Jusuf AN
“Aku datang membawa dua kabar, Ben,” kata Mahrus begitu aku membukakan pintu untuknya.
“Tidak perlu terlalu serius,” kataku. “Masuklah dulu.”
“Satu kabar baik, dan satunya buruk.”
- Iklan -
“Aku tahu kau hanya ingin menggodaku. Haha…”
“Kau ingin mendengar yang mana dulu?”
“Yang baik. Ah tidak, tidak. Yang buruk. Hem, lupakanlah, Rus. Aku punya kopi enak. Masuklah!”
“Memang sebaiknya aku bercerita sembari minum kopi.”
Mahrus duduk, membiarkan pintu tetap terbuka hingga semburat cahaya senja menerobos masuk. Hidungnya menarik napas panjang sembari mengedarkan pandang. Aku melangkah ke dapur, Mahrus mengikutiku.
“Rumahmu ini terlalu sepi, Ben.”
“Bukan rumahku. Tahun depan bisa jadi aku pindah lagi,” jawabku setelah menyalakan kompor.
“Iya. Maksudku, kenapa tak kau pajang foto atau lukisan?”
Aku diam saja, teringat dengan sebuah foto yang pernah ia tunjukkan padaku. Aku dan Mahrus ada dalam foto itu, bersama teman sekelas saat SMA. Sudah lebih dua puluh tahun waktu membeku dalam foto itu. Dari tiga puluh lima kepala dalam foto itu, hanya beberapa nama saja aku ingat. Sementara Mahrus masih ingat semuanya.
“Kenapa tidak aku pajang foto atau lukisan? Entahlah.” Aku menjawab karena tidak ingin meremehkan pertanyaannya.
“Foto pacarmu misalnya.”
“Kalau saja aku punya.”
“Atau foto ayahmu. Hmmm, aku masih sangat ingat dengan ayahmu. Ia baik sekali. Ibumu juga. Sikap mereka bahkan lebih baik ketimbang bapak dan ibuku.” Mahrus mengambil kursi plastik di dekat meja makan. “Aku minta rokokmu ya..” Ia berkata bersamaan dengan tangannya yang bergerak mengambil rokok di atas meja.
“Semua orang tua baik terhadap anaknya,” kataku.
“Ya, ya, semestinya begitu. Tapi kau tahu sendirilah, kenyataan memang kerap berbeda dengan semestinya.” Asap rokoknya keluar mengiringi kata-kata yang keluar dari mulutnya. “Ah, kau sudah tahu semuanya…”
“Lupakanlah. Ngopi kita….” Aku menunjukkan bungkus kopi kepadanya.
“Oh kopi Lintong.”
“Pernah coba?”
Mahrus menggeleng. “Teman kita Hafid juga jualan kopi sekarang. Macam-macamlah, Gayo, Lampung, Lintong sepertinya juga ada. Mahal-mahal.”.
“Oh ya? ” Sudah hampir setahun ini aku suka membeli biji kopi sangrai dari berbagai daerah, menghaluskannya dengan grinder manual, menyeduh dan meminumnya tanpa gula. Pahit, mula-mula. Seperti kesendirian yang sudah aku jalani dua tahun terakhir. Tetapi lama-lama aku bisa menikmati rasa pahit itu, sebagaimana aku bisa menikmati kesendirianku. Meski kadang kala aku masih teringat mantan istriku, terutama saat-saat sebelum kami berpisah. Sepuluh tahun berkeluarga dan belum punya keturunan, biasa saja sebenarnya. Tapi baginya, tidak! “Aku berdoa kau lekas mendapat keturunan dengan pasangan barumu,” ucapku waktu itu. Ia merangkulku dan berbisik, “Kau juga, Ben!”
Aku lekas berjingkat ketika terdengar suit dari teko pertanda air sudah mendidih. Mahrus mengikutiku. Mulutnya terus nyerocos, menceritakan satu demi satu teman lama. Ia masih seperti dulu, senang bercerita. Ita Semok yang menikah dengan bule, Budiman Vespa yang sekarang punya dealer mobil bekas, Doni yang selalu memamerkan anjing-anjingnya, Anto yang jadi ketua partai. Hampir-hampir ia tahu kabar terbaru semua teman SMA. Dan semua kabar itu ia dapat dari media sosial.
Entah apa maksud Tuhan mempertemukanku dengan Mahrus di kota ini. Ia menjadi cleaning service di sebuah swalayan, sementara istrinya seorang perawat. Ya seorang perawat. Pasangan yang aneh. Mahrus yang hanya lulus SMA datang ke kota ini karena mengikuti istrinya yang diterima bekerja di sebuah Rumah Sakit. Sebenarnya jarak rumahnya dengan rumah yang kuhuni ini cukup jauh, tetapi sudah lima kali ini ia berkunjung sejak sebulan lalu kami bertemu di parkiran swalayan tempatnya bekerja.
Pernah sekali aku melakukan kunjungan balik ke rumahnya. Waktu itu istrinya sedang jadwal malam. Mahrus mengenalkanku pada ketiga anaknya yang semuanya laki-laki. Yang paling besar sudah hampir lulus SMA, sangat mirip perawakannya dengan Mahrus. Tinggi, kurus, berambut ikal. Sekiranya aku sudah dikaruniai anak, barangkali sudah sebesar itu.
Aku membawa dua cangkir ke ruang tamu. Harum khas arabika meruap memenuhi ruang kecil itu. Mahrus mengikutiku dan menaruh rokok yang ia bawa dari meja makan.
“Aku tidak sekolah tinggi seperti kau, Ben. Makanya aku cuma jadi cleaning service. Tapi aku beruntung….”
“Tentu saja kau sangat beruntung,” sambungku. “Punya istri yang cantik, tiga orang anak, kurang apa lagi….”
“Nah, itu dia yang akan aku kabarkan kepadamu.” Ia menegakkan punggungnya. Mematikan rokoknya di asbak.
“Aku datang dengan dua kabar. Satu baik dan satunya buruk.”
“Tentang kawan kita?”
“Kawanmu.”
“Kawanku kawan kita juga kan? Hahaa…” Aku mengangkat cangkir dan mendekatkannya ke hidung, menghirup asap tipis yang meruapkan wangi surga.
“Tentu saja. Tapi apakah kau akan benar-benar sudi mendengarnya?”
“Sejak kapan aku menutup telinga untuk cerita-ceritamu, Rus?”
“Kau mau mendengar kabar baik dulu, atau kabar yang buruk dulu?”
“Baik atau buruk, sama saja.”
“Beda dong!” Ia menghisap rokoknya lama sekali. “Tapi bagi yang mendengar mungkin memang akan sama saja.”
“Ceritakanlah yang baik dulu.” Aku mulai memandangi matanya yang menerawang ke depan.
“Istriku hamil lagi, Ben.”
Seketika aku menepuk-nepuk bahunya, menyalaminya, menampakkan gigi-gigiku sembari mengucapkan selamat. Mahrus hanya tersenyum sebentar menanggapi ekspresiku. Sesaat kemudian ia menyandarkan tubuhnya, menundukkan kepalanya. “Ya, istriku memang hamil lagi. Anak adalah rezeki. Itu betul-betul kabar baik, bukan?”
“Tentu saja itu kabar baik.”
“Kau ikut senang mendengarnya?” ia memandangku dengan cara yang aneh.
“Kau ini…”
“Dan apakah kau juga akan sedih jika mendengar kabar buruk yang akan aku sampaikan?”
Aku terdiam, menunda menyalakan rokok yang sudah terjepit di jariku.
“Istriku tidak suka kalau harus hamil lagi. Ia meminta aku menceraikannya.”
Mendengar Mahrus menyebut-nyebut istri, hamil, cerai, seketika aku teringat seorang perempuan: mantan istriku. Dua tahun lalu kami berpisah setelah sepuluh tahun tak dikaruniai anak.
“Kau tahu, penghasilanku sebagai buruh tidak seberapa. Gaji istriku bahkan lebih besar. Apa karena itu ia berhak menolak kehamilannya?” Mahrus nyaris sesenggukan. “Apa karena itu istriku minta cerai?”
Aku tidak bisa dan tidak harus menjawab pertanyaan itu. Tetapi mata Mahrus yang jujur dan tampak berkaca-kaca itu mengharapkanku memberikan sesuatu.
“Begini, Rus. Kita…, ehmm, maksudku.” Ah, sepertinya Mahrus tak perlu tahu hal-hal pahit dalam hidupku. “Minumlah dulu kopinya.”
Mahrus mengangkat cangkir kopinya dan menyesap kopi itu pelan-pelan.
“Kau lupa memberinya gula?”
“Lama-lama kau akan terbiasa,” jawabku tegas.
Aku rasa Mahrus sebenarnya tak membutuhkan nasehat atau saran apa pun dariku. Ia hanya butuh orang untuk mendengar. Dan aku tak hanya telah mendengarkannya, tapi juga menemaninya minum kopi tanpa gula.
Wonosobo, 2019-2020
*Jusuf AN lahir di Wonosobo, 2 Mei 1984. Bergiat di Komunitas Sastra Bimalukar Wonosobo. Selain aktif menulis prosa dan puisi, ia juga pengajar di Universitas Sains Al-Qur’an Wonosobo.