• Tentang Kami
  • Redaksi
  • Cara Kirim Tulisan
LP Maarif NU Jateng
  • Beranda
  • BeritaTerkini
  • Artikel
  • Sastra
  • Keislaman
    • Hikmah
    • Fikih
    • Tokoh
  • Jurnal
  • Program
    • LSP P2
    • Ma’arif Career
  • Lomba
    • Lomba Madrasah dan Sekolah Unggulan
  • UNDUH
  • Kirim Tulisan!
No Result
View All Result
  • Beranda
  • BeritaTerkini
  • Artikel
  • Sastra
  • Keislaman
    • Hikmah
    • Fikih
    • Tokoh
  • Jurnal
  • Program
    • LSP P2
    • Ma’arif Career
  • Lomba
    • Lomba Madrasah dan Sekolah Unggulan
  • UNDUH
  • Kirim Tulisan!
No Result
View All Result
LP Maarif NU Jateng
ADVERTISEMENT
Home Sastra Puisi

Puisi-Puisi Muhammad Rois Rinaldi

25/09/2019
in Puisi, Sastra
Reading Time: 17min read
0 0
0
Puisi-Puisi Muhammad Rois Rinaldi

Ilustrasi Pinterest

0
SHARES
214
VIEWS
Bagikan ke FacebookBagikan ke Whatsapp

SEBELUM SABDA

Ibu tak pernah berhenti menata kisah

dari kenangan-kenangan pada etalase

ingatan dan usia menuturkannya

Bacajuga:

Rusman Merindukan Kiriman

Rusman Merindukan Kiriman

14/05/2022
11
Kiat Cerdas Memahami Substansi Ibadah

Kiat Cerdas Memahami Substansi Ibadah

15/05/2022
5
Etika Proses Menuntut Ilmu Seorang Pembelajar

Etika Proses Menuntut Ilmu Seorang Pembelajar

06/05/2022
11
Puisi-Puisi Seruni Unie

Puisi-Puisi Seruni Unie

01/05/2022
23

bagai hujan pada malam tak berbatas.

Di tangannya yang terlalu banyak mencatat

tak ada jarak antara setiap yang berlalu

dahulu dan detik-detik kini

yang ia hela.

Aku tahu, Ibu terlalu sakral untuk kumaknai

tapi rasanya, begitulah yang dapat kulihat

dari kerut kelopak matanya. Selebihnya,

jiwa Ibu tetap misteri tak terkuak.

Sesekali  kulihat segerombol laron dan sesekali

semacam tabir. Seperti lapisan kabut.

Beribu lapis kabut.

Ibu memang terlihat kehilangan banyak hal.

Timangan. Teman bicara. Keceriaan dapur.

Anak-anak kecil yang berebut kue.

Tetapi Ibu tetap saja isi dari segala hal.

Siapa dapat memisahkan api dari panas?

Aku khawatir pada Ibu,  lebih-lebih

pada diriku sendiri. Bila aku pulang.

Membuka pintu kamarnya. Mengencup tangannya.

Hidupku, yang sering kosong,  terpenuhi.

Hidupku terasa memeluk hidup.

Niscayalah setiap kehilangan di bumi

yang mulanya tak ada apa-apa ini.

Tetapi Ibu dan semua maknanya,

bukankah ia tak sefana gunung-gunung?

Tak serapuh tebing dan dermaga.

Aku khawatir tak sempat merawi

dan sabda Ibu melayang begitu saja

ke jagat  tak bertanda jam matahari.

Tahun-tahun adalah bunga pagi buta,

gampang gugur. Ibu terus menata kisah

seperti menata gelas pada lemari kaca.

Musim-musim akan lewat

udara berkuda pada muka waktu,

dan tangan Ibu akan berhenti mencatat.

Aku berhenti di sana.

2018

AKU MENCINTAIMU

Aku mencintaimu, Ibu. Mungkin

karena kau ibuku. Karena aku anakmu.

Karena pada darahku ada darahmu

atau mungkin tanpa karena apapun.

Bukankah cinta tak menyerah

pada sebab-sebab? Atau cinta menyerah

pada sebab-sebab? Sebab Tuhan

menyifati kita dengan cinta.  Tetapi kita

tidak sekalipun punya kesempatan

merunut mula ia tiba. Bagaimana ia terbentuk.

Bagaimana ia mewujud begitu saja.

Kita tak pernah dapat memastikan

di mana letak cinta, bukan?

Di hati? Seperti merpati bertengger

di dahan randu atau seperti bangau

di punggung seekor kerbau

pada penghujung musim rindu,

segala yang bertengger akan pergi

tapi cinta tak pernah pergi. Menetap.

Menatrap. Memenuhi. Jadi penuh itu

sendiri. Cinta abadi sejak dimulai.

Menyifati pakaian-pakaian kita.

Menyifati kejadian, kenangan, dan

semua yang kita namai cita-cita.

Tetapi yang abadi adalah yang tak punya

permulaan. Cinta bukan Tuhan, kan, Bu?

Tuhan menyifati kita dengan sifat

cinta-Nya. Ia abadi meski kita fana           

atau cinta ada agar kita yang fana

ada sebagai yang tak sia-sia.

Kita makna dari ketakbermakaan.

Cinta pada diri kita membentuk makna

untuk yang tak punya makna.

Cinta kadang mondar-mandir

seperti laron pada cahaya atau

sebetulnya cahaya itu cinta dan laron

adalah kita atau laron dan cahaya ada

karena keduanya ada. Menjadi tak ada

jika keduanya tak ada.

Aku mencintaimu, Ibu. Sejak aku

mengamini bahwa aku hidup

sebagai manusia di bumi yang apa saja

dapat membuat kita bosan.

Sebentar, aku pernah mencintai

beberapa manusia, kemudian tak cinta.

Kubersamai mereka untuk kutinggalkan.

Aku tak tahu mengapa tiba-tiba cinta

dan mengapa tiba-tiba tak cinta.

Cinta barangkali barang habis

yang dapat diperbarui. Habis

cari yang baru. Tetapi itukah cinta

atau ilusi cinta? Cinta memiliki

sisi-sisi ilusi? Cinta mesti bukan ilusi.

Hanya saja prasangka kehadiran

dan ketakhadiran atau wujud

cinta itu memang ujian berat.

Aku percaya itu, karena cintaku

kepadamu tak pernah menemu bosan.

Makin waktu cintaku kepadamu

makin besar. Ini berarti cinta

dapat melemah. Tetapi itu aneh.

Cinta tak melemah tak menguat.

Cinta utuh sebagai yang kuat.

Kesadaran dan ketaksadaran,

pada keduanya barangkali

bersandar menguat dan melemah itu.

Kita pada suatu ketika memang

akan kehilangan kesempatan

saling mengunjungi. Tatapan kita

akan sama-sama berhenti,

tapi cinta rasanya bukan

tentang pertemuan-pertemuan

jasad kita. Sebagaimana api

pada tubuh Ibrahim: api panas,

ketika panas hilang api tak padam.

Apikah panas itu atau sebab

ada api panas ada? Panas nyatanya

tak menyerah pada api.

Begitu sepertinya cintaku kepadamu

karena waktu pada cinta

tak pernah ditandai hidup

matinya jasad.


Aku mencintaimu, Ibu. Ini sama sekali

tak perlu ditanyakan lagi.

2019

DI DAPUR WAKTU LARUT

Hanya dapur dan keheningan.

Layang-layang lesap di plafon

dan sebuah klereng tergelincir

di jogan, dekat saluran pembuangan air.

Ada yang datang minta direngkuh

Ada yang pergi

sebelum apa-apa disiapkan,

—semacam kata perpisahan.

Apakah yang kini belum berubah

belum hilang, belum

menjadi lebih rusak dari sedia?

Tak ada lagi yang dapat kusentuh

dengan degup dan debar

semenggembirakan dahulu.

Jalanan dan rumah-rumah

yang mengungkungku,

ini hidup sebetulnya bergerak atau

sekadar ilusi perpindahan?

Tak ada kelebat sesiapa

di dapur waktu larut begini.

Hanya hatiku makin jauh

ke kedalaman langit, melampaui

planet, kegelapan, dan jejak-jejak

tersesat yang merintih:

Tuhan, kirim kami pada rahim Hawa.

Kami tak kuasa lagi

mencari jalan yang tak celaka.

Aku tak pernah dapat memastikan

di mana suaraku.

KEGEMBIRAAN KECIL-KECILAN

Detik, jam, hari, minggu, bulan, dan tahun-tahun

hanya ilusi yang disepakati

agar saya dan Anda dapat sedikit bergembira

karena merasa hidup untuk waktu lama.

Kita telah menghitungnya puluhan tahun.

Membuat pesta setiap tanggal kelahiran.

Seolah kita suka pada kelebat bayang tangan maut

mendekat dan menyambutnya

dengan lagu dangdut dengan sedikit sentuhan blues.

Anda pasti mengerti, sebuah lilin dinyalakan

untuk ditiup. Kita bertepuk tangan untuk itu.

Sebuah prilaku aneh yang kita nikmati.

Atau tabiat manusia memang begitu?

Karenanya, saya, Anda, dan semua orang

suka sekali mengadakan perayaan.

Api yang lekas dipadam setelah doa seremonial itu.

Kue yang dibagikan kepada orang-orang tercinta.

Semua adalah yang sengaja dibuat sebagai alasan

tak masuk akal untuk sejenak berpaling

dari kenyataan bahwa di jagat manusia ini

tak ada yang sungguh sempurna dan kekal.

Tetapi itu menjadi masuk akal ketika kita

sepakat bahwa kita mesti selalu menciptakan

kegembiraan kecil-kecilan

karena kita hanya makhluk kecil di bumi.

Mempercayai ketidakkekalan memang menyakitkan.

Jutaan lagu dan puisi asmara sering sekali

menggunakan kata “kekal” untuk menghibur diri

karena mereka pun tak sungguh meyakininya.

Orang-orang yang jatuh cinta takkan mampu

menerima hari perpisahan penolakan, atau, oh

tangan terulur yang sama sekali tak disambut itu.

Tetapi kesukaan, kehendak, dan harapan

semacam boneka kucing yang kita peluk

menjelang tidur kita yang tidak ada apa-apa.

Saya juga Anda telah lama membersamainya dengan baik.

Suka atau tidak suka, banyak

orang yang melakukan apa yang kita lakukan.

Orang-orang yang telah begitu lama hilang.

Orang-orang tinggal nama pada sebuah kubur.

Beberapa nama memang masih dikisahkan

dengan bunga-bunga yang, kadang aneh.

Selebihnya, dilupakan sebagai yang pernah ada.

Saya, Anda, dan semua manusia

di antara manusia sama sekali tidak istimewa

sekalipun manusia diciptakan

sebagai makhluk istimewa

—itupun karena kita meyakininya.

Jadi, Anda dan saya, tidak perlu ikut-ikutan

punya cita-cita dicatat di buku sejarah.

Kita pada waktu hidup yang tidak seberapa ini

harus memisahkan diri dari golongan

orang-orang menderita

meski kita sama-sama menciptakan

kebahagiaan kecil-kecilan sebagi makhluk kecil

yang akan segera dilupakan.

2017

KISAH SUATU MALAM KETIKA KANAK-KANAK

I

Sebelum larut, Ibu melepas ikat kelambu.

Abah membaca ayat-ayat Tuhan.

Sorban hijau yang Abah beli di Mekkah

tak pernah dikenakan. Sekadar  jadi alas kitab suci.

Abah yang gemar bersongkok hitam

sering tak mendengar protes Nenek.

Kata Nenek, Abah sudah haji

mestinya memakai kopyah putih dan sorban.

Aku seorang anak kecil, hanya mendengarkan

bila Nenek dan Abah bersilang pendapat

di dapur Nenek yang bergaya Belanda

—yang terlihat tua tapi megah itu.

Aku lebih suka pendapat Abah.

Katanya, seorang haji punya tanda pada hati.

Tetapi aku mengerti maksud Nenek,

seorang ibu selalu ingin melihat anaknya

tampak gagah dan bermartabat.

II

Aku berbaring lemas. Tangan kananku

kuletakkan di paha Abah, tangan kiriku

meraba dingin pada dinding.

Entah aku sangat menyukai suhu

dinding, seperti aku suka meneguk air

dari mulut kendi waktu tengah malam,

ketika Abah dan Ibu terlihat pulas

dalam mimpi masing-masing.

Aku menatap langit-langit kamar.

Rumahku tak punya plafon.

Pada lengkungan-lengkungan genting

ada dua ekor laba-laba yang begitu telaten

menyusun dunianya sendiri.

Sebuah dunia, yang barangkali, semacam kota-

kota besar manusia.

Aku tak tahu, jam berapa laba-laba tidur.

Aku hanya tahu, rumah laba-laba ada di rumahku.

III

Duniaku yang kini sekadar sekotak ruang

bernama kamar, di antara ayat-ayat

terasa berbeda: teduh dan tenteram.

Seperti gemericik air di sungai seberang kampungku;

seperti angin pada gemericik air itu.

Itulah mengapa  aku tak suka dongeng

perang. Menakutkan sekali.

Ribuan manusia, bahkan ratusan juta,

mati di ujung pedang,  diporak-porandakan bom.

Aku juga membenci Dragon Ball.

Di sana terlalu banyak monster.

Monster-monster seperti tak ada habisnya.

Aku sampai lupa, nama-nama monster

yang sering diceritakan teman-temanku

setiap hari Senin di belakang sekolah.

Sialnya, aku suka Conan—serial anak-anak

yang setiap episodenya berisi adegan

pencarian seorang pembunuh.

Aku memang tak mengerti arti setiap ayat

yang diperdengarkan Abah

tapi aku sungguh-sungguh merasakan

gelombang suara Abah merambatai

kelenjar-kelenjar tubuhku.

IV

Di bawah lampu lima watt, aku seperti melihat

wajah teman-temanku:

Jejen, Jaelani, Mukmin, Mumtaji, dan Juhron.

Mereka mencurangiku ketika main kelereng

pagi hingga petang tadi.

Kecurangan mereka membuatku kalah banyak.

Aku kehilangan sekotak kelereng

yang kukumpulkan berminggu-minggu.

Padahal jika pun mereka tak curang,

aku takkan menang. Tetapi barangkali

mereka sebenarnya tak curang, hanya saja

orang-orang kalah sepertiku

sering merasa dicurangi.

Jejen, Jaelani, Mukmin, Mumtaji, dan Juhron

mungkin sudah menarik sarung

meringkuk di risbang masing-masing

atau mereka masih bermain di gang tengah,

karena pada malam empat belas purnama

orang-orang di kampungku tidur ba’da shubuh.

Sebagian mereka pergi ke Banten Lama.

Ada yang berziarah di kubur sultan-sultan

dan ada yang, aneh-aneh di reruntuhan

benteng, yang kata Abah, benteng itu

habis dibakar Belanda pada Senin subuh.

Besok masih libur.  Aku, Jejen, Jaelani,

Mukmin, Mumtaji, dan Juhron

pasti main kelereng lagi.

V

Malam liat makin jauh, mataku makin berat.

Lampu kamar dimatikan. Kitab suci telah diletakkan

di lembedang.  Abah berbaring

membaca shalawat kepada Kanjeng Nabi.

Aku yang sudah cukup hafal, mengikutinya.

Suara Abah terasa semakin dalam, suaraku

habis ditelan nyanyian sekumpulan jangkik

di luar. Aku tertidur di sisi Abah,

begitu saja.                                            

Cilegon, 2017

Biografi penyair:

Muhammad Rois Rinaldi, lahir di Banten 8 Mei 1988. Koordinator Nasional Gabungan Komunitas Sastra ASEAN (Gaksa) dan Presiden Lentera Sastra Indonesia (LSI). Bersastra sejak 1998. Tulisannya berupa puisi dan esai dimuat di berbagai media massa, baik lokal, Nasional, maupun media massa di beberapa negara ASEAN. Karya-karyanya juga telah diterbitkan dalam bentuk buku, di antaranya Puisi Sepasang Angsa (Abatatsa, 2012); Terlepas (Pustaka Senja, 2015); esai Sastracyber: Makna dan Tanda (Esastera Enterprise, 2016); esai Koperasi dari Barat (Gaksa Enterprise, 2017), Pemanggungan Puisi; Panduan Praktis Baca Puisi (Gaksa Enterprise, 2018), dan Membaca Puisi-puisi Penyair Perempuan Asia Tenggara (Gaksa Enterprise, 2018). Rois menerima penghargaan Anugerah Utama Puisi Dunia (Numera, 2014) dan Anugerah Utama Penyair ASEAN (E-Sastera, 2015 dan 2016). Bukunya yang bertajuk Sastracyber: Makna dan Tanda menjadi buku terbaik terbitan Esastera Enterprise di Malaysia (2006-2016). Surel: rois.rinaldi.muhammad@gmail.com.

Tags: LP Ma'arif NU jatengMuhammad Rois RinaldiSajak-sajak Muhammad Rois Rinaldi
ShareSendTweet
Previous Post

LP Ma`arif Sukoharjo Awali Pengembangan Madrasah Melalui Pendataan

Next Post

LP Ma`arif NU Wonogiri Lakukan Pendataan Madrasah dan Sekolah NU

Related Posts

Rusman Merindukan Kiriman
Cerpen

Rusman Merindukan Kiriman

14/05/2022
11
Kiat Cerdas Memahami Substansi Ibadah
Pustaka

Kiat Cerdas Memahami Substansi Ibadah

15/05/2022
5
Etika Proses Menuntut Ilmu Seorang Pembelajar
Pustaka

Etika Proses Menuntut Ilmu Seorang Pembelajar

06/05/2022
11
Next Post
LP Ma`arif NU Wonogiri Lakukan Pendataan Madrasah dan Sekolah NU

LP Ma`arif NU Wonogiri Lakukan Pendataan Madrasah dan Sekolah NU

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

IKUTI KAMI

  • 2.1k Fans
  • 1.5k Followers
  • 1.7k Subscribers
  • Trending
  • Comments
  • Latest
Hasil Survei: Hanya 11 Persen Masyarakat Jateng Setuju PJJ Dipermanenkan

Hasil Survei: Hanya 11 Persen Masyarakat Jateng Setuju PJJ Dipermanenkan

26/07/2020
Pendapat Bapak Kedokteran Dunia yang Belum Dipahami

Pendapat Bapak Kedokteran Dunia yang Belum Dipahami

28/10/2019
Panduan Memahami Akidah Aswaja dan Tauhid Wahabi

Panduan Memahami Akidah Aswaja dan Tauhid Wahabi

20/03/2020
Urgensi Statistika dalam Pendidikan

Urgensi Statistika dalam Pendidikan

24/07/2020
Urgensi Berpuasa dari Media Sosial

Membebaskan Pikiran dari Terorisme Digital

40
Muslim Wajib Peduli Alam dan Lingkungan

Muslim Wajib Peduli Alam dan Lingkungan

33
Penyakit Kronis Penulis Pemula

Membangkitkan Media Sosial PTKIS

31
Kebijakan Berbasis Maqasid Syariah Era Pandemi

Kebijakan Berbasis Maqasid Syariah Era Pandemi

29
Jangan Jadi Racun di Kehidupan Orang Lain

Jangan Jadi Racun di Kehidupan Orang Lain

19/05/2022
BK Preventif dalam Meningkatkan Nilai An-Nahdliyah

Sekolah: dari Pandemi hingga K-Pop

17/05/2022
Puisi-Puisi Saiful Bahri

Aswaja dan Budaya Jawa dalam Pendidikan Islam

17/05/2022
Rusman Merindukan Kiriman

Rusman Merindukan Kiriman

14/05/2022

Tulisan Terbaru

Jangan Jadi Racun di Kehidupan Orang Lain

Jangan Jadi Racun di Kehidupan Orang Lain

19/05/2022
5
BK Preventif dalam Meningkatkan Nilai An-Nahdliyah

Sekolah: dari Pandemi hingga K-Pop

17/05/2022
7
Puisi-Puisi Saiful Bahri

Aswaja dan Budaya Jawa dalam Pendidikan Islam

17/05/2022
7
Rusman Merindukan Kiriman

Rusman Merindukan Kiriman

14/05/2022
11
LP Maarif NU Jateng

Maarifnujateng.or.id merupakan media siber resmi milik Lembaga Pendidikan Ma’arif NU Jawa Tengah. Platform ini merupakan media penerbitan multisegmen yang memfasilitasi dan memotivasi pendidik, peserta didik LP Ma’arif NU serta masyarakat umum untuk memahami, menjiwai dan mencintai Ahlussunnah Waljamaah Annahdliyah serta mengembangkan kemampuan literasi.

Instagram

  • #harlahansor #harlahansor88
  • #harlahfatayatnu #harlahfatayatnu72
  • #maarifnujateng #maarifnu #maarif #lpmaarif #lpmaarifnu #lpmaarifnujateng
  • Marhaban ya Ramadhan..
  • Selamat 70th Harlah PERGUNU, Guru Mulia Membangun Peradaban Bangsa.

#pergunu #pergunujateng #pergunupusat #harlahpergunu #harlahpergunu70
  • Selamat 70th Harlah PERGUNU, Guru Mulia Membangun Peradaban Bangsa.

#pergunu #pergunujateng #harlahpergunu70 #harlahpergunu
  • #pwnujateng #pwnu #pwnujawatengah #nujateng #lpmaarif #lpmaarifnu #lpmaarifnujateng #maarifnujateng #maarifnu
  • #pwnujateng #pwnujawatengah #pwnu #nujateng #lpmaarif #lpmaarifnu #lpmaarifnujateng #maarifnujateng #maarifnu
  • Mugi husnul khatimah, yai...

Alamat Redaksi

Jalan dr. Cipto No. 180 Karangtempel, Kota Semarang, Jawa Tengah 50124

Email:
asnapustaka@gmail.com
HP: 0821-3761-3404

Ikuti Kami

  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Cara Kirim Tulisan

© 2020 Maarifnujateng.or.id - Hak cipta terpelihara Lembaga Pendidikan Ma'arif NU Jawa Tengah.

No Result
View All Result
  • Berita
  • Artikel
    • Opini
    • Esai
  • Sastra
    • Cerpen
    • Puisi
    • Pustaka
  • Keislaman
    • Hikmah
    • Fikih
    • Tokoh
  • Program
    • LSP P2
    • Ma’arif Career
  • Lomba
    • Lomba Sekolah dan Madrasah Unggulan
  • Unduh
  • Kirim Tulisan!

© 2020 Maarifnujateng.or.id - Hak cipta terpelihara Lembaga Pendidikan Ma'arif NU Jawa Tengah.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

Go to mobile version