Pelepah Pisang
Sambil menunggang kuda,
mengokang bedil dan sebilah
pedang dari pelepah pisang,
mereka saling kejar saling serang.
Sebagian membayangkan
diri jadi Laskar Diponegoro,
sisanya pura-pura
jadi hulubalang Tentara Londo.
Tak ada pelana juga sanggurdi.
Kuda-kuda itu hanya
meringkik dalam khayali.
Tak ada butir pelor dan pelatuk,
juga bercak darah dan kilat siang
terpantung di mata pedang, sebab
bedil itu hanya bedil mainan,
pedang itu pun pedang-pedangan.
- Iklan -
Tawa merekalah, satu-satunya
yang benar-benar sungguhan.
2021
Jamuran
Listrik padam, dan langit malam ini
adalah toples berisi kunang-kunang
yang lupa tak ditutup. Rembulan bagai
jendela yang menguap dan tak terkatup.
Anak-anak berhambur keluar
mencari halaman yang cukup lebar
untuk menampung tawa mereka.
Setelah diawiti beberapa kali hompimpa,
terpilih satu anak yang jadi pusat tata surya.
Sedang sekelompok kawannya bergandeng tangan
melingkar, persis lintasan orbit bagi planet-planet
yang siang-malang berjentera mengitarinya.
Dalam diam, aku berdoa, semoga malam ini
listrik padam sedikit lebih lama
—sedikit saja—agar aku bisa memandang bulan
menjamur menunggu anak-anak itu lelah tertawa.
2021
Gasing
Seorang bocah melilit benang nilon
serat akar pohon ke badan gasing.
Melemparnya sepenuh tenaga; dentuman besar
awal mula terbentuknya dunia.
Bertumpu pada paksi, gasing berputar cepat
seperti rotasi bumi, siang-malam
timbul-tenggelam di mata bocah itu.
Ketika gasing mulai berputar lambat,
kubayangkan dunia segera kiamat, bersama
marah seorang Emak yang terbit di ufuk barat,
dan menjewer telinga si bocah yang sudah
dolan seharian tak lekas pulang ke rumah.
2021
Menafsir Anasir Gunungan
Sebatang pohon tampak menjulang tegak
menyentuh langit paling tekak.
Dahan dan reranting, daun-daun tumbuh lebat
seperti tunas-tunas waktu dengan akar tunggang
yang menjalar kokoh, semacam anasir
yang mengundang tafsir bahwa iman tak boleh roboh.
Sebab, batin kadang penuh nafsu dan ingin
dan syahwat selicin jalanan berlumut
— bagi kita: pejalan yang rawan
tergelincir khilaf dan luput.
“Maka berpeganganlah pada pohon iman
yang teguh agar tubuh tak sampai terjatuh!”
Dua ekor naga dengan mulut tampak menganga
seperti ingin melumat seluruh isi gapura,
“Oh, itukah keserakahan kita?”
Sejenak pandanganku berpaling pada sepasang raksasa
dengan rambut berombak bak api yang nyala
atau maut yang berkemelut di tiap gulung samudera itu.
Mereka berdiri di kanan-kiri gerbang
dengan gada besar tersampur di masing-masing pundak.
Membayangkannya, udara seperti sesak
lantaran rasa takut seakan menggeragau geletar lututku.
“Apakah mereka dititahkan untuk membuat
tulang dan seluruh persendian hancur,
manakala kita hamba yang abai kepada syukur?
Ataukah jangan-jangan, gada mereka akan menumbuk
kepala kita sampai hancur-remuk, bila nafsu
telah mengubah kita menjelma makhluk yang terkutuk?”
Kulihat seekor macan dan banteng
saling beradu kumba, ular membelikat
pokok pohon hayat, kera-kera bertenggeran,
burung merak hinggap di dahan-dahan.
Pikiranku berkelena ke jantung belantara yang jauh
menelusuri makna-makna yang sembunyi
di balik rerimbun samun tak tersentuh,
“Mereka itukah hewan yang semayam di dalam tubuh?”
Kadang, kita buas layaknya seekor macan,
licik bagaikan seekor ular, serakah dan gemar menjarah
persis seekor kera, dan mengamuk membabibuta
mirip banteng tersangkur moncong senjata.
Tak bisakah menjadi buruk merak saja?
— tenang lagi indah di pandang mata?
“Saksikanlah Kayon yang tertancap di pokok pisang itu!
Sungguh di dalamnya termazkur kedalaman makna
bagi manusia yang mau berpikir dan menafsirkannya.”
2021
Berkat*
Senarai doa dan hajat
yang telah tunai dilangitkan,
dibungkus dedaun pisang
sebelum kemudian digotong pulang.
Sedang di rumah,
aku tengah menunggu bapak
sambil coba menebak-nebak:
dada ataukah paha,
sayap ataukah kepala,
yang nanti kudapat
di balik tetimbun nasi berkat.
Maka, tatkala bapak tiba,
lekas kuraih buah yang bergelayut
di genggaman tangannya.
Begitu kukupas lelapis daun pisang
dan kubongkar sebongkah nasi,
menyembul segepok pukang,
melelehkan liur di balik gigi.
Mulutku tiba di pagut-puluk pertama,
doa-doa khusyuk seolah merasuk
dalam serat-serat daging empuk.
Begitu lezat di pangkal lidah,
begitu nikmat di tiap jengkal kunyah.
Namun, perutku rasanya
sudah tak muat lagi.
Nasi yang telah tanak
dengan puisi, begitu pandai
riuhkan perutku yang sunyi.
2020
*) akronim dari “mak brek, diangkat”, istilah untuk menyebut nasi yang dibungkus daun pisang dan dibawa pulang selepas kenduri atau selamatan.
*Yohan Fikri M, lahir di Ponorogo, November 1998. Alumnus Ponpes HM Al-Mahrusiyah Lirboyo, Kediri ini, kini menjadi mahasiswa di Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah, Universitas Negeri Malang dan santri di Ponpes Mifathul Huda Gading, Malang. Bergiat di Komunitas Sastra Langit Malam. Puisinya dimuat di berbagai media dan antologi bersama, antara lain: Antologi Puisi Banjarbaru Rainy Day Literary Festival 2020 (2020) Perjamuan Perempuan Tanah Garam (2020), dan Yang Tersisa dari Surabaya (2020). Menjuarai berbagai kompetisi menulis puisi: Juara 1 Lomba Cipta Puisi Nasional 2020 Jagat Kreasi Mahasiswa, Universitas Negeri Malang, Juara 2 Lomba Cipta Puisi Asia Tenggara, Pekan Bahasa dan Sastra 2020, Universitas Sebelas Maret, dan Juara 1 Lomba Menulis Puisi Majalah Komunikasi Universitas Negeri Malang. Bukunya yang bakal terbit bertajuk “Tanbihat Sebuah Perjalanan.” Dapat dihubungi melalui akun instagramnya @yohan_fvckry.