Oleh Ilham Wahyudi
Apabila langkahmu tersesat di ujung jalan, maka tak ada pilihan selain kembali ke pangkal jalan.
Dua dekade sudah setelah pemimpin negeri kami merombak total sistem ekonomi yang berlaku di negeri kami. Negeri yang gilda-gildanya terkenal jujur dan dermawan. Negeri yang para karavannya telah menjejak hampir ke seluruh dunia. Dan negeri yang tak mengenal perbankan serta monopoli perdagangan.
Negeri kami memang berbeda. Jika negeri di seluruh dunia menggunakan uang kertas sebagai alat tukar yang sah, maka di negeri kami alat tukar yang sah adalah emas dan perak serta semua barang yang mengandung nilai. Tak terkecuali, selama yang ingin bertransaksi setuju dan rida.
- Iklan -
Ada 3 komoditi yang sering digunakan di negeri kami sebagai alat tukar selain emas dan perak. Yaitu gandum, garam, dan gabah. Bukan hanya itu saja, menukar buah dengan buah juga lazim di negeri kami. Misalnya, rambutan dengan semangka, durian dengan kelapa, jeruk dengan salak. Bahkan yang tak sejenis juga bisa, seperti ikan lele dengan kain katun, atau bibit pohon jati dengan sepiring nasi. Yang penting setara dan rida! Namun, yang jamak digunakan di negeri kami adalah emas dan perak. Atau bisa juga disebut dinar dan dirham.
Mungkin dalam pikiran kalian negeri kami adalah negeri yang radikal, negeri sarang teroris, negeri kesultanan atau negeri yang terletak di kawasan timur tengah. Kalian keliru. Sungguh keliru! Negeri kami benar-benar jauh dari segala prasangka buruk itu. Sebab negeri kami adalah negeri yang sangat mengagungkan cinta kasih.
Kalian pasti penasaran dengan negeri kami yang berbeda dari negeri lain bukan? Baiklah, agar dahaga penasaran kalian kepada negeri kami hilang, aku akan tuangkan cerita kepada kalian tentang negeri kami yang berbeda dari banyak negeri.
Negeri kami sebetulnya adalah negeri yang kecil. Mungkin sangat kecil. Letaknya juga di ujung dunia. Sehingga apabila kalian cari di peta, negeri kami bisa saja tak kalian temukan. Meskipun begitu, keberadaan negeri kami bukanlah sebuah cerita fiktif atau gaib. Kami meyakini ketiadaan negeri kami dalam peta sesungguhnya hanyalah kesalahan teknis semata yang dilakukan oleh ahli pembuat peta. Lagi pula bagi kami itu sungguh tak penting!
Awalnya negeri kami adalah negeri yang setia menggunakan uang kertas serta penikmat utang. Sampai pada satu titik utang tak bisa terbayar lagi dan negeri kami mengalami krisis ekonomi yang sangat parah. Akibatnya, mata uang negeri kami pun tersungkur sampai ke level yang paling rendah dan hina. Bayangkan, harga satu butir telur bisa mencapai 1 milyar Dolah, dan seekor ayam kampung seharga 40 milyar Dolah. Sungguh benar-benar tak bernilai mata uang negeri kami. O, iya, Dolah adalah nama mata uang negeri kami sebelum berganti menjadi dinar dan dirham.
Dalam masa gelap dan kelam itu, pemimpin negeri kami tak sengaja melihat sebuah video yang bercerita tentang sihir uang kertas. Mulanya pemimpin negeri kami menolak jika uang kertaslah penyebab hancurnya ekonomi negeri kami. Namun, karena situasi negeri kami kian memburuk—bagaimana tidak kian buruk jika saat itu tisu toilet lebih berharga dari uang kertas—pemimpin negeri kami pun mengumpulkan semua petinggi dan tetua negeri untuk mendiskusikan perihal uang kertas dan solusi krisis ekonomi yang sedang menimpa negeri kami.
Setelah melalui diskusi yang panjang dan melelahkan. Ditambah dengan perginya pemimpin negeri kami belajar langsung kepada penceramah dalam video yang ia tonton, akhirnya ditemukanlah sebuah jalan keluar yang revolusioner dari krisis ekonomi yang mendera negeri kami. Yang kami sebut, kembali ke pangkal! Ya, kembali ke pangkal adalah kembali ke sistem transaksi dahulu kala, yaitu barter. Barang ditukar dengan barang atau barang ditukar dengan tenaga (jasa). Akibat perubahan revolusioner itu uang kertas di negeri kami akhirnya tak memiliki tempat lagi. Dan bank-bank di negeri kami termasuk bank sentral akhirnya ditutup.
Mula-mula rakyat negeri kami sangat canggung dan bingung. Sebab mereka sangat berhitung untung rugi ketika melakukan barter kebutuhan hidup sehari-hari. Bayangkanlah, puluhan tahun mungkin juga hampir seratus tahun turun temurun hidup dijejal dengan angka-angka yang tertulis di selembar kertas tiba-tiba berubah dengan sistem barter. Wajar kalau dalam pikiran mereka yang ada hanya untung dan rugi belaka.
Dulu semasa masih menggunakan uang kertas, semakin banyak deretan angka nol di selembar uang kertas semakin bangga dan bahagialah kami menggenggamnya. Padahal jika uang kertas itu sobek, nilai angka nol yang berderet di kertas itu pun menguap ke udara alias tak bernilai. Bahkan yang lebih aneh dan lucu, kami begitu menggilai uang kertas negeri lain yang katanya lebih mulia dan lebih tinggi nilainya dari uang kertas negeri kami sendiri. Meskipun sudah jelas-jelas berbahan sama-sama dari kertas. Itulah mengapa saat pertama kali sistem barter diberlakukan, rakyat negeri kami sangat sulit menerimanya.
Akan tetapi, karena ketekunan dan kesabaran dari pemimpin negeri kami yang tak pernah lelah memberikan penjelasan tentang hikmah dibalik sistem barter. Perlahan namun pasti rakyat negeri kami akhirnya paham dan percaya. Lambat laun transaksi perdagangan di negeri kami pun bergelora. Hasil bumi negeri kami meningkat berkali-kali lipat. Gilda-gilda bermunculan. Negeri-negeri tetangga berdatangan bak semut mengerubungi gula—ingin menjalin kerja sama perdagangan.
Untuk mempermudah segala bentuk transaksi di negeri kami, pemimpin negeri kami akhirnya menerbitkan dinar dan dirham sebagai alat tukar yang sah. Kendati begitu, sistem barter masih tetap berlaku. Negeri kami pun semakin menggeliat tak terbendung. Produk-produk dari gilda di negeri kami menyebar ke seluruh dunia dibawa oleh karavan-karavan negeri kami. Mereka menciptakan barang-barang apa saja yang berkualitas tinggi dengan penuh cinta. Sehingga kemakmuran dan kesejahteraan negeri kami tersiar ke seluruh dunia.
Selain persoalan alat tukar, pemimpin negeri kami juga banyak mengubah peraturan dalam mengelola sebuah negeri. Satu demi satu ilmu yang dipelajarinya ia terapkan menjadi sebuah undang-undang. Seperti soal pajak misalnya, pemimpin negeri kami sama sekali tidak memungut pajak. Ia bermaksud agar harga-harga tidak naik akibat terbebani pajak. Pemimpin negeri kami juga berharap penghapusan pajak dapat mendorong rakyat negeri kami untuk berlaku jujur perihal harta benda mereka.
Bukan hanya soal pajak, pemimpin negeri kami juga mengubah konsep pasar di negeri kami secara revolusioner. Pasar-pasar yang berdiri di negeri kami pasca krisis ekonomi adalah pasar-pasar yang bebas dari sewa dan monopoli. Maksudnya? Ya, siapa pun yang ingin berdagang di pasar tidak akan dikenai biaya sewa atau uang retribusi. Sehingga harga barang-barang juga tidak perlu mengalami kenaikan.
Pasar-pasar yang didirikan pemimpin negeri kami tidak lagi berbentuk bangunan-bangunan permanen seperti pasar pada umumnya. Namun hanya hamparan tanah kosong yang telah berdiri tenda-tenda agar para pedagang serta pembeli tidak terkena panas dan hujan. Dan yang menariknya lagi, siapa pun yang datang pertama ke pasar, dialah yang berhak menentukan di mana posisi ia menggelar dagangannya. Inilah yang kami sebut tanpa monopoli, sebab semua pedagang memiliki hak dan kesempatan yang sama. Betul-betul merdeka dari aturan yang berlaku dibanyak negeri.
Begitulah sedikit cerita tentang negeri kami yang berbeda. Negeri yang berhasil keluar dari krisis ekonomi dan lilitan sihir uang kertas. Negeri yang gilda dan karavannya masyhur ke seluruh dunia. Dan tentu saja negeri yang tak mengenal perbankan dan monopoli perdagangan.
Lantas, negeri manakah yang sebenarnya kami contoh? Negeri yang kami contoh adalah negeri yang paling aman dan terjaga di dunia. Negeri yang tak akan dimasuki tukang fitnah bermata satu. Negeri yang pernah dipimpin oleh seorang manusia paling jujur di dunia, paling terpercaya, dan paling adil di dunia. Sampai hari ini nama pemimpin negeri itu masih disebut pengikutnya saat beribadah. Bahkan sampai dunia kiamat nanti namanya akan selalu disebut.
“Kalau boleh tahu, apa nama negeri yang kalian maksud dan siapa pula nama pemimpinnya?”
Maaf, untuk pertanyaan terakhir aku tidak bisa bantu menjawabnya. Jika kalian ingin tahu jawabannya, aku sarankan untuk mencari tahu sendiri. Sebab jawabannya sungguh sangat dekat—ke pangkal jalan!
Jakarta, 2020
*ILHAM WAHYUDI. Lahir di Medan, Sumatera Utara, 22 November 1983. Ia seorang juru antar makanan di DapurIBU dan penggemar berat Chelsea Football Club. Beberapa cerpennya telah nimbrung dalam antologi serta dimuat koran-koran, dan majalah. Buku kumpulan cerpennya “Kalimance Ingin Jadi Penyair” akan segera terbit.