Oleh: Muhammad Rusidi
Sudah sejak lama umat Islam sering membincangkan persoalan bagaimana posisi akal dan wahyu (al-Qur’an dan hadits). Ada kubu yang mengatakan bahwa wahyu wajib diikuti tanpa banyak bertanya. Sedangkan kubu lainnya mengutamakan akal sebagai penentu segala tafsir wahyu. Keduanya sering kali menimbulkan sebuah ketegangan, bahkan berdampak pada cara mereka beragama dan bersosial di muka umum.
Satu sisi, bersikap terlalu kaku pada teks suci menjadikan agama terasa cupet dan dangkal. Di sisi lain, penafsiran atau pemaknaan yang terlalu bebas mengakibatkan jauh dari nilai asli wahyu. Lantas, bagaimanakah solusinya?
Islam Tidak Anti Akal
- Iklan -
Al-Qur’an secara berulang-ulang mengajak manusia untuk berpikir, merenung, dan bertadabbur: afala ta’qilun (apakah kalian tidak berpikir?), afala yatadabbarun (tidakkah kalian merenungkan?), dan masih banyak lagi ayat-ayat serupa. Itu artinya, akal adalah anugerah yang justru diperintahkan untuk selalu digunakan dengan baik. Wahyu langit diturunkan bukan untuk mematikan akal, melainakan untuk menuntun sekaligus menyinari jalannya akal agar tidak salah jalur dalam berpikir dan merenungkan suatu hal.
Banyak ulama besar juga ikut angkat bicara mengenai persoalan ini, seperti al-Imam Al-Ghazali dalam karya monumentalnya “Ihya’ ‘Ulum ad-Din” mengatakan tentang betapa tingginya kedudukan akal dalam Islam. Berikut pernyataannya:
“Ketahuilah, bahwa ini (masalah kemuliaan akal) termasuk perkara yang tidak perlu dijelaskan secara berlebihan. Karena kemuliaan ilmu yang sudah terlihat begitu jelasnya pada dasarnya datang dari akal. Dan akal adalah sumber, awalan, dan podasinya ilmu. Dan ilmu itu lahir dari akal sebagaimana buah itu lahir dari pohon, dan cahaya dari matahari, serta penglihatan dari mata. Maka dari itu, bagaimana akal itu tidak dianggap mulia yang telah menjadi sarana kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat. Atau bagaimana hal ini diragukan, padahal binatang yang tidak mampu membedakan itu malu (menghindari) dari akal. Bahkan binatang yang paling besar badannya, paling berbahaya, dan paling kuat tenaganya sekalipun, jika ia melihat sosok manusia maka ia menghindari atau malu kepadanya. Dikarenakan ia merasa dikuasai olehnya yang telah dianugerahi sarana (akal) untuk mengetahui tipu muslihatnya.” (Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali,Ihya ‘Ulûm al-Dîn, Indonesia: Dar Ihya al-Kutub al-‘Arabiyah, hlm. 82.)
Dari pernyataan sang hujjatul Islam tersebut, jelas bahwa akal memiliki peran yang luhur dalam menjalani agama dan segala aspek kehidupan. Namun, di samping juga akal memiliki keterbatasan tersendiri yang harus digandeng oleh wahyu agar tetap melangkah pada jalan semetinya. Ada salah satu perkataan ulama yang menyinggung tentang keterbatasan akal, yakni Imam asy-Syatibi:
“Sesungguhnya Allah S.W.T telah menjadikan kemampuan akal dalam memahami (sesuatu) ujung batasan yang tidak dapat dilewati. Dan tidak memberikan kepadanya jalan untuk mengetahui segala yang diinginkannya. Andaikan akal seperti itu (mampu mengetahui segala sesuatu) niscaya ia akan sama dengan Allah S.W.T yang mengetahui semua yang telah terjadi, apa yang akan terjadi dan apa yang tidak terjadi, serta bagaimana jika itu (sesuatu yang tidak terjadi) terjadi?. Maka, pengetahuan Allah tidak terbatas, sedangkan pengetahuan hamba-Nya terbatas. Sehingga tidaklah sama antara yang terbatas dengan yang tidak terbatas.Dan pengetahuan ini mencakup segala sesuatu atau benda baik secara global maupun terperinci. Mengenai sifatnya, situasinya, perbuatannya dan hukumnya baik secara global maupun terperinci. Maka satu di antara sesuatu tersebut diketahui oleh Allah secara paripurna dan komprehensif. Di mana tidak ada yang luput sedikitpun dari pengetahuan-Nya, baik itu zat benda tersebut, sifatnya, situasinya, dan hukumnya.Hal ini, berbeda dengan hamba-Nya yang pengetahuannya terbatas dan kurang. Ia akan terbatas dalam memahami benda tersebut baik itu sifatnya, situasinya, maupun hukumnya. Dan keterbatasan itu pada dasarnya adalah perkara yang dapat disaksikan dan dirasakan sendiri oleh manusia yang tidak diragukan lagi kebenarannya oleh siapapun yang berakal.” (Ibrahim ibn Musa al-Syatibi, al-I’tishâm, Beirut: Dar Ihya al-Turats al-‘Arabi 1997, hlm. 464-465)
Ketika Akal Disingkirkan
Sayangnya, kita masih sering melihat beberapa kelompok yang menutup ruang sangat rapat bagi akal. Ayat-ayat suci dipahami secara sempit, lalu dipakai untuk melegitimasi kekerasan misalnya, atau yang lainnya. Inilah yang membuat potret Islam sering terkesan tampak keras dan kejam. Dan banyak lagi contoh lainnya. Padahal Islam sejatinya penuh dengan kasih sayang. Jika akal tidak digunakan dalam hal ini, agama bisa diseret ke arah yang justru bertentangan dengan misi rahmatan lil ‘alamin.
Fenomena semacam ini semakin didukung oleh kehadiran media-media sosial. Penggalan ayat atau hadis sering dijumpai dan disebarkan tanpa mengetahui bagaimana tafsir dan asbab an-nuzulnya serta siapa sebenaranya seluk beluk orang yang menyampaikan tersebut. Oleh sebab itu, tidak sedikit anak-anak muda zaman sekarang yang lantas terjebak pada cara pola pikir simplistis; menilai semua yang berbeda sebagai kesalahan. Inilah yang menjadi salah satu sebab berkembangnya pola pikir radikalisme dan liberalisme berbasis agama.
Di tengah kondisi demikian, maka peran NU menjadi sangat urgen dan diperlukan. Sebagai ormas terbesar di Indonesia, NU memiliki posisi sebagai penengah yang menolak dua kubu tersebut, yakni antara fundamentalisme yang kaku dan liberalisme yang terlalu bebas dan kebablasan. Melalui pendidikan pesantren, majelis taklim, hingga media digital, NU terus menyuarakan pentingnya membaca teks agama secara utuh dengan melibatkan akal sehat. Berusaha menampilkan Islam yang ramah-bukan marah dan Islam yang merangkul-bukan memukul.
Moderasi sebagai Jalan Tengah
Sejumlah ulama kontemporer mencoba merumuskan bagaimana jalan tengah dalam Islam. Yusuf al-Qardawi melalui kitab Fiqh al-Wasathiyah menawarkan pendekatan yang moderat, di mana akal dan wahyu diposisikan secara proporsional. Moderasi ini berarti tidak condong ke dualisme titik ekstrem, baik terlalu kaku dalam berpegang pada dalil maupun terlalu bebas dalam memahaminya. Islam hadir bukan untuk mengekang akal, namun juga bukan berarti menjerumuskan akal agar berpikir tanpa batas.
Begitu juga Wahbah az-Zuhaily dalam Ushul al-Fiqh al-Islami mengatkan pentingnya keseimbangan dalil naqli (teks) dan dalil ‘aqli (akal). Menurutnya, hukum Islam tidak dapat dilepaskan dari kedua sumber tersebut. Ketika hanya mengedepankan teks, hukum akan kering dan kaku. Begitupun sebaliknya, jika hanya mengandalkan akal, hukum bisa kehilangan landasan arah yang benar.
Namun demikian, otoritas paling utama adalah tetap mendahulukan wahyu ketimbang akal. Sebab hal ini mengikuti pendapat para ulama ahlussunnnah wal jama’ah yang bersumber dari aqidah Imam Al-Asy’ari. As-Sam’ani menegaskan sebagaimana yang dikutip As-Suyuthi dalam kitab Shaun al-Manthiq, bahwa Islam dibangun atas dasar ittiba’ (berdasar dalil naqli) sementara akal sebagai pengikut wahyu. Maka, seandainya dasar agama itu adalah akal maka niscaya umat Islam tidak akan pernah butuh dengan wahyu dan rasul, serta gugurlah esensi berbagai perintah dan larangan yang terdapat di dalam wahyu samawi. Akibatnya siapa pun akan berbicara secara bebas sesuai dengan kehendak masing-masing. Apabila agama ditentukan oleh akal hal ini berkonsekuensi wajib bagi orang-orang beriman untuk tidak menerima suatu hal apapun hingga akal mereka menyepakatinya. (Faishal Ibn Qazar al-Jasim, al-Asya’irah fi Mizan Ahl al-Sunnah, Kuwait: al-Mabarrah al-Khairiyyah 2007, hlm. 70).
Oleh sebab itu, tidak ada seorang ulama pun yang mempertentangkan wahyu dengan akal, serta tidak ada pula dari kalangan ulama sunni yang membangun agama kecuali ia berdasarkan risalah yang dibawa Nabi SAW. Maka, jika ingin mengetahui dan menyampaikan perihal agama maka ia akan bertendensikan pada firman Allah SWT dan sabda Nabi SAW. Pijakan inilah sebagai rujukan dalam belajar, berfikir, menganalisis, dan mengambil dalil serta melihat bagaimana pendapat para ulama dalam memahaminya. Dengan demikian jelaslah bahwa runtut awalnya adalah wahyu (Al-Qur’an-hadis) kemudian akal sebagai sarana memahami teks-teks wahyu.
Prinsip moderasi semacam inilah yang dianut oleh manhaj Nahdlatul Ulama. NU sejak awal berdiri memposisikan diri sebagai penjaga keseimbangan, baik dalam bidang teologi, fiqh, maupun budaya. Semboyan al-muhafazhah ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah (memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik) mencerminkan semangat wasathiyah itu. Moderasi NU bukan sekadar jargon, melainkan diwujudkan dalam praktik pendidikan, dakwah, dan pelayanan sosial.
Dengan demikian, moderasi bukan hanya konsep akademik, melainkan sebuah keniscayaan yang dibutuhkan umat Islam di era modern. Cara ini mengajak umat untuk tetap taat terhadap wahyu, namun juga tetap membuka ruang bagi akal untuk menafsirkan sesuai kebutuhan zaman.
Menjadi Muslim Sejati di Zaman Ini
Akal dan wahyu ibarat dua sayap. Jika salah-satunya dipatahkan, maka akan kehilangan keseimbangan. Wahyu dan akal bukan untuk dipertentangkan, justru keduanya memiliki peran satu sama lain dan saling melengkapi dalam berIslam, wahyu memberi arah dan penerang, akal membantu kita memahami dan mengamalkan dalam kehidupan nyata.
Menjadi Muslim hari ini berarti beragama dengan taat sekaligus kritis. Bukan sekadar ikut-ikutan, tapi juga mengerti. Bukan hanya patuh, tapi juga memahaminya. Dengan begitu, kita bisa menjauh dari jebakan radikalisme yang kaku maupun liberalisme yang kebablasan.



