TERKANTUK-KANTUK DI SORE HARI
Segalanya menuju beranda senja
Dengan tongkatnya yang terantuk lantai
Seorang lelaki—konon penyair
Terkantuk-kantuk di sore hari
Sekarang semua hampir tenggelam
Matahari jingga tinggal sejengkal tangan
Waktu mendekati muara kesamaran
Tak tampak ladang ketika pagi mencangkul
Kita sudah membaca karangan puisi
Tentang harum bau tanah moyang
Juga akar belukar rumput dan belalang
Hidup adalah menghamparkan kebaikan
Bersama memungut daun-daun cemara
Merangkai sarang menjemput rembulan malam
Di puncak keabadian sunyi tanpa bunyi
Kita membuat sajak siul burung berjambul
- Iklan -
Jiwa yang tercenung memandang gunung
Akhirnya mendaki ketinggian batu-batu bahagia
Indramayu, 2019
ALIR MANIS BIBIR
Hujan melembabkan kenangan
Alir manis bibir disapu ciuman duka
Pintu kamar luka terbuka
Menganga rengkah daging mawar
Lalu sebuah bayang menyerbu
Menusuk mata yang masih menjatuhkan rintik
Aku melangkah ke tebing penyesalan
Membentur gusi bukit
Remuk redam gundukan hati
Membuka kembali lembar rancangan
Aku kehilangan kau lagi
Dengarkan aku
Bicara akan hujan yang turun karena cinta
Langit berangsur lembut kelabu
Kita dijatuhi guguran air mata
Indramayu, 2019
KEMOLEKAN SUARA KUCING
Pada sebuah lorong gelap
Barangkali masih dihuni hantu
Atau suara-suara menyeramkan
Kutemukan kemolekan suara kucing
Ia bersuara tiap pukul dua belas malam
Sebelum itu telah berlalu
Pemabuk dan penjudi lupa waktu
Memegang leher botol dan kartu
Melemparkannya ke semak
Diendusi anak-anak anjing
Aku telah melipat layar laptop
Menghentikan cerita sebelum tamat
Jalan mengajak ke kelok masa lalu
Berjinjit menekuk tegak punggung
Menyibak tirai kabut dingin
Pada sebuah tumpukan daun kerontang
Cahaya lampu jalan jatuh memendar
Suara itu makin bening dalam hening
Kebahagiaan kutemukan menggeliat
Sekeluarga kucing berpeluk di sana
Indramayu, 2019
DI LORONG RUMAH YANG BERDEKATAN
Tersembunyi di sebuah lorong
Di antara rumah-rumah yang berdekatan
Kelihatannya sangat akrab
Memeluk dinding diam berlumut
Hanya ada riuh para pemuda
Memetik dawai yang kadang putus
Menabuh gendang kulit kerbau
Menyanyikan kegetiran anak kota
Kau lupa dan selalu lupa
Di rumah seseorang tak bisa istirahat
Menutup kedua telinga dengan tangannya
Dan tentu dulunya juga begitu
Menghuni lorong rumah yang makin tua
Adalah urat nadinya malam
Memelodikan desah jiwa melalui suara
Mulut pucat dengan sedikit bau alkohol
Menatap seekor kunang-kunang
Timbul tenggelam seperti cahayanya
Benar, kita sudah tidak muda lagi
Barangkali sudah harus meninggalkan lorong ini
Indramayu, 2019
KAMAR KUNING MATAHARI
Dari jendela ini
Kulihat kamar kuning matahari
Menebar biji-biji
Cahayanya sepenuh warna
Memberi sepotong daging
Burung elang yang menyamar
Hatiku bersarang pada suatu tempat
—terpaut di ranting kering—
Memanggil musim di pepohonan
Bunga-bunga memutik
Menahan rindu pada angin
Aku tersenyum menunggu hormat
Dalam gairah lebah
Indramayu, 2019
*Faris Al Faisal, lahir dan berdikari d(ar)i Indramayu, Jawa Barat, Indonesia. Bergiat di Komite Sastra, Dewan Kesenian Indramayu (DKI) dan Lembaga Kebudayaan Indramayu (LKI). Namanya masuk buku “Apa dan Siapa Penyair Indonesia” Yayasan Hari Puisi. Puisinya mendapat Hadiah Penghargaan dalam Sayembara Menulis Puisi Islam ASEAN Sempena Mahrajan Persuratan dan Kesenian Islam Nusantara ke-9 Tahun 2020 di Membakut, Sabah, Malaysia, Juara 1 dan mendapat Piala bergilir ‘Lomba Cipta Puisi Anugerah RD. Dewi Sartika (2019), mendapatkan juga Anugerah “Puisi Umum Terbaik” Disparbud DKI 2019 dalam Perayaan 7 Tahun Hari Puisi Indonesia Yayasan Hari Puisi, dan pernah Juara 1 Lomba Cipta Puisi Kategori Umum Tingkat Asia Tenggara Pekan Bahasa dan Sastra 2018 Universitas Sebelas Maret. Tersiar pula puisi-puisinya di surat kabar Indonesia dan Malaysia. Buku puisi keduanya “Dari Lubuk Cimanuk ke Muara Kerinduan ke Laut Impian” penerbit Rumah Pustaka (2018).