Oleh: Salman Akif Faylasuf *
Hakikatnya, manusia mendapatkan empat karunia dari Allah Swt. yang merupakan sifat istimewa baginya. Pertama, ia dijadikan sebagai makhluk terpilih (QS. Taha [20]: 122); kedua, menjadi Khalifah Allah Swt. Dipersada bumi (QS. Al-Baqarah [2]: 30); ketiga, diberi kepercayaan untuk menunaikan suatu amanat yang semua makhluk tidak sanggup memikulnya (QS. Al-Ahzab [33]: 72); keempat, untuk melaksanakan semua itu manusia diberi kemampuan mengetahui berbagai nama dan konsep benda. Itulah representasi dari ilmu pengetahuan (QS. Al-Baqarah [2]: 31).
Dari empat karunia itu, dapat ditangkap suatu isyarat betapa tinggi nilai ilmu pengetahuan guna melaksanakan tugas khilafah di muka bumi, hingga dalam hal itu manusia sebagai pemiliknya menjadi lebih unggul ketimbang segala makhluk lain, termasuk malaikat. Kemampuan akal terbukti telah mengantarkan manusia pada berbagai penemuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Secara langsung atau tidak langsung, Islam memang mendorong manusia agar selalu mengadakan penelitian dan kajian, guna memperoleh penemuan-penemuan demikian yang hasilnya dapat dimanfaatkan bagi kemaslahatan dan kemakmuran bumi.
- Iklan -
Syahdan. Dalam rangka ikhtiar, manusia diperintahkan agar memperhatikan hukum-hukum yang berlaku pada alam secara keseluruhan. Dalam al-Qur’an, hukum-hukum yang hakikatnya buatan Allah itu disebut taqdir. Sedangkan hukum-hukum yang berlaku pada masyarakat manusia menurut Nucholish Majid disebut sunnatullah.
Karena itu, hasil penelitian manusia terhadap hukum-hukum alam dan sunnatullah itulah kemudian membuahkan ilmu pengetahuan, baik ilmu pengetahuan alam maupun ilmu pengetahuan sosial. Para ulama dalam uraian mereka seringkali tidak membedakan sunnatullah dengan takdir. Karena yang pertama memang merupakan bagian dari yang kedua.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi kini telah menimbulkan perubahan tidak tanggung-tanggung dan revolusi di berbagai bidang. Pengaruhnya terhadap masyarakat juga luar biasa. Kemajuan yang dikontrol oleh moralitas yang baik pada umumnya berdampak baik. Namun sebaliknya, kemajuan tidak terkendali banyak menimbulkan kerusakan dan amat merugikan manusia sendiri serta makhluk-makhluk lain.
Islam tentu saja menghendaki kemajuan serta penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dijiwai oleh ketakwaan serta akhlak mulia. Musa Asy’arie menegaskan bahwa, realisasi tugas kekhalifahan manusia adalah bekerja dengan dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi yang senantiasa terikat oleh tuntutan kodratnya selaku ‘abd (hamba) yang bekerja atas dasar bimbingan moral. Sedangkan pengamalan di bidang keagamaan (Islam) juga mensyaratkan adanya ilmu yang mendasar.
Itu artinya, tanpa dukungan ilmu, ajaran Islam tidak mungkin dapat ditunaikan dengan baik dan sempurna. Pengamalan rukun Islam saja mensyaratkan demikian, apalagi berkenaan dengan ajaran-ajaran lain yang menyangkut masalah sosial, politik, ekonomi, seni, budaya dan lain-lain yang bercorak amat dinamis.
Maka, dalam konteks ini, ilmu pengetahuan termasuk ilmu agama dan teknologi berpotensi sebagai alat urgen, baik untuk meraih kesuksesan duniawi, ukhrawi, maupun keduanya. Dengan perkataan lain, tugas manusia sebagai ‘abd maupun khalifah, baik yang berkaitan dengan pelaksanaan ubudiyyah maupun tanggung jawab memakmurkan bumi, dapat dipastikan akan mengalami kegagalan bila tidak didukung oleh ilmu.
Tentunya, Islam sebagai agama yang terakhir jelas tidak hanya membawa ajaran tentang aqidah dan petunjuk-petunjuk moral belaka. Ia juga membawa syari’ah dan petunjuk-petunjuk yang berkaitan dengan realita, sosial, ekonomi, politik, dan sebagainya. Hidup memang tidak akan lurus tanpa diarahkan oleh aqidah dan diatur oleh syari’ah. Akan tetapi, aqidah juga akan terganggu; syari’ah sukar dilaksanakan dan akhlak sulit tumbuh manakala kehidupan duniawi orang bersangkutan morat-marit.
Sesungguhnyalah sejak awal Islam memahami pentingnya faktor materi sebagai sarana. Perlu disadari, meski manusia hidup tidak hanya untuk makan, namun tanpa makan tidak akan bisa bertahan hidup. Allah berkali-kali memerintahkan orang-orang beriman agar melakukan jihad dengan harta di samping dengan “al-anfus”, yaitu apa yang terdapat dalam diri mereka.
Hal itu menunjukkan betapa efektifnya harta dijadikan alat perjuangan di samping “al-anfus”. Diwajibkannya zakat dan diperintahkannya infaq dan sadaqah menunjukkan urgennya harta bagi kehidupan orang Islam, sekaligus mengisyaratkan seriusnya bahaya kemelaratan.
Al-Fanjariy menegaskan, bahwa dalam konsep islami kemakmuran materiil atau harta difungsikan sebagai sarana untuk mencari rida Allah. Antara lain dalam rangka memakmurkan bumi dan membangun dunia. Allah Swt. berfirman:
وَاِلٰى ثَمُوْدَ اَخَاهُمْ صٰلِحًا ۘ قَالَ يٰقَوْمِ اعْبُدُوا اللّٰهَ مَا لَـكُمْ مِّنْ اِلٰهٍ غَيْرُهٗ ۗ هُوَ اَنْشَاَكُمْ مِّنَ الْاَرْضِ وَاسْتَعْمَرَكُمْ فِيْهَا فَاسْتَغْفِرُوْهُ ثُمَّ تُوْبُوْۤا اِلَيْهِ ۗ اِنَّ رَبِّيْ قَرِيْبٌ مُّجِيْبٌ
Artinya: “Dan kepada kaum Samud (Kami utus) saudara mereka, Saleh. Dia berkata, “Wahai kaumku! Sembahlah Allah, tidak ada Tuhan bagimu selain Dia. Dia telah menciptakanmu dari Bumi (tanah) dan menjadikanmu pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan kepada-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku sangat dekat (rahmat-Nya) dan memperkenankan (doa hamba-Nya).”(QS. Hud [11]: 61).
Dari sini jelas, bahwa dalil-dalil serta penjelasan di atas, kiranya dapat dipahami bahwa di samping “al-anfus”, harta merupakan sarana atau alat yang amat besar manfaatnya, terutama bagi perjuangan dalam arti luas. Mulai dari perjuangan dalam bentuk lebih lunak seperti saling mengingatkan dan berdakwah sampai pada bentuk yang lebih tegas dan lebih keras seperti menegakkan yang ma’ruf, mencegah kemungkaran serta berperang di jalan Allah.
Tidak hanya itu, harta juga amat berguna bagi upaya memakmurkan bumi. Sudah barang tentu harta amat efektif digunakan untuk memperkuat daya tahan serta ketahanan umat berkenaan dengan akhlak, aqidah, dan bahkan pengamalan syariah mereka dari bahaya rongrongan kemiskinan dan kemelaratan dengan berbagai dampak negatifnya.
Sederhananya, ilmu dan harta merupakan dua alat atau sarana yang amat urgen bagi manusia guna mensukseskan tugas dan kewajiban mereka, baik berkenaan dengan hablumminnallah maupun hablumminannas termasuk sebagai hamba sekaligus khalifah Allah di persada bumi ini. Adanya sarana lain, yaitu “al-anfus” yang merupakan bentuk jamak dari “nafs”, artinya jiwa atau diri, yakni sesuatu yang berguna dalam diri orang bersangkutan seperti tenaga, fisik, kesehatan dan ilmu padanya.
Secara jelas menunjukkan bahwa, di samping harta, masih banyak profesi lain pada manusia yang dapat dijadikan pendukung atau alat perjuangan. Pendek kata, ilmu dan harta adalah dua sarana utama di antara sarana-sarana lain baginya guna meraih keberhasilan dalam pelaksanaan tugas dan kewajiban itu. Wallahu a’lam bisshawaab.
*) Alumni PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo dan PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo.