Oleh Bagus Dwi Hananto
Marni tetap menunggu sang suami di depan pintu rumah. Sudah lebih dari seminggu Sukaryo tidak kembali. Kali ini, karena dia kalah judi sabung ayam. Leher ayam jago kesayangannya hampir putus setelah terpatuk ayam jawara milik Parmin. Dengan taji tumpul, ayam jantan Sukaryo tidak lagi punya daya apa pun.
Ayam yang selalu dimandikan dan diolesi minyak sawit di jengger dan diruncingkan tajinya di kaki itu kini tergolek membangkai sejak ditinggal sang pemilik di kandangnya di teras rumah. Rumah itu rumah peninggalan ibu Marni yang meninggal beberapa bulan lalu. Atapnya hampir terkelupas di sebagian besar sisi kanan rumah dan penyangga mulai lapuk dimakan rayap.
Anak mereka satu-satunya, Hamid, selalu bermain di tepi sungai bersama bocah-bocah kampung. Dan menjelang candhik ala, dia belum datang, Marni akan mencari ke sana dan membawa pulang sambil mencubiti lengannya sehingga dia menangis. Selalu begitu.
- Iklan -
Setelah diputus kerja sebagai satpam di sebuah perusahaan kecil di kota, Sukaryo berubah sifat. Ia lebih malas, tidak mau mengerjakan apa pun, selain berjudi dan kadang-kadang mabuk-mabukan. Awalnya pertengkaran kecil, lalu menjadi besar dan selalu menyisakan derai air mata bagi Marni.
“Suami kurang ajar,” celetuk Mbok Iyem, tetangga yang selalu mendengar mereka bertengkar.
Pertemuan mereka terjadi sekitar delapan tahun lalu, ketika Marni ke pasar seperti biasa membeli ketela untuk dibuat opak dan dijual oleh ibunya, Mak Minah. Dia melihat Sukaryo, yang saat itu belum bekerja sebagai satpam. Ia membantu Haji Mulyo berjualan jenang di kiosnya. Senyum Sukaryo yang terlihat gagah dengan kumis tidak begitu tebal dan paras kuning matang khas orang Jawa dengan mata teduh menyiratkan getar tresna. Wajah Sukaryo yang lonjong, ditambah hidung bangir yang bukan umumnya orang Jawa, namun dengan badan tegap dan kelihatan kekar, membuat dia jatuh hati.
Setelah mereka menjalin kasih beberapa lama, nasib baik muncul bagi Sukaryo. Ia diterima menjadi satpam pabrik swasta dengan gaji cukup lumayan. Niatan melamar Marni akhirnya bulat ketika ia yakin betul akan pilihannya. Maka dia siapkan dua tandan gemblong sebagai tanda pelamaran khas orang Jawa. Ibu Marni telah menyetujui lamaran itu. Mereka bahagia, setidaknya untuk beberapa saat, sampai sebuah garis nasib mengubah watak Sukaryo.
Sekarang, hanya Marni yang bekerja sebagai penjual opak keliling dengan untung tidak seberapa. Sukaryo sebelum minggat dari rumah, selalu meminta uang dari sang istri, meski uang yang dikumpulkan dari hasil keringatnya itu tidak cukup untuk memenuhi segala kebutuhan keluarga.
“Ndi, aku minta duitmu!” tangan Sukaryo mengulur di hadapan wajah Marni.
“Udah gak ada, Mas. Uangnya untuk keperluan sekolah Hamid nanti,” jawab Marni pelan.
“Halah, nanti kamu cari lagi. Wong, Hamid masih kecil, sekolahnya nanti-nanti saja,” paksa Sukaryo.
Sukaryo memaksa Marni, mengobrak-abrik almari kamar dan akhirnya menemukan uang seratus ribu selembar. Keluarlah ia secepat-cepatnya dan luput dari tarikan tangan Marni yang tidak rela uangnya diambil Sukaryo. Air mata pun membasahi pipi istri malang itu.
Kejadiannya selalu begitu. Marni selalu kalah. Namun cinta Marni tidak pernah luntur, meski Sukaryo makin edan dan senang main judi. Sampai sekarang dia terus menanti, menunggu Sukaryo pulang.
***
HUJAN pertama pergantian musim turun. Hujan yang diharapkan warga desa setelah enam bulan lebih kekeringan melanda tempat tinggal mereka. Membasahi genting dan menerobos ke jendela-jendela rumah yang terbuka, bertempias dan meleleh di kemiringan jendela. Suara-suara katak bernyanyi di sawah. Hujan kali ini jadi rahmat bagi warga desa.
Tapi masih pula ada yang gusar, ada yang tetap menanti dengan muka selalu menawarkan kesedihan pada semua orang yang lewat di depan rumahnya. Ya, Marni tetap menunggu sang suami pulang.
Sudah lebih dari satu bulan semenjak ayam jagonya kalah dan mati, Sukaryo tidak kunjung kembali ke rumah. Hamid selalu bertanya tentang bapaknya kepada Marni, ”Bapak di mana, Bu?”
Selalu pertanyaan sama sekitar satu bulan ini. Marni beralasan Sukaryo bekerja di luar kota dan akan kembali segera. Namun Marni belum tahu kapan waktunya. Tiap kali Hamid bertanya, jawaban yang sama selalu Marni ucapkan.
Suatu hari ketika hujan telah reda dan Marni kembali dari keliling berjualan opak, dia menemukan jendela rumah di kamarnya terbuka. Padahal dia yang membawa kunci rumah, sedangkan Hamid seperti biasa bermain di tepi sungai. Ternyata Sukaryo mencari-cari uang dan lebih bejat lagi dia mengambil cincin perkawinan yang ia berikan pada Marni, tanda cinta mereka. Air mata lagi yang mampu mengganti kekurangajaran Sukaryo.
“Ndhuk, ini sudah keterlaluan. Kamu mesti melaporkan kepada polisi. Suamimu itu sama saja nyolong.”
Dari samping rumah Mbok Iyem menghampiri Marni yang tergeletak di bawah jendela rumah dengan lelehan air mata. ”Kamu mesti lapor ke polisi. Harus itu!”
Tapi hati Marni tidak tega melakukan saran Mbok Iyem sebab dia terlalu mencintai Sukaryo. Cinta begitu besar, meski tak ada pertanggungjawaban dari Sukaryo. Dia tidak lagi menafkahi, malah mencuri uang dan harta satu-satunya; lambang cinta mereka.
Berbulan-bulan tak terdengar lagi kabar tentang Sukaryo. Ia sepenuhnya telah minggat. Dengan hati remuk, Marni siap-siap meninggalkan satu-satunya tempat yang tak pernah dia tinggalkan; rumahnya. Menggamit tangan Hamid, Marni memutuskan mengadu nasib ke kota yang lebih besar dan lebih banyak peruntungan. Nasibnya yang tidak berubah dan diperparah setelah ditinggalkan sang suami, membuatnya menuju sebuah kota paling sibuk di negeri ini — yang menurut pengakuan orang-orang desa, orang mudah mencari kerja di sana. Itulah Jakarta.
Dia menyelipkan sebuah surat di bawah pintu rumah, surat penuh makian dan serapah kepada Sukaryo. Kunci rumah selalu dia bawa. Juga segala surat berharga warisan dari ibunya dia bawa menuju Jakarta, kota metropolitan, dengan uang pas-pasan dan bermodal keinginan yang telah bulat.
“Hati-hati, Ndhuk. Jaga dirimu. Soalnya Jakarta banyak macan, akeh garong. Nanti kamu di sana cari kerja yang baik. Doaku selalu untukmu, semoga Gusti Allah memberi kamu peruntungan yang baik di sana,” Mbok Iyem melambaikan tangan pada Marni sebelum mereka berangkat menuju terminal.
***
SEMUA karena suamiku yang sudah edan semenjak dipecat dari pekerjaan menjadi satpam. Dia mencuri cincin perkawinan, menggasak seluruh uang, dan tak lagi kembali ke rumah. Kurang ajar. Aku sudah tertipu olehnya, tertipu pula di kota ini. Jakarta yang mengerikan. Tak kukira ajakan seorang perempuan gemuk yang kaya raya itu agar aku menjadi pembantunya, aku terima tanpa berpikir dulu. Aku dicemplungkan ke kandang macan, sangkar garong. Wanita itu kini jadi mamahku.
Di sinilah aku dengan gadis-gadis yang tak lagi gadis. Dipajang seperti mainan. Di rumah bordil yang kadang ada saja pejabat berkerah dengan pelat merah datang ke sini, mahasiswa, kaum intelektual. Anakku aku tinggal di kontrakan.
“Ibu, kerja dulu, kamu tunggu di sini. Nanti kalau-kalau ketemu Bapak.” Selalu itu yang aku katakan pada Hamid.
Jakarta telah menelanku. Berbatang-batang rokok dan pil-pil penenang menjadi kawan akrabku. Aku tak bisa lagi kembali ke desa. Kabar yang menyebut aku telah jadi wong wadon sing ora bener sudah menyebar di desa. Aku isin, malu. Tak ada lagi yang bisa kuharapkan, semua gara-gara laki-laki busuk itu. Sukaryo. Gusti, kenapa nasibku begini?
***
JAKARTA, malam begitu remang-remang. Lelampu berkerjap ditelan suasana hibuk kota. Mobil-mobil menyusuri jalanan yang sunyi di larut malam. Perempuan kupu-kupu menunggu di tepian jalan yang kelam. Menanti orang-orang berhidung belang. Marni menanti. Kali ini bukan menanti Sukaryo, melainkan orang-orang yang akan membayarnya untuk kepuasan ragawi. Orang-orang tanpa cinta dan nafsu belaka.
Bulan separuh terbenam di langit malam. Suara-suara angin menyisir menggerai rambut Marni yang terbang meniupkan parfum murahan. Dia mengisap rokok dan menanti pelanggan di tepi jalan kelam bersama para perempuan lain. Tak ada air mata lagi. Segalanya cuma seperti roda yang berputar, dilaksanakan saja. Semua sudah suratan atau memang itulah kebodohan yang dilakukan Marni: meninggalkan desa dan merantau ke Jakarta.
Di jalan itulah, sebuah jalan, seseorang dengan perawakan kekar dan berjalan tegap melangkah menuju emperan jalan gelap yang dipenuhi beberapa perempuan kupu-kupu. Dia berjalan dan terkejut. ”Marni! Kamu Marni, istriku!” teriak Sukaryo yang hampir sampai menuju tempat Marni mangkal.
Marni pun terbelalak kaget dan lari menuju kegelapan. Dia lari, disusul Sukaryo yang mengejar. Sayang, Sukaryo tidak bisa menemukan dia lagi. Dia terlalu cepat berlari, ditelan kegelapan jalan Jakarta.
Sejak saat itulah, setiap malam di emperan jalan itu, ada seorang pria menanti bersama para perempuan kupu-kupu di kegelapan malam. Dia menanti sang istri di antara para perempuan kupu-kupu itu. Sukaryo begitu menyesal, merasa sangat tolol. Air mata yang selalu luruh bertempur dengan cacian para perempuan sundal di emperan jalan itu.
“Lelaki bodoh yang meninggalkan istrinya. Lihatlah dia, begitu menyesal melihat istrinya kini bekerja seperti kita.”
Semua perempuan sundal akan tertawa melihat kerikuhannya menunggu Marni. Marni sudah pindah. Dia mendatangi setiap rumah bordil di Jakarta, namun tak satu pun tahu di mana Marni berada. Dan dia terus saja menunggu hingga berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun di tempat yang sama. Dia masih mencintai dan selalu mengutuk diri sendiri atas kelakuannya selama mereka bersuami-istri.
“Di mana engkau, Marni?”
Kudus