurang kerjaan Pak Haji Anam itu! Ikan orang diambil begitu saja. Dia tidak tahu kalau aku yang memberi makan ikan itu palet tiap harinya. Aku harus merebutnya kembali!”
Raju benar-benar naik darah setelah mendengar bahwa Pak Haji Anam menangkap ikan gurame besar di sungai ini. Bisa jadi kalau ikan itu adalah ikan milik Raju. Dia segera menuju ke rumah Pak Haji Anam untuk merebut kembali ikannya.
“Memang benarkah, apa yang kamu katakan kepadanya tadi?”
“Aku berkata benar! Pak Haji Anam kemarin memang memancing di sini. Beruntungnya, umpannya itu disambar ikan gurame berukuran besar. Pak Haji Anam sampai tercebur ke sungai. Tetapi Pak Haji Anam tidak menyerah, dia seret pancingnya ke tepian. Dia begelut dengan ikan besar itu. Tentu pemenangnya Pak Haji Anam. Dia kan ahli dalam menaklukan ikan-ikan sungai.”
“Terus… kenapa tadi kamu tidak percaya saat aku beritahukan kepadamu tentang seekor ikan besar yang aku lihat sebagian tubuhnya muncul ke permukaan air?”
“Aku sebenarnya percaya saja. Kan memang orang-orang sudah tahu bahwa Raju melepaskan ikan guramenya di sungai ini hingga tumbuh besar.”
“Lalu… ikan besar yang kulihat tadi, ikan siapa?”
“Itu mungkin istrinya ikan gurame tadi, bisa juga anaknya ikan gurame milik Raju, atau mungkin…”
“Mungkin apa?”
“Mungkin ikan jadi-jadian!”
“Lari….!”
Mereka berdua berlari setelah melihat ikan besar yang muncul ke sungai. Mereka tahu, ikan besar di sungai ini hanya milik Raju. Setelah ikan tersebut ditangkap Pak Haji Anam, tidak mungkin lagi ada ikan besar. Mereka beranggapan bahwa ikan besar itu mungkin adalah ikan jadi-jadian. Mereka lari tunggang langgang meninggalkan sungai dan pancingnya.
***
Sementara itu, Raju melangkah menemui Pak Haji Anam. Dia ketok-ketok pintu rumah Pak Haji Anam. Pak Haji Anam yang sedang mencuci mulut setelah makan, merasa terganggu ada orang mengetuk pintu rumahnya keras-keras. Pak Haji Anam membuka pintu rumahnya. Dia mendapati Raju berada di depan pintu dengan wajah kemarahan.
“Kembalikan ikanku!”
“Ikanmu?”
“Ikan gurame yang kamu dapat kemarin dari sungai.”
“Ikan gurame itu…”
“Cepat kembalikan padaku!”
“Kenapa aku harus mengembalikannya padamu. Itu ikan sungai. Bukan ikanmu! Aku mendapatkannya setelah bergelut dengannya di sungai.”
“Itu ikan yang memang sengaja kulepaskan ke sungai!”
“Tetapi aku mendapatkannya dengan cara yang halal. Dengan cara yang jujur.”
“Cepat kembalikan padaku!”
“Aku baru saja selesai menyantapnya!”
“Kamu selesai menyantapnya?”
“Iya, betul!”
“Kini, kamu harus ganti rugi!”
“Aku tidak akan ganti rugi.”
“Ganti rugi!”
“Tidak!”
“Kalau tidak mau, muntahkan ikan itu dari perutmu!”
“Ikan itu sudah menjadi nutrisi yang bagus untukku.”
“Muntahkan!”
“Tidak!”
“Kalau begitu, aku yang akan memuntahkannya dari perutmu!”
Raju dan Pak Haji Anam beradu pukulan. Mereka berkelahi untuk memperebutkan ikan gurame itu kembali. Raju ingin ikan itu kembali dimuntahkannya, dan mendapatkan ganti rugi.
Dua orang anak yang berlari dari sungai itu melihat Raju dan Pak Haji Anam berkelahi. Mereka melihat dua orang dewasa itu berkelahi. Saling pukul, saling tendang, seperti anak kecil saja. Mereka menonton Pak Haji Anam dan Raju berebut ikan gurame yang sudah tinggal tulang di meja makan Pak Haji Anam.
Pati, 2020
*Muhammad Lutfi, lahir di Pati pada tanggal 15 Oktober 1997. Penulis bertempat tinggal di Desa Tanjungsari, RT.01/RW.02, Kecamatan Jakenan, Kabupaten Pati, Jawa Tengah.