Oleh Irna Maifatur Rohmah
Perkembangan teknologi tidak bisa dibendung selama masih ada peradaban manusia. Sifat dasar manusia yang tidak pernah puas dengan suatu pencapaian mendorong manusia untuk selalu belajar dan berkembang. Oleh sebab itu, teknologi semakin canggih dan dunia kini mulai bergeser ke dunia maya.
Agar tidak ketinggalan zaman dan tertinggal peradaban, mau tidak mau manusia harus ikut dan menggunakan kemudahan yang ditawarkan perkembangan tersebut. Tak ubahnya seorang santri. Pandangan khalayak umum terhadap santri yang kolot dan tidak melek teknologi, semestinya harus dibuktikan oleh santri itu sendiri.
Banyaknya khazanah keilmuan di pesantren kini tidak hanya bisa disampaikan melalui tatap muka dengan Yai. Dengan kemudahan teknologi, media sosial bisa menjadi salah satu upaya untuk mensyiarkan agama. Dalam hal ini, santri harus berperan aktif untuk mewujudkan misi tersebut. Ketika Yai mengaji tsurats di lingkup pesantren atau majlis ilmu, santri bisa mengulang kembali apa yang disampaikan Yai melalui tulisan. Sehingga apa yang disampaikan bisa terdokumentasi serta bisa dikaji kembali di lain waktu.
- Iklan -
Hal ini senada dengan apa yang disampaikan oleh Pramudya Ananta Toer, “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian”. Jadi untuk menjaga dan menjadi penyambung antar generasi, menulis salah satu solusi yang ditawarkan.
Di sisi lain, ada ungkapan, “Ikatlah ilmu dengan tulisan”. Hal ini juga memperkuat bagaimana menulis bisa mengabadikan suatu momen atau pemikiran tertentu. Dengan itu, santri yang sudah biasa mendengar kalam-kalam hikmah sepantasnya bisa menuangkan kembali dengan bahasa dan kebutuhan diri sendiri atau masyarakat secara umum.
Namun, kemudahan teknologi membentuk masyarakat untuk menginginkan sesuatu yang singkat. Sederhananya, informasi yang sempit dan tidak tau sumber asalnya langsung dipercaya. Padahal perlu validasi terlebih dahulu agar tidak menjadi sesat dan menyesatkan. Hal ini bisa dilihat dari maraknya video pendek atau poster kutipan dari sesuatu yang sumbernya belum bisa dipastikan benar.
Sebagai seorang santri yang kritis, hal tersebut kadang membuat risih ketika menjelajahi sosial media. Sebab itulah, keresahan yang dirasakan bisa disalurkan untuk membuat karya-karya yang bersumber dari tsurat yang sudah dipelajari di pesantren. Menulis hal pertama yang harus dilakukan. Dengan menulis, apa yang ingin disampaikan bisa dikembangkan sesuai kebutuhan masyarakat serta menyesuaikan dengan kondisi, namun tidak meninggalkan atau mengganti dasar dari apa yang ada di tsurat.
Berhubung media yang beragam, media instan dan cepat seperti Youtube, Instagram, Tiktok, dan lainnya memiliki peminat yang tinggi. Mau tidak mau, santri harus mengikuti apa yang sedang trend di masyarakat agar bisa menyampaikan tepat sasaran. Santri harus mengingat pepatah Jawa, “Ngeli tur ora keli.” Yang mana santri harus mengikuti arus yang ada di masyarakat namun tidak tenggelam di dalamnya. Santri harus menjadi creator suatu konten, bukan hanya penikmat saja. Idealisme sedikit diturunkan untuk mencapai misi syiar agama tersebut. Namun, media tersebut bukan seutuhnya berupa tulisan. Bisa berbentuk video dan juga poster sederhana.
Hal ini senada dengan Dika Angkasa Putra Nasution atau yang kerap disapa Raditya Dika. Dengan ketertarikkannya pada story telling, dia membawa story telling ke dapan wadah yang berbeda sesuai dengan apa yang digemari masyarakat. Dia bisa membawa cerita dalam bentuk stand up comedy, video pendek, bahkan film. Jika dilihat dari akun sosial medianya, dia memiliki pengikut yang fantastis. Bahkan untuk ikla atau endorsement yang dilakoninya juga berbentuk cerita. Kesemuanya memiliki basic dari menulis.
Hal ini juga sama dengan pesantren yang tidak hanya monoton dan berpikiran kolot bahwa mensyiarkan agama hanya dengan melalui majlis yang face to face. Namun, menggunakan media yang bisa menjangkau berbagai kalangan dalam satu waktu.
Dari sanalah kemampuan menulis dibutuhkan. Untuk membuat video, perlu scrip naskah agar konsep yang dimiliki bisa terealisasi sesuai dengan apa yang diharapkan. Namun, dasar dari menulis tetap ada di pembuatan video. Dengan adanya script, pembuatan video bisa lebih tertata. Apalagi untuk suatu film, memerlukan tulisan untuk membantu mengimajinasikan adegan terlebih dahulu.
Dunia menulis tidak hanya terbatas pada lembaran kertas. Namun harus bisa menjelma dan berkolaborasi dalam bentuk karya lainnya. Yang mana pada dasarnya perlu tulisan yang baik sehingga dapat menciptakan karya baru dalam bentuk yang berbeda.
Seiring berkembangnya teknologi, santri harus melek dan menyelaraskan dengan perubahan dan perkembangan tersebut agar tidak tertinggal. Namun di sini bukan hanya penikmat saja, namun sebagai pencipta atau creator.
-Irna Maifatur Rohmah, Alumni UIN Prof KH Saifuddin Zuhri Purwokerto, Pondok Pesantren Nurul Iman