Oleh Akhmad Idris
Di zaman yang baik dan buruk hanyalah dinilai dari jumlah like dan followers ini, mencari seorang kawan yang benar-benar setia bukanlah perkara mudah. Kawan terkadang bisa menjadi lawan gegara urusan jabatan dan lawan bisa menjadi kawan gegara urusan kepentingan.
Namun di tengah zaman yang ‘serba gelap’ ini, selalu ada secercah cahaya walau tak lama. Di dalam kitab al-Mawaidz al-Ushfuriyyah karya Syekh Muhammad bin Abu Bakr al-Ushfury, diceritakan kisah tentang orang miskin yang berhati kaya dengan rasa setia kawan yang tinggi. Berikut kisah lengkapnya…
Di zaman dahulu, hidup seorang lelaki beriman yang tinggal dalam sebuah gubuk kecil dengan istri dan anak-anaknya. Mereka memang keluarga miskin, tetapi hati mereka dipenuhi dengan kekayaan rasa kasih dan sayang.
- Iklan -
Suatu waktu, keluarga kecil ini sedang menghadapi kesulitan ekonomi karena sisa simpanan uang hanya tinggal satu dirham. Sang lelaki memutuskan pergi ke pasar dengan uang satu dirham tersebut untuk membeli sedikit makanan. Selang beberapa saat, ia mendengar suara gaduh pertengkaran dua orang laki-laki yang sedang bertikai dalam urusan utang-piutang.
Lelaki beriman tersebut bertanya pada dua orang tersebut perihal duduk perkaranya. Kemudian ditemui bahwa permasalahannya adalah satu di antara dua orang yang bertikai tersebut tidak bisa melunasi utang sebesar satu dirham pada satu orang lainnya.
Lelaki beriman tersebut tidak tega melihat si pengutang karena dipermalukan oleh si penagih di depan umum hanya gegara uang satu dirham. Akhirnya, uang satu dirham (uang terakhir) yang dimiliki lelaki beriman tersebut digunakan untuk membayar utang si lelaki pengutang yang diiringi ucapan terima kasih dan doa keselamatan dari si lelaki pengutang.
Hati si lelaki beriman dipenuhi kegembiraan karena telah membantu orang yang sedang kesusahan. Di tengah jalan, lelaki beriman ini berpikir tentang bagaimana cara menghadapi istrinya jika sang istri memprotes tindakannya. Akhirnya si lelaki beriman bergumam di dalam hati, “Baiklah. Biarlah istriku marah kepadaku, sebab itu adalah haknya karena aku pulang dengan tidak membawa makanan sedikitpun.”
Sesampainya di rumah, ternyata sang istri tidak memprotes atas tindakan suaminya. Sang istri justru memuji sang suami karena telah menjaga harga diri si lelaki pengutang, maka insyaallah Sang Pemilik Semesta akan membalas perbuatan tersebut.
Selanjutnya, sang istri mengambil sebuah tali dan menyuruh suaminya untuk menjualnya di pasar. Sang istri berharap semoga tali tersebut laku dijual, sehingga uangnya dapat digunakan untuk membeli makanan.
Si lelaki beriman kembali pergi menuju pasar. Sayangnya seluruh penghuni pasar tidak ada yang mau membeli tali tersebut. Dengan langkah gontai dan putus asa, si lelaki beriman memutuskan kembali pulang ktersebut
Di tengah perjalanan, si lelaki beriman bertemu dengan seorang pelayan yang juga gagal menjual ikan tangkapannya di pasar. Mereka berdua mengobrol dengan akrab seperti dua kawan lama yang telah lama tak bersua. Si nelayan kemudian memberikan sebuah usulan kepada si lelaki beriman, “Di pasar tidak ada satu pun orang yang ingin membeli ikanku dan juga talimu. Bagaimana jika kita berdua saling tukar-menukar barang? Aku di rumah juga tidak mempunyai tempat untuk menyimpan ikan. Lebih baik engkau mengambil ikan ini dan sebagai gantinya aku akan mengambil talimu yang mungkin akan berguna untukku sebagai seorang nelayan.” Si lelaki beriman menyetujui usul tersebut dengan senang hati.
Si lelaki beriman membawa ikan tersebut pulang yang disambut dengan tawa gembira istri dan anak-anaknya. Ketika hendak memasaknya dan mulai membelah perut ikan, kejadian menakjubkan mengagetkan sang istri. Ternyata di dalam perut ikan, terdapat beberapa butir mutiara. Mereka berdua segera membawa mutiara-mutiara tersebut ke toko emas untuk dijual. Hal yang sangat mengejutkan lagi adalah mutiara-mutiara tersebut dihargai dengan 1000 dirham.
Pasangan suami istri ini tak henti-henti berterimakasih kepada Dzat yang Maha Tinggi dan tak lupa pula saling berbagi kepada orang-orang miskin di sekitarnya. Satu hal yang tidak akan dilupakan begitu saja oleh si lelaki beriman, yakni si nelayan yang telah menangkap ikan tersebut.
Lelaki beriman segera pergi ke pasar dan mencari nelayan tersebut. Setelah mencari dengan susah payah, si lelaki beriman akhirnya menemukan si pelayan dan menceritakan kronologi kejadiannya mulai dari awal hingga akhir.
Si lelaki beriman ingin memberikan sebagian uang yang diperoleh kepada si nelayan yang justru ditolak oleh si nelayan karena uang itu merupakan akibat dari kebaikan hati si lelaki beriman. Jawaban si nelayan tidak dapat mengurungkan niat si lelaki beriman untuk saling berbagi, sebab si nelayan juga memiliki niat yang baik karena bersedia menukar ikannya dengan talinya. Akhirnya si nelayan menerima uang tersebut dan mengucapkan syukur atas nikmat yang telah diberikan oleh Allah.
Kisah ini mengajarkan tentang arti kesetiakawanan, bahwa ‘setia kawan’ adalah rela berbagi kesulitan meskipun sama-sama sulit (rela bertukar barang, yakni tali dan ikan) dan tetap ingin berbagi kebahagiaan meskipun hanya salah satu yang mendapatkan kenikmatan (rela berbagi uang 1000 dirham dari hasil penjualan mutiara).
Di era media sosial yang justru mulai ‘anti-sosial’ ini, masih adakah kawan yang tidak meninggalkan kawannya kala susah dan tetap mencari kawannya kala bahagia? Wallahu a’lam. (*)
*AKHMAD IDRIS, dosen bahasa Indonesia di Sekolah Tinggi Ilmu Bahasa dan Sastra Surabaya sekaligus penulis buku Wasiat Nabi Khidir untuk Rakyat Indonesia.