Cerpen Sulistiyo Suparno
Setelah pensiun dari guru SD, Sastro Wiyono punya banyak waktu luang untuk membaca buku. Dua anaknya sudah bekerja, sehingga ia leluasa menggunakan uangnya untuk membeli buku. Seluruh bagian rumahnya penuh dengan buku. Istrinya pernah menghitung, ada hampir tujuh ribu buku di rumah yang tak seberapa luas itu. Sering kali, ketika usai membaca buku di teras, lelaki 70 tahun itu memendam cemas; pada siapa ia akan mewariskan semua buku koleksinya?
Kadang, Sastro Wiyono menyalahkan masa lalunya. Ia merasa gagal menyebarkan virus gemar membaca pada kedua anaknya, meski ia telah berusaha dengan berbagai cara. Tetapi, anak-anaknya lebih suka bermain dengan permainan elektronik, kemudian ponsel pintar dan laptop. Bagi mereka, buku adalah hantu, membaca buku adalah hal yang menakutkan.
Istrinya menyarankan agar ia menghibahkan buku-buku itu ke pihak lain.
- Iklan -
“Ke mana, pada siapa?” Sastro Wiyono bertanya.
“Ke sekolah-sekolah. Di sana ada perpustakaan.”
‘Tidak!” sergah Sastro Wiyono. “Buku-bukuku akan jadi santapan rayap di sana. Itu mimpi buruk. Aku tidak rela!”
Sastro Wiyono bicara berdasarkan pengalaman. Banyak sekolah punya perpustakaan, tetapi itu hanya formalitas. Sekadar memenuhi standar akreditasi. Selebihnya, perpustakaan berubah jadi gudang penuh debu, buku-buku berserakan, berantakan. Para guru, meski bekerja di lembaga pendidikan, tetapi minat baca mereka sangat rendah. Dunia pendidikan di negeri ini memang penuh ironi.
“Kalau begitu, untuk sementara, bikinlah taman bacaan. Halaman kita cukup untuk membangun ruang baca. Kamu bisa mengamankan buku-bukumu di sana, bukan di sembarang tempat di dalam rumah,” kata istrinya.
Maka bulan berikutnya telah berdiri bangunan sederhana ukuran 6 x 6 meter di halaman rumah Sastro Wiyono. Ia memindahkan sebagian buku koleksinya ke ruangan itu. Tak lupa ia memasang tulisan “Taman Bacaan Sastro Wiyono” di atas pintu. Ia juga mengumumkan pada tetangga, dalam rapat RT, dan dalam setiap kesempatan bahwa taman bacaannya terbuka untuk umum.
Ramai orang berkunjung ke sana. Anak-anak sekolah dengan diantar guru datang pula berkunjung, bergantian. Hari ini dari sekolah A, esoknya dari sekolah B. Taman bacaan itu pun viral di media sosial, dan banyak orang datang karena penasaran. Mereka asyik berswafoto, karena Sastro Wiyono mendesain ruangan itu sedemikian menarik. Instagramable, kata orang. Tetapi, dalam pengamatan Sastro Wiyono, mereka yang datang hanya sekadar datang, bukan untuk membaca buku.
Pada bulan ketiga setelah dibuka, taman bacaan itu seperti museum. Hanya angin yang datang. Tempat itu menghilang dari media sosial. Kata orang, sesuatu yang viral tak akan bertahan lama.
Suatu pagi, Sastro Wiyono telah berdandan rapi berkemeja batik. Ia duduk di teras seperti menunggu sesuatu.
“Mau ke mana, Pak?” tanya istrinya.
“Ke mana pun, sesukaku.”
Istrinya tahu, kalau Sastro Wiyono sudah berkata ‘sesukaku’ itu artinya jangan banyak tanya. Tak lama kemudian, datang tukang ojek online memasuki halaman. Sastro Wiyono pamit pada istrinya, tanpa mengatakan hendak ke mana, lalu pergi membonceng ojek online itu.
Sore, Sastro Wiyono pulang membawa tiga bungkus sale pisang, dua bungkus keripik pisang, dan satu bungkus rengginang. Ia bercerita dari mana mendapatkan oleh-oleh itu, dan dari mana saja ia pergi seharian. Ia mengatakan hanya bersilaturahmi ke tempat-tempat yang dikunjunginya.
Namun, saat makan malam, Sastro Wiyono mengatakan yang sebenarnya, mengapa ia berkunjung ke beberapa tempat hari itu. Maka, keesokan harinya, suami istri itu tampak sibuk dengan buku. Memasukkan buku-buku ke dalam beberapa kardus, sebagian ditumpuk dan diikat tali rafia, selebihnya dibiarkan berupa tumpukan.
“Yakinlah, Pak. Meski minat baca di negeri ini sangat rendah, akan selalu ada orang yang kita sebut kutu buku,” kata istrinya.
Salah satu kutu buku itu adalah Sastro Wiyono. Suatu siang sang kutu buku belum keluar dari taman bacaan. Istrinya masuk untuk mengingatkan bahwa sudah waktu untuk berangkat ke masjid, ini hari Jumat. Istrinya melihat sang suami duduk di kursi dengan buku di pangkuan, sementara kepalanya tertunduk. Itu hal biasa bagi Sastro Wiyono, asyik membaca buku sampai tertidur di kursi.
Istrinya beberapa kali menyentuh, mengguncangkan pelan bahu Sastro Wiyono, tetapi lelaki tua itu tak bereaksi. Istrinya memekik.
“Innalillahi….!”
***
Beberapa hari setelah Sastro Wiyono wafat, datanglah dua lelaki berjenggot dan bersarung. Di depan rumah ada mobil putih bertulisan nama sebuah pondok pesantren. Setelah menyampaikan salam, basa-basi sejenak, seorang dari tamu itu menunjukkan secarik surat.
“Ini pernyataan bahwa Bapak Sastro Wiyono menghibahkan lima ratus buku untuk pesantren kami,” kata sang tamu.
Istri Sastro Wiyono tersenyum dan mengangguk.
“Beberapa hari sebelum wafat, suami saya pernah cerita tentang hal ini. Kami telah siapkan semua buku untuk pesantren Bapak. Sudah kami kemas dalam kardus,” kata wanita itu.
Hari berikutnya datang pula tamu dari pesantren ini, pesantren itu, dan pesantren lainnya.
“Apa ada pesan dari Bapak Sastro Wiyono untuk kami?” tanya seorang tamu, ketika hendak pulang setelah mengambil lima kardus buku.
Istri Sastro Wiyono mengangguk.
“Sama seperti tamu dari pesantren lain, Bapak berpesan: ‘baca, baca, dan bacalah’. Itu pesan Bapak,” kata sang istri.
Tamu itu tertegun, berpikir sejenak. Sebelum pergi ia menjawab, “Terima kasih. Itu pesan sederhana, tapi mungkin berat bagi sebagian orang. Semoga kami mampu melaksanakannya.”
Batang, 17 September 202
*Sulistiyo Suparno, penulis cerpen kelahiran Batang, 9 Mei 1974. Gemar menulis cerpen sejak SMA. Cerpen-cerpennya tersiar di berbagai media cetak dan online. Sehari-hari bersama istri jualan soto ayam. Bermukim di Limpung, Batang, Jawa Tengah.