Oleh Hamidulloh Ibda
Saat menulis status “jaliteng, gulo geseng, dan jrabangan”, banyak teman WhatsApp berkomentar. Beragam. Namun menambah ilmu baru bagi saya yang “faqir ilm” ini. Ada yang menjawab, itu nama orang, nama wedus, tapi maksud saya, tepatnya adalah nama jangkrik.
“Juaaaangkriiiiiik, Dak,” kata salah satu teman WhatsApp.
Ya, jaliteng waashabihi adalah nama-nama jangkrik. Ada yang menulis “jeliteng, gula geseng, jerabang”. Ini soal jangkrik, salah satu hewan ciptaan Allah yang unik. Apa sih pentingnya ngomong jangkrik?
- Iklan -
Tak sekadar hewan pengusir tikus dan “werog”. Ini soal karakter jangkrik. Bagi saya, masa kecil usia MI menjadi masa-masa yang tak selesai dituliskan. Penuh kekonyolon, enigma, juga harmoni. Salah satunya cerita tentang mencari jangkrik sembari mengadunya usai salat berjemaah di musala, khususnya saat bulan puasa Ramadan.
Jaliteng, gulo geseng dan jrabangan merupakan nama jangkrik dengan tipe berbeda. Ini bukan soal hewan, tapi karakter, tipologi, juga berkaitan dengan hal yang paling dasar dengan manusia, yaitu tanah air. Karena, jangkrik merupakan hewan yang hidup di dalam tanah, namun juga di atas tanah. Bahkan, ada jangkrik yang diternak di dalam suatu wadah.
“Wong manuso kok dok padakke jangkrik to, Pa?” Tegas istri saya ketika diskusi dengan paparan di atas.
“Loh, manusia kuwi, al-hayawan an-natiq. Nek wong-wong barat kae, nyebute ya podo, Ma. Ono ‘animal symbollicum, animal rational’, dan lainnya. Kenapa animal? Jelas, manusia kuwi kewan asline. Podo-podo duwe fisik, podo-podo duwe nafsu, tapi kewan ora dua akal, sing duwe manuso. Ngono, Ma,” paparku bertele-tele pada istri.
Jawaban seperti itu, sudah lama saya paparkan kepada mahasiswa ketika mengkaji filsafat manusia, khususnya dalam mata kuliah filsafat umum.
Jaliteng, Gulo Geseng, Jrabangan
Kembali ke jangkrik tadi. Jaliteng, bagi warga di desa saya kecil, adalah jangkrik serba hitam. Mulutnya, kepalanya, sayapnya, kakinya, semua hitam. Sedangkan gulo geseng, adalah jangkrik yang moderat. Tidak terlalu hitam, tidak pula terlalu putih. Ia sawo matang laiknya orang Jawa.
Sementara jrabangan, adalah jangkrik yang putihan. Kepalanya sedikit cokelat kemerah-merahan, sayapnya putih. Jika diadu, ia galak dan tidak mau kalah dengan musuh. Bisa dikata, jrabangan ini tipe barat, putih, china, dan lainnya. Visi utamanya memang menghegemoni.
Kita lupakan politik. Geser ke masalah psikologi agama saja. Di Indonesia ini, dengan beribu-ribu pulau, suku, dan agama yang beragam, bisa masuk ke dalam tiga mainstream.
Pertama, mainstream kanan yang terlalu konservatif, kaku, linier. Wujudnya, bisa berupa ormas, atau perilaku agama yang semua dikembalikan pada Alquran dan hadist. Bisa dikata, ia terlalu radikal konservatif. Tipe seperti ini jelas-jelas sewarna dengan jaliteng. Hitam. Kentel.
Kedua, mainstream tengah. Ia moderat. Prinsipnya “wasatiyah”. Tidak terlalu mainstrem kanan, juga tidak terlalu mainstream kiri. Tipe seperti ini laiknya orang Jawa, alias gulo geseng. Kulitnya juga tidak terlalu putih banget, tidak pula terlalu hitam negro banget.
Ketiga, mainstream kiri. Ia terlalu liberal, sekuler, mendewakan akal, tidak terlalu percaya dan berkiblat pada teks, kitab suci, dan sejenisnya. Tipe seperti ini sama seperti orang-orang dan negara barat yang menghembuskan liberalisme. Karakter seperti ini bisa dikata sama seperti jrabangan.
Yang mana lebih pas? Jelas, paling enak adalah moderat. Di mana-mana, tengah menjadi pusat episentrum kenikmatan.
Jawa, Arab, Barat
Masalahnya, kita ini orang Jawa, namun nabinya, agamanya dari Arab, dan hidupnya digantungkan dengan teknologi produk barat. Dus, kita harus bagaimana?
Emha, atau Cak Nun, pernah dan berkali-kali sering mengatakan bahwa ada tipe beragama yang unik, yang dilakukan orang-orang Islam di daerah merapi. Mereka menggabungkan antara Jawa, Arab, dan Barat.
Diktumnya adalah “Jawa digawa, Arab digarap, Barat Diruwat”.
Pertama, Jawa digawa. Sebagai manusia Jawa, Jawi, atau Nusantara, kita memiliki local knowledge (pengetahuan lokal), local genius (jenius lokal), local wisdom (kearifan lokal) yang jelas berbeda antara daerah satu dengan lainnya. Lebih prinsip lagi, kalau Anda lahir di Jawa, ya berarti Allah menyuruh Anda menjadi orang Jawa. Makanya, tak usah “kemarab” atau “kembarat”. Intinya, wong Jawa kudu njawani. Sebab, wong Jawa itu “ngerti”. Nek durung Jawa, berarti durung ngerti.
Kedua, Arab digarap. Sebagai umat Islam, apa saja yang dari Arab belum tentu agama, belum tentu ajaran Islam. Wong Arab juga punya budaya. Artinya, kita harus menggarap apa-apa saja yang datang dari Arab, nggak perlu ditelan mentah-mentah, mundak keselek. Nanti, dikira yang Arab itu Islam. Nah, ini contoh berislam dengan pekok.
Ketiga, Barat diruwat. Sebagai manusia yang membutuhkan alat, kita butuh produk Barat baik dalam bentuk pengetahuan atau teknologi. Namun, harus kita ruwat, kita buang racun-racunnya. Sebab, Barat itu misinya juga menghegemoni dunia.
Maka, ketika kita tidak dapat menguatkan keislaman, keindonesiaan, kejawaan kita, maka kita akan seperti burung garuda yang kehilangan sayapnya. Sebab, kita ini bangsa garuda, bukan bang emprit. Ingat itu.
Kembali pada jangkrik, sebenarnya selain jaliteng, gulo geseng, jrabangan, ada jangkrik-jangkrik lain yang turut mewarnai khazanah perjangkrikan. Ada jangkrik upo, jangkrik kecicer, jangkrik gangsir, dan lainnya. Semua memiliki karakter dan setting spiritual yang berbeda.
Dus, kita ini jangkrik apa?
-Penulis adalah Pengurus LTN NU Temanggung
Jangkrik geseng