Cerpen Gusti Trisno
Batu-batu itu masuk tanpa permisi. Batu-batu itu dilempar tanpa hati. Batu-batu itu menghujam semua yang ada diri. Batu itu memaksa kami untuk berserah diri. Kalah. Kemudian pergi.
Itulah sepenggal kisah yang diceritakan ibu saat kelahiranku. Kelahiran yang seharusnya disambut dengan kebahagiaan itu malah berbuah menjadi petaka. Adalah kakek kandungku yang menjadi otak di balik ini semua. Ia menyuruh anak buahnya untuk menghujani batu rumah kecil kamar. Agar proses kelahiranku tak sesuai rencana. Agar aku mati sebelum bisa menghirup dunia.
Untungnya Ayah yang memiliki otak pintar itu membuat semacam ruangan bawah tanah. Dan, ia juga mengajak bidan ke ruangan tersebut membantu persalinanku. Hingga akhirnya, aku bisa terlahir sempurna dan menghirup aroma dunia. Dengan ruangan bawah tanah itu, kami pun bisa keluar dari rumah jahanam itu, meninggalkan banyak sekali kenangan yang tercecer demi sebuah harapan di tempat lain.
- Iklan -
Tempat yang menjadi harapan kami di tanah lain itu rupanya tak berbuah keberhasilan. Orang suruhan Kakek menemukan kami. Ayah pun berserah diri. Kali ini berserah demi keselamatan anak-istri.
Kepergiaan Ayah membuatku menjadi yatim seketika. Ibu harus pontang-panting menjadi tulang punggung keluarga. Hanya saja, di usia setahun, ia pergi selama-lamanya ke dunia yang damai. Kemudian, ibu bidan yang membantu kelahiranku menjadi tempat bernaung selanjutnya. Ia menyusuiku sama dengan anak gadisnya yang seusia beberapa bulan lebih muda dariku. Kasih sayang ibu bidan itu tak bertepi. Makanya, aku menyebutnya dengan sebutan ibu.
Dan, ibu bidan itu menceritakan semuanya hari ini. Setelah sebelumnya mengganti namaku demi alasan keselamatan.
Aku yang awalnya kecewa mendengar ini semua, akhirnya bisa menerima. Sangat bisa menerima. Makanya, usai pembicaraan tersebut, aku segera menanyai nama kakekku.
“Wijaya!” sebut Ibu dengan tatapan nyalang. Seolah-olah aku melihat bara api yang terjilat.
Aku pun tersenyum mendengar nama itu. Nama itu tak asing bagiku. Terlebih kini nama itu menjadi kepala wilayah di tempatku tinggal. Jadi, mudah saja, aku menemukan sosok itu.
“Izinkan aku bertemu dengannya ya, Bu.”
Ibu menggeleng lemah. Wajahnya mendadak pucat. Ada banyak ketakutan yang bergelombang di hatinya.
“Aku janji tidak akan terjadi apa-apa,” terangku tetap membuat ibu tak berani berbicara.
Kediaman yang hadir di antara kami membuatku serba salah. Aku tak ingin melawan ibu yang sedemikian baik itu. Tapi, kerinduanku pada kakek begitu membuncah. Aku juga ingin mencari jejak ayah yang hilang. Barangkali dengan bertemu kakek, aku bisa menemui titik terang.
“Aku tidak ingin mendendam, Bu.”
Keterangan dariku membuat ibu tersenyum. Aku senang melihat itu. Rasanya seperti ada harapan persetujuannya untuk melangkah.
“Sebagai seorang sarjana, aku akan mencoba melamar pekerjaan di kantor wilayah, dengan begitu aku bisa dekat dengan kakek.”
“Tapi, jangan sampai identitasmu ketahuan!”
Aku mengangguk mengerti. Toh, selama ini orang-orang mengetahuiku sebagai anak pertama Bu Bidan yang baik hati ini. Terlebih nama lahirku sudah diganti sejak dulu. Sehingga rasanya sulit orang menemukan identitas asliku. Hanya saja, sebagai seorang kakek pastilah ia akan merasakan ikatan batin. Sekalipun aku tidak bisa memastikan, apakah ikatan batin itu ada atau bagaimana.
“Besok kamu bisa melamar, ibu pastikan kamu diterima!”
Mendengar itu, aku hanya tersenyum. Lalu menghujani ibu dengan ciuman di pipinya. Tentu yang dimaksud dipastikan diterima itu bukan upaya untuk menyogok bagian penerimaan pegawai di kantor kewilayahan, tapi sebagai ungkapan doa.
***
Pagi sekali aku berada di barisan pelamar kepagawaian bidang keuangan. Para pelamar ini memakai baju kemeja putih berkerah dengan bawahan hitam. Di tengah para pelamar ini, kuperhatikan hanya akulah lulusan kampus paling bergengsi di negeri ini. Hal ini bisa dilihat dari pakaian dan cara mereka berbusana.
Melihat itu, aku segera beristigfar. Seharusnya tidak baik, aku merasa diri yang paling wah. Sementara, belum tentu juga aku keterima. Bisa saja orang-orang dari kampus biasa saja kan? Toh, nantinya yang dites bukan sekadar dari ijazah mana, tapi juga pengetahuan dan keterampilan nyata untuk mengabdi pada wilayah.
Kesalahan yang kusadari itu juga tak berhenti untuk membaca istighfar saja. Aku juga segera mengalihkan perhatian dengan mengingat kisah Nabi Muhammad SAW. Nabi terakhir itu dilahirkan dengan peristiwa tentara bergajah yang mengepung Mekkah. Kota suci itu dijarah oleh pasukan Abrahah. Melihat itu, penduduk Mekkah mengungsi ke bukit-bukit menyelamatkan diri.
Anehnya, Abdul Muthalib mempunyai nyali menemui Abrahah dan pasukannya. Ia sama sekali tak bermaksud melawan, tetapi meminta 200 unta miliknya yang dijarah. Melihat itu, Abrahah menjadi murka.
“Apakah harta yang sepele ini yang engkau bicarakan, sedangkan Ka’bah agamamu dan agama nenek moyangmu engkau tidak mempedulikannya?” hardik Abrahah.
“Aku pemilik unta-unta itu, sedangkan Ka’bah ada pemilik yang akan menjaganya,” balas Abdul Muthalib membuat Abrahah tertawa.
Abrahah malah dengan kesombongannya menantang Allah untuk menghentikan niat buruknya. Kemudian Allah mengutus burung-burung Ababil. Para pasukan Abrahah itu dihinakan dengan batu-batu kerikil yang kecil sekaligus menghancurkan kepongahan pasukan gajah yang dianggap wah oleh penduduk Makkah.
Mengingat kisah itu, aku menjadi tahu jika kesombongan bisa menjadi awal dari kehancuran. Dan, seharusnya aku belajar dari kisah ini, bukan malah menyombangkan diri karena merasa akan terpilih.
“Riza!”
Akhirnya, namaku dipanggil juga. Aku pun segera masuk dengan mantap membaca basmalah dalam hati. Pewawancara di kantor wilayah ini pun menghujaniku dengan banyak pertanyaan. Aku selalu menjawab dengan percaya diri, apa adanya, dan berusaha memikat tanpa perlu dibuat-buat. Si pewawancara itu tersenyum melihat semua tanggapanku. Akibat itu, aku juga mengulur senyum dan membuat atmosfer di ruangan itu menjadi lebih sejuk.
***
Seminggu kemudian, aku kembali berada di kantor wilayah. Ya, aku menjadi peserta yang terpilih untuk mengurus keuangan daerah. Mendengar kabar baik itu, ibu segera mengucapkan selamat. Pun, aku sudah berjanji pada perempuan firdausku itu untuk menjaga amanah ini dengan baik.
Di kantor pun, aku bisa leluasa masuk ke ruangan kakek. Lelaki berusia hampir tujuh puluh itu masih energik mengerjakan berbagai tugasnya. Melihat itu, aku diam-diam menjadi kagum padanya. Kedekatan antara atasan dan bawahan benar-benar aku jaga. Aku tak mau jika ia tahu bahwa aku adalah cucunya.
Cucu yang diserang dengan deretan hujan batu di rumah. Cucu yang kemudian diburu hingga ke tanah lain. Cucu yang kemudian dipisahkan dengan ayahnya sendiri. Ayah yang berserah karena meyakini anaknya ada yang menjaga. Hingga akhirnya, serupa Ababil yang menyelamatkan Mekkah dengan datangnya ibu bidan yang menjagaku dengan setulus hati setelah kepergian ibu.
Kedekatanku pada kakek itu juga membawa misi sendiri. Yakni, mencari jejak ayah. Jejak ayah yang hilang. Hanya saja sampai seminggu lebih di kantor ini, orang-orang wilayah tutup mulut. Ketika mereka kupancing tentang sosok anak kakek, tak ada sedikit pun minat yang kutemukan.
***
Empat bulan kemudian, kakek menaikkan pangkatku menjadi staf khusus lantaran kinerjaku bagus. Akibat hal itu, teman-teman menjadi iri. Terlebih aku naik jabatan terlalu cepat. Tak hanya ada yang iri, beberapa teman yang lain malah salut. Apa pun itu, aku tak mau berpikir lebih jauh. Yang jelas, aku hanya ingin bekerja dengan sepenuh hati.
Naiknya jabatanku itu membuatku tertimpa godaan baru. Kakek mengajakku berkoalisi untuk mengambil sebagian uang wilayah. Aku segera menolak dengan beberapa alasan yang masuk akal. Tapi, kakek malah menjadi naik pitam. Melihat itu, aku hanya menanggapi dengan senyum.
Aku ingin bekerja secara jujur. Menampakkan yang benar-benar ada. Tanpa perlu dibuat-buat. Bahkan menurut ibu yang sering menceritakan kisah Nabi, ia pernah berkata bahwa ketika berdagang Nabi memberitahu buah yang layak dibeli dan tidak. Artinya, Sang Panutan Sepanjang Zaman itu berlaku jujur dan tak ingin merugikan orang lain. Begitu pun denganku yang tak ingin rakyat-rakyat di wilayah ini menjadi sengsara karena uang untuk mereka digunakan untuk hal yang tidak semestinya.
Hanya saja, penolakanku itu tidak berjalan lancar. Beberapa pejabat di sana segera berbisik-bisik mengenai hal itu. Dan, aku mencuri dengar itu semua di kamar mandi. Berikut beberapa isi percakapannya.
“Dia terlalu muda, tak tahu berhadapan dengan siapa!”
“Maklum mahasiswa baru lulus, pasti idealisnya kuat. Lama-lama ia tidak akan kuat setelah melihat banyak duit!”
“Jangankan dia yang bukan siapa-siapa, anak kandung Pak Wilayah saja disingkirkan karena tidak mau nurut!”
“Hussh, nggak usah dilanjut!”
Tiba-tiba percakapan yang entah berapa orang di tempat kencing berdiri itu terdiam. Aku yang berada di kamar mandi yang membuatku bisa kencing duduk itu segera berpikir, kata apa yang bisa menyambung cerita itu.
“Ya, padahal katanya saat itu menantunya hamil besar!” tanggapku mengubah suara.
“Benar sekali. Sayangnya ketika anaknya berhasil meninggalkan si menantu malah anaknya yang hilang entah ke mana!” komen orang di luar sana membuatku merasa berhasil memancing obrolan.
“Hanya karena beda status, Pak Wilayah membuat anak dan menantunya pisah!”
“Kasihan ya!”
Kemudian, obrolan itu mendadak hilang. Aku yang masih penasaran tentang anak hilang itu menjadi begitu bingung. Seharusnya informasi yang sepotong ini tak langsung hilang. Akan tetapi, aku tak berani memulai diskusi tersebut pada senior-senior. Padahal, jika aku tak segera mengungkap ini pasti waktuku menjadi lebih sedikit. Mengingat aku bisa sewaktu-waktu didepak begitu saja.
Hanya menunggu waktu. Entah kapan itu! Tapi, siapa yang bisa menduga waktu. Rupanya penolakanku itu ternyata mendapat banyak persetujuan orang-orang yang tak suka dengan kakek. Selama ini orang-orang itu begitu geram tidak bisa berbuat apa-apa. Orang-orang itu kemudian memviralkan isi pembicaraan permintaan kakek saat rapat agar uang rakyat dikorupsi. Akibat rekaman itu, para mahasiswa segera memasang badan berunjuk rasa di depan kantor wilayah.
Kakek yang tak siap dengan keadaan itu segera mundur. Ia bahkan perlu diberi penguatan berkali-kali untuk bicara di depan mahasiswa, lalu meminta izin untuk mundur. Dan, ketika kakek berhasil melawan rasa takutnya, beberapa mahasiswa yang geram dengan tingkah laku kakek menghujami lelaki itu dengan batu.
Keadaan itu membuatku teringat beberapa waktu lalu. Hanya saja, aku melihat kakek seperti rusa yang pasrah, bukan harimau yang siap menerkam. Makanya, aku yang berada di titik lumayan jauh segera berlari ke lelaki yang tak mendapat perlindungan dari orang-orang yang menjaganya selama ini.
Sekuat apa pun aku berlari, aku tak bisa menyelamatkan kakek. Hujan batu itu berhasil menembus kedua indera penglihatannya. Aku pun membawa tubuh yang lemah itu dengan menjadikan tubuhku sebagai bidikan. Untungnya bidikan itu tak berselang lama. Para mahasiswa yang tahu jika tubuhku kena segera menghentikan sasaran.
Aku kemudian tersenyum menatap mereka. Lalu, membungkukkan badan. Mereka bersorak-sorak. Sementara, aku menangis dalam hati. Bukan ini yang kuinginkan.
Untungnya setelah kubawa ke rumah sakit, kakek segera tertangani. Ia hanya harus pasrah kehilangan kedua penglihatannya akibat unjuk rasa. Mendengar itu ingin rasanya batin teriak tak terima. Tapi, aku sama sekali tak bisa apa. Kakek juga salah.
Keadaan nelangsa kakek tak berhenti sampai di situ. Di rumah sakit, ia juga mendapatkan surat pemanggilan dari kepolisian wilayah. Tampaknya orang-orang di luar sana begitu semangat mencari titik salahnya. Dan, tentu tak berselang lama setelah pemanggilan itu, Kakek langsung mendekam di jeruji besi.
Kekosongan pemimpin pun terjadi di wilayah. Anehnya para mahasiswa kembali berbondong-bondong berdemo tanpa perlu batu lagi. Mereka memintaku untuk menggantikan posisi kakek. Aku tentu tak segera menerima permintaan mereka. Aku harus menunggu persetujuan ibu. Barulah setelah ia mengiyakan, aku bisa menerima. Hanya saja, aku agak takut dengan usia yang masih baru lulus kuliah dan tidak berafiliasi organisasi. Bisa-bisa nanti aku dilengserkan. Namun, jika mengingat-ingat bukankah rakyat adalah penguasa utama suatu wilayah bahkan negara? Organisasi itu hanya mengotak-kotakkan harapan yang kadang tak sesuai dengan apa yang diwakilkan.
Aku pun maju dan menerima beban yang sedemikian berat itu. Dengan posisiku sekarang, tentu mudah mencari letak kaki ayah. Aku hanya perlu bersabar. Untuk itu, aku segera meminta izin ke bagian lembaga pemasyarakatan untuk diberikan kebebasan menjenguk kakek di penginapan penjara itu.
Tak sekadar menjenguk lelaki paruh baya itu, aku juga menyuapinya di tiga waktu makan kakek. Para sipir penjara itu kuberitahu agar masalah ini tidak ketahuan yang lain. Dan, selama ini aku juga tak membuka mulut untuk berbicara.
Padahal, kakek sering membicarakan posisiku yang menggantikannya. Aku dianggap pengecut yang memanfaatkan keadaan. Aku juga dianggap antek orang yang ingin menghancurkan kariernya sebagai kepala wilayah. Bahkan, ia curiga jika aku nantinya akan berperilaku lebih parah darinya. Mendengar ucapan-ucapan itu, aku hanya berdoa agar ucapan itu tidak menjadi kenyataan.
Pada suatu hari, aku harus berdinas di wilayah lain. Kegiatan itu membuatku tak bisa menyuapi kakek. Makanya aku meminta salah satu sipir yang kupercayai untuk menggantikan rutinitas itu. Ia tentu tidak bisa menolak.
Hanya saja, baru beberapa langkah berjalan dari wilayahku, si sipir penjara mengabariku jika kakek tidak mau makan. Lelaki paruh baya itu mengatakan jika tukang suapnya berbeda dengan biasanya. Kabar itu membuatku kalut. Aku benar-benar tidak mau kakek menjadi mati semangat. Makanya, aku meminta supir dinas itu untuk berbalik arah.
Saat tiba di rumah tahanan itu, aku menemui kakek yang menangis. Aku sungguh-sungguh bingung dengan keadaan ini. Aku pun memandang si sipir dan piring berisi nasi yang hanya tersentuh sedikit. Lalu, mendekatkan langkah dan memberi izin si sipir untuk menyuapi. Hanya saja, kakek menyenggol tanganku yang berisi sendok itu. Ia malah merapatkan pelukan padaku dan menangis sejadi-jadinya.
“Kamu bukan hanya kepala wilayah baru, kamu cucuku ‘kan?”
Mendengar pertanyaan kakek itu membuat embun di mataku menetes.
“Hanya anakku saja yang berani menentang segala kebijakanku. Setelah itu, pasti cucuku.”
Aku terdiam mendengar lanjutan itu. Padahal, dalam hatiku berkecamuk ingin menanyakan keberadaan ayah. Tapi, bibir benar-benar kelu secara sempurna. Lalu membiarkan waktu berbicara.
“Ayahmu telah pergi, Nak.”
Hanya itu. Aku tak menuntut penjelasan kepergian. Aku sudah tahu yang dimaksud pergi itu pasti meninggalkan dunia, lalu membersamai ibu di surga sana.
“Kamu jangan pernah pergi ya!”
Aku mengangguk. Meski kakek tak melihat itu. Aku sama sekali tak ingin pergi dari kehidupan kakek. Serupa Nabi Muhammad SAW yang hampir setiap pagi mendatangi pengemis buta di pasar Madinah. Padahal, pengemis itu selalu mengatai untuk jangan mendekati Nabi Muhammad, bahkan menyebutnya sebagai pembohong dan tukang sihir. Ungkapan-ungkapan itu malah membuat Nabi Muhammad SAW untuk tidak absen menyuapi pengemis tua itu. Kemudian, barulah ketika wafat tugas itu digantikan Abu Bakar.
Ketika sahabat Nabi Muhammad itu menyuapi, tiba-tiba pengemis itu marah sambil berteriak menanyakan siapa si penyuap. Abu Bakar menjawab jika dia adalah orang yang biasa menyuapi. Hanya saja, si pengemis tak percaya. Barulah kemudian Abu Bakar menceritakan kenyatan tersebut. Sontak si pengemis dadanya sesak dan menyatakan diri berislam.
Kini, yang berada di hadapanku itu bukanlah seorang pengemis. Aku juga bukan Nabi Muhammad. Tapi, aku akan berusaha mengamalkan perilaku Baginda Rasulullah itu sebisa mungkin. Menebarkan kedamaian dimulai dengan kakekku sendiri, kakek yang pernah membuat hujan batu di kehidupanku. Tapi, aku akan mendatangkan hujan untuk meluruhkan segenap keresahan yang bergelayut di dadanya.
Malang, 16 Juni 2020 01:18
*Gusti Trisno, Mahasiswa S2 Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Negeri Malang yang memiliki nama lengkap Sutrisno Gustiraja Alfarizi. Peraih juara 2 Penulisan Cerpen dalam Pekan Seni Mahasiswa Jawa Timur 2016 dan Penerima Anugerah Sastra Apajake 2019. Kumpulan cerpen terbarunya berjudul “Seperti Skripsi, Kamu Patut Kuperjuangkan” (Elexmedia Komputindo).