Oleh: Salman Akif Faylasuf *
Kita tahu bahwa, ada dua ajaran penting dari akidah Asy’ariyah yaitu, pertama akidah Asy’ariyah berbeda dengan Muktazilah dan Jabariyah dalam hal “apakah manusia mampu menciptakan perkerjaannya/tindakannya sendiri”. Mazhab Muktazilah mengatakan bahwa manusia menciptakan tindakannya sendiri.
Sekiranya tindakan itu berupa tindakan mekanik seperti orang terkena penyakit Parkinson/tubuh bergerak sendiri tanpa bisa mengontrolnya, maka hal ini dikecualikan karena dianggap ciptaan Tuhan. Kedua, berbeda dengan gerakan-gerakan lainnya seperti gerakan atau keputusan bebas (suka rela), maka menurut Muktazilah tindakan ini adalah ciptaan manusia sendiri. Tuhan tidak mempunyai intervensi.
Berbeda pula dengan pendapat Jabariyah (kaum determinisme) yang mengatakan bahwa, semua tindakan manusia baik yang mekanik maupun non-mekanik adalah ciptaan Tuhan. Manusia tidak mempunyai kuasa untuk menciptakannya.
- Iklan -
Akibatnya, dua mazhab ini menimbulkan konsekuensi-konsekuensi yang tidak masuk akal. Mazhab Muktazilah pada akhirnya berujung kepada “dead end” atau “jalan buntuh”. Sebab, dengan mengatakan manusia menciptakan tindakannya sendiri tanpa intervensi Tuhan, maka hal ini sama dengan Anda mengatakan bahwa “Tuhan tidak mampu/kuasa menciptakan manusia”. Padahal, kita tahu tindakan manusia masuk dalam kategori al-mumkinat (sesuatu yang mungkin terjadi).
Berbeda dengan qudrah-nya Tuhan yang selalu ber-taalluq (berhubungan) dengan hal yang mumkinat. Dalam hal ini, segala hal yang mumkinat itu bisa menjadi objek kekuasaan Tuhan. Artinya, kekuasaan Tuhan bisa mengadakan dan meniadakan.
Sementara Jabariyah mengatakan bahwa manusia tidak berkuasa menciptakan tindakannya sendiri. Tentu saja ini juga tidak masuk akal. Kenapa demikian? Karena bagaimanapun manusia pasti mempunyai keputusan untuk bertindak dan melakukan.
Dalam hal ini, ada perbedaan mendasar antara tindakan mekanik dan non-mekanik, seperti pada kasus orang yang terkena penyakit Parkinson dengan orang yang normal. Lalu bagaimana Anda mengatakan bahwa manusia tidak bisa mencipatakan tindakan sendiri. Pun, jika tindakan manusia semuanya ciptaan Tuhan, mengapa manusia disuruh taat-patuh oleh Tuhan (manusia bisa berkomplen kepada Tuhan kelak diakhirat “Wahai Tuhan mengapa engkau masukkan kami ke dalam neraka? Bukankah tindakan saya ini ciptaan engkau?”).
Lalu bagaimana pendapat yang tengah-tengah?
Kata Mazhab Asy’ariyah, tindakan manusia tercipta karena dua qudrah (qudrah-nya Tuhan dan qudrah-nya manusia). Hanya saja, qudrah-nya manusia itu ada karena diciptakan oleh Tuhan. Pendek kata, qudrah-nya manusia tidak bisa menimbulkan tindakan itu sendiri.
Misalnya, Anda mengambil keputusan untuk coblos si A atau si B nanti 14 Februari 2024. Namun, dalam teori Asy’ariyah dikatakan, bahwa memang benar keputusan datang dari Anda, tetapi kemampuan untuk mencoblos itu datang dari Tuhan. Anda mampu mencoblos karena ada kemampuan yang diletakkan Tuhan dalam diri Anda.
Sekali lagi, kata Gus Ulil, memang manusia mempunyai kemampuan, akan tetapi kemampuan itu tidak bisa meng-ada-kan keputusan untuk bertindak (seperti mencoblos). Melainkan, yang bisa meng-ada-kan kemampuan bertindak adalah qudrah-nya Tuhan. Dan dengan qudrah-nya Tuhan inilah manusia bisa berusaha (kasyf), tidak meng-ada-kan. Dalam al-Qur’an dikatakan:
لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا ٱكْتَسَبَتْ
Artinya: “Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.” (QS. Al-Baqarah [2]: 286).
Jelasnya, manusia tidak bisa dikatakan sama sekali pasif, tetapi juga tidak bisa dikatakan aktif total sampai menegasikan Tuhan. Kenapa demikian? Karena faktor terakhir tetap saja hanyalah Tuhan. Sekalipun manusia mempunyai kontribusi atau usaha (kasyf), namun segala yang ada dimuka bumi ini ada karena Tuhan. Begitulah teori Asy’ariyah.
Jika ditanya, lalu apa gunanya mempunyai qudrah tetapi tidak bisa menimbulkan al-maqdur? Ada kompetensi tetapi tidak bisa menimbulkan apa-apa? Bukankah setiap kompetensi akan melahirkan sesuatu? Al-Ghazali mengatakan, bahwa setiap qudrah sudah pasti memiliki taalluq karena berhubungan dengan yang lain. Demikian juga dengan qudrah-nya Tuhan memiliki taalluq dengan semua hal yang kategorinya mumkinat.
Misalnya, seseorang yang mempunyai kompetensi dibidang pertanian, maka taalluq-nya dengan skill atau keterampilan bertani. Jika seseorang memiliki kompetensi menulis, maka taalluq-nya adalah skill kepenulisan/jurnalisme.
Ketika ada seseorang yang profesinya menulis, lalu dia menulis novel, apa nulis novel pekerjaannya Tuhan atau manusia? Menurut akidah Asy’ariyah, yang membuat manusia menulis novel adalah Tuhan, dan Tuhan juga menciptakan qudrah di dalam diri manusia untuk menulis novel (ada kompetensi Tuhan dalam diri manusia), karena qudrah manusia hanya sebatas meng-kasyf novel (berusaha menulis novel).
Kenapa Asy’ariyah mengajukan teori seperti ini?
Jawabannya, supaya kita tetap mengakui peran Tuhan dalam setiap tindakan. “Ya namanya juga orang beriman harus mengimani dan mengakui bahwa dalam setiap tindakan ada qudrah Tuhan,” kata Asy’ariyah. Sederhanya, manusia memang mempunyai taalluq, hanya saja taalluq-nya tidak dalam bentuk al-wuqu’, melainkan dalam bentuk al-kasyf. Terjadinya tindakan manusia bukan karena qudrah-nya manusia, akan tetapi karena qudrah-nya Tuhan.
Betapapun, arti taalluq tidak semata-mata meng-ada-kan sesuatu (al-wuqu’ al-sya’i atau al-maqdur), melainkan berupa al-kasyf al-maqdur. Benar apa kata Al-Ghazali, sangat tidak benar jika dikatakan bahwa al-qudrah ber-taalluq dengan sesuatu yang kalau sesuatu itu terjadi karena qudrah itu. Kenapa? Ada situasi dimana ada qudrah tetapi maqdur-nya tidak ada. Misalnya, Tuhan mempunyai qudrah sejak dari dulu, namun kenapa dunia baru ada belakangan? Bukankah Tuhan sudah ada sejak abadi, tetapi kenapa baru muncul alam raya belakangan?
Menurut astronomi modern umurnya alam 10,4 miliar tahun lalu. Nah, sebelum 10,4 miliar berarti qudrah-nya Tuhan menganggur, tidak ada taalluq-nya, dalam hal ini, jika artinya taalluq bermakna meng-ada-kan sesuatu. Tuhan mempunyai qudrah tetapi ternyata tidak ada taalluq disana, tidak meng-ada-kan sesuatu. Artinya, ada periode ketika qudrah-nya Tuhan menganggur dan menunggu situasi yang tepat untuk taalluq.
Sama seperti seorang penulis. Pada saat penulis tidur, maka kemampuan/skill menulisnya menganggur, tidak berfungsi. Dengan demikian, qudrah-nya dia yang bisa menulis sekarang tidak terpakai akibat tidur. Artinya, pada saat itu qudrah tidak mempunyai taalluq, sekalipun ada taalluq maka ia akan menunggu situasi tepat jika qudrah sudah ber-taalluq. Yaitu ketika si penulis bangun tidur lalu membuka laptop dan menulis, barulah qudrah-nya ber-taalluq (sebelumnya berarti tidak ber-taalluq, melainkan menunggu taalluq).
Memang secara konseptual tidak masuk akal (menunggu taalluq). Karena itu, solusi yang tepat seperti dikatakan oleh Al-Ghazali, bahwa taalluq tidak hanya bermakna al-ijad wa al-wuqu’ (meng-ada-kan dan terjadinya sesuatu), melainkan bisa bermakna al-kasyf dan ragam makna-makna lainnya.
Gus Ulil mengatakan bahwa, qudrah itu maknanya tidak hanya meng-ada-kan, karena makna meng-ada-kan hanya milik Tuhan. Akan tetapi, jika sekiranya qudrah itu berkenaan atau berada dalam kasus-kasus manusia, maka qudrah bermakna “mengusahakan sesuatu”. Dalam hal ini, posisi Asy’ariyah tidak sama dengan Muktazilah dan Jabariyah.
Tak hanya itu, lanjut Gus Ulil, adanya qudrah tidak menjamin adanya maqdur. Demikian juga tidak adanya maqdur juga tidak berarti tidak adanya qudrah, melainkan adanya maqdur sudah otomatis adanya qudrah (meskipun qudrah tidak mesti meng-ada-kan maqdur).
Syahdan. Pada akhirnya, kata Al-Ghazali, Anda hanya akan berakhir pada satu pilihan saja yaitu, manusia mempunyai qudrah dan Tuhan mempunyai qudrah. Namun, jika dibandingkan antara qudrah manusia dengan qudrah Tuhan, maka qudrah manusia tidak ada apa-apanya sama sekali.
Ringkasnya kata Gus Ulil, jika Anda menyadari akan suatu kebenaran bahwa ada kemiripan antara ketidakmampuan manusia dan Tuhan, maka yang paling mungkin qudrah-nya non-aktif adalah qudrah-nya ciptaan Tuhan. Sebab, qudrah-nya Tuhan sudah diatas sempurna dan tidak mungkin non-aktif. Wallahu a’lam bisshawab.
*) Alumni PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo dan PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo. Penulis juga kontributor tetap di E-Harian Aula Digital Daily News Jatim.