Oleh: Salman Akif Faylasuf*
Hakikatnya semua manusia pada akhirnya akan mengalami kematian, dan akan dibangkitkan kelak di akhirat (karena ada kehidupan abadi setelah kematian). Sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits, Jabir Ra mengemukakan bahwa Rasulullah Saw. bersabda: “Kelak setiap hamba dibangkitkan sesuai dengan keadaan amal perbuatan yang sedang dikerjakannya ketika ia mati.” (HR Muslim).
Jelasnya, kata Sayyidina Ali, jalan yang akan kita tempuh sama dengan jalannya orang-orang terdahulu, yaitu kematian. Semula mereka hidup dalam kenyamanan dan kesenangan-kesenangan dunia, pada saat tiba kematiannya, dalam kubur mereka akan terasing dan merasa sendirian walaupun kuburan-kuburan yang lain sangat berdekatan dengannya. Bagaimana tidak kesepian! Mereka justru sibuk sendiri dalam rangka untuk rekapan amal waktu hidup di dunia.
Tak hanya itu, selain tidak ada hubungan, setiap waktu ia selalu merasakan ketidaknyamanan. Ia tidak sempat berkunjung satu sama lain. Bagaimana bisa bersilaturrahim sementara lobang kuburan sedang menjepit mereka. Tentunya, dari mereka siapa yang memiliki amal baik sewaktu di dunia, maka ia akan mendapatkan tempat yang nyaman, dan begitu sebaliknya.
- Iklan -
Gus Ulil mengatakan, setelah datang kematian, mereka tidak mungkin hidup kembali untuk menikmati kemegahan-kemegahan dan nikmatnya dunia. Alih-alih hidup untuk menikmatinya, justru mereka akan mempertanggungjawabkan harta-harta yang mereka miliki di dunia. Ia akan terus-menerus ditanya sampai hari kebangkitan.
Sayyidina Ali berkata, “Bagaimana jika kalian menyaksikan sendiri kehidupan setelah kematian, dan ditunjukkan isi hati-hati kalian. Kalian akan diberhentikan di depan seorang raja yang agung (Allah Swt), maka terbanglah hati-hati manusia karena takut akan dosa-dosanya di masa lampau. Hijab dan tabir-tabir dari kalian akan disingkapkan, maka tampaklah cacat (dosa) dan rahasia dari kalian. Di sanalah semuanya akan mendapatkan balasan dari apa yang kalian yang kalian lakukan.”
Dalam al-Qur’an surah An-Najm Allah Swt. berfirman: “Dan milik Allah-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. (Dengan demikian) Dia akan memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat jahat sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan dan Dia akan memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik dengan pahala yang lebih baik (surga). (Yaitu) mereka yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji, kecuali kesalahan-kesalahan kecil. Sungguh, Tuhanmu Maha Luas ampunan-Nya. Dia mengetahui tentang kamu, sejak Dia menjadikan kamu dari tanah lalu ketika kamu masih janin dalam perut ibumu. Maka janganlah kamu menganggap dirimu suci. Dia mengetahui tentang orang yang bertaqwa.” (QS. An-Najm [53]: 31-32).
Ringkasnya, ayat ini menyatakan bahwa semua orang-orang yang berbuat baik akan diberi ganjaran kebaikan dengan dimasukkan ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai dan memberi kesenangan yang tidak pernah terlintas di hati manusia. Pun, juga membalas orang-orang jahat sesuai dengan kejahatan yang dilakukannya karena hatinya tertutup oleh dosa-dosa besar dan kecil.
Di ayat yang lain, Allah Swt. berfirman: “Dan diletakkanlah kitab (catatan amal), lalu engkau akan melihat orang yang berdosa merasa ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata, “Betapa celaka kami, kitab apakah ini, tidak ada yang tertinggal, yang kecil dan yang besar melainkan tercatat semuanya,” dan mereka dapati (semua) apa yang telah mereka kerjakan (tertulis). Dan Tuhanmu tidak menzhalimi seorang jua pun.” (QS. Al-Kahfi [18]: 49).
Secara tidak langsung, sekali lagi, pidato Sayyidina Ali ini mengingatkan pada kita semua bahwa, hakikatnya manusia akan mengalami nasib yang sama, yaitu kematian. Itu artinya, kata Gus Ulil, jangan menganggap dunai sebagai tempat yang mutlak dan tempat yang hakiki. Dalam hal ini bukan berarti kita tidak membutuhkan dunia (kekayaan), akan tetapi yang tidak dibolehkan adalah memperlakukan kekayaan sebagai hal yang segala-segalanya. Harus ada jarak dengan kekayaan.
Penting juga dicatat, bahwa pada hari kiamat kelak, segenap umat manusia akan dikumpulkan di padang Mahsyar dan menghadapi hari perhitungan. Segala amalnya akan dilihat dan ditimbang. Dam amalan pertama yang akan dihisab di pengadilan Allah Swt. kelak adalah shalat, bukan dunia (kekayaan).
Dalam sebuah hadits Rasulullah Saw. bersabda: “Sesungguhnya amal yang pertama kali dihisab pada seorang hamba pada hari kiamat adalah shalatnya. Maka, jika shalatnya baik, sungguh ia telah beruntung dan berhasil. Dan jika shalatnya rusak, sungguh ia telah gagal dan rugi. Jika berkurang sedikit dari shalat wajibnya, maka Allah Ta’ala berfirman: “Lihatlah apakah hamba-Ku memiliki shalat sunnah.” Maka disempurnakanlah apa yang kurang dari shalat wajibnya. Kemudian begitu pula dengan seluruh amalnya.” (HR. Tirmidzi).
Dari sini paham, bahwa shalat adalah amalan pertama yang akan dipertanyakan dari seorang muslim pada hari kiamat nanti. Lebih dari itu, shalat adalah tolak ukur untuk mengetahui kualitas seorang muslim. Karena dikatakan, bahwa jika shalatnya baik, maka baiklah ia. Begitu juga sebaliknya.
Berkata sebagian orang yang bijak, “Hari-hari yang kalian lewati itu adalah seperti panah-panah, dan manusia seperti target-target, dan waktu akan memanah kepadamu setiap hari dengan panah-panahnya. Dan waktu akan merusak kamu dengan malam dan harinya. Maka berapa lamakah berlangsungnya keselamatanmu setelah jatuhnya panah-panah.”
“Jika disingkapkan kepada engkau hari-harimu (kekuranganmu), maka engkau akan merasa cemas dan ketakutan. Engkau akan merasa berat dalam menjani hidup. Akan tetapi Allah Swt. tidak mentakdirkan manusia hidup dikuasi kecemasan. Dan dengan lupa dari keburukan-keburukan dunia, maka bisa dirasakan kenikmatan-kenikmatan dunia (bisa menikmati makan yang lezat karena lupa akan akibat-akibat makanan itu).”
Tak hanya itu, lanjut petuah orang bijak, “Dan sesungguhnya jika dunia direnungkan, maka ia lebih pahit dari pada buah yang pahit. Ketika engkau menggigit untuk merasakannya, maka ia akan merasakan pahit diantara pahit-pahitnya buah. Dan dunia akan membuat lumpuh dengan kecacatannya bagi orang-orang yang menggambarkannya (merenungkannya).”
Orang-orang ahli hikmah berkata, “Dan telah dimintai untuk menggambarkan kadar kelanggengan dunia. Bahwa dunia adalah waktu yang kembali kepada engkau (sekedipan mata). Sebab, waktu yang sudah lewat engkau tidak akan pernah memilikinya. Sebaliknya, waktu yang belum datang, maka engkau tidak akan mengetahuinya. Waktu adalah hari yang akan datang kepadamu. Ketika waktu siang berganti dengan waktu malam, maka engkau akan menyesali waktu siang, dan begitu seterusnya (malam akan seperti orang belasungkawa karena kehilangan siang). Dan waktu akan melipat engkau (seperti lipatan yang melipat-lipat).”
Semula, kata Gus Ulil, kita berkumpul jadi satu, maka suatu waktu akan dibuat cerai-berai oleh waktu. Jelasnya, waktu yang lampu akan mendatangi kita. Yang sudah lampau akan menghilang, sementara yang baru datang belum kita akan memiliki dan menikmatinya. Dan yang dimiliki dan dinikmati sekarang adalah waktu kita yang sesungguhnya. Itulah gambaran dunia. Wallahu a’lam bisshawab.
*) Alumni PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo. Sekarang Nyantri di PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo.