Cerpen Ilham Wahyudi
Pernahkah kau mendengar kota yang isinya burung-burung? Sehingga tak satu pun kau temukan makhluk yang berjalan atau melata selain burung.
Meskipun berisi burung-burung, kota itu terlihat begitu megah dan mewah. Fasilitasnya tak kalah dengan kota-kota besar di dunia. Jalan raya, taman, rumah sakit, gedung sekolah, serta rumah ibadah begitu lapang, panjang, dan besar-besar. Begitu pula lampu-lampu di kotanya; menyala sepanjang hari. Bak kota glamor, namun sekaligus boros. Dan yang tak kalah mencengangkan, gedung-gedung pencakar langit juga sangat banyak di kota itu.
Aku yakin, bila kau singgah ke kota itu, pastilah kau akan terperanjat. Namun setelahnya, kau pasti ingin menetap.
- Iklan -
Sebagai sebuah kota layaknya kota yang berpenghuni, kota burung pun memiliki pemimpin. Setiap 7 tahun sekali burung-burung memilih pemimpin yang kemudian diangkat penjadi kepala kota.
Menariknya, jabatan kepala kota diberikan secara bergilir kepada setiap komunitas burung. Belum pernah perwakilan satu komunitas burung memimpin sampai dua kali atau dua periode. Penyebabnya, tak lain jumlah komunitas burung yang menunggu giliran sangat banyak. Tetapi bila kota itu berumur panjang, dan setiap komunitas konsisten menjalankan peraturan yang telah mereka sepakati, mungkin saja suatu saat ada komunitas burung mendapat giliran lebih satu kali.
Di kota burung, penghuninya hidup sesuai fitrah. Burung-burung pemakan daging serta ikan seperti: Elang, Bangau, Rajawali, atau Gagak, pagi-pagi sudah pergi mencari mangsa ke hutan pinggir kota, dan kembali saat matahari tenggelam. Sementara burung-burung pemakan buah dan biji-bijian seperti: Pipit, Kutilang, Merbah, Cucak, Merak, Punai, Nuri, cukup mencari makan dari pohon-pohon yang tumbuh di dalam kota.
Biasanya setelah lelah mencari makan, burung-burung santai di rumah bersama anak-anak mereka, atau berkumpul di tempat terbuka seperti taman sambil bercerita tentang aktivitas mereka.
Jika begitu keseharian burung-burung, apa perlunya kepala kota, fasilitas megah, dan gedung-gedung pencakar langit di kota burung?
Tentu saja kepala kota masih sangat penting. Ia bertugas memastikan semua peraturan kota berjalan dengan benar. Ia juga menjadi penegak keadilan jikalau komunitas burung mengalami pertikaian, atau melanggar peraturan. Bila komunitas burung sedang kejatuhan ekonomi (ketersediaan pakan) maupun bencana, kepala kota harus mampu menemukan jalan keluar bagi komunitas burung terdampak. Namun yang paling utama dari semuanya, kepala kota burung sesungguhnya adalah simbol perdamaian dan kesejahteran burung-burung. Jika itu tidak tercapai, maka sang kepala kota dianggap gagal dan memalukan.
Mengenai fasilitas megah di kota burung, sebenarnya itu peninggalan manusia yang pernah hidup di kota burung. Tetapi akibat keserakahan serta keterlupaan manusia bersyukur, semua yang hidup pada saat itu mendadak mati. Menurut cerita yang beredar, sebuah wabah penyakit menjadi penyebabnya. Akan tetapi burung-burung tidak pernah ambil pusing, atau mencari tahu kebenaran cerita itu. Yang mereka tahu, saat mereka datang, kota sudah kosong tanpa penghuni.
Awalnya komunitas Gagak yang pertama sekali ada di kota burung. Merekalah yang memakan mayat-mayat penduduk kota yang bergelimpangan mati di jalan-jalan, rumah, dan gedung-gedung pencakar langit. Lambat laun, komunitas burung lainnya satu persatu menetap di kota burung. Sebagai penghargaan kepada komunitas Gagak, jabatan kepala kota yang pertama diberikan kepada perwakilan komunitas Gagak.
Akan tetapi, belakangan ini kota burung mendadak terasa begitu sesak dan beracun. Karena teramat sesak, sebagian burung-burung ingin pindah mencari kota lain yang lebih baik. Hanya saja karena setiap komunitas burung sudah bersumpah setia; suka-duka—hidup-mati di kota burung, burung-burung pun mau-tidak mau terpaksa tetap bertahan.
Burung-burung itu sesungguhnya bukan sedang ketiban sial terkena musibah kebocoran reaktor nuklir atau lab kimia raksasa—yang mengakibatkan udara kota burung menjadi terasa sesak dan beracun. Tetapi beracun dan sesak di sini semata cuma perkara hubungan antara komunitas burung yang mengalami kemerosotan. Sehingga pertikaian antara komunitas burung terkadang tidak dapat dihindari. Dan kemerosotan itu murni diakibatkan tidak hadirnya kepala kota sebagai sokoguru di antara komunitas burung.
Kepala kota pada periode kali ini hanyalah burung berjas-berdasi yang lebih sering mengurung diri dalam kantor resminya, di tengah kota. Dia hanya keluar saat proyek-proyek tertentu dilaksanakan di kota burung.
Kenyataan itu semakin diperparah dengan kebiasaan kepala kota yang suka mengubah peraturan-peraturan yang sudah ia buat sendiri. Misalnya soal pajak pakan yang selama ini tidak ada, mendadak menjadi ada. Namun, ketika beberapa komunitas burung melakukan protes, kebijakan itu mudah belaka ia batalkan.
Baru-baru ini, kepala kota begitu senang hati menerima permintaan para Singa lapar yang ingin memburu mangsa di hutan pinggir kota—yang notabenenya masih termasuk wilayah kekuasan burung-burung. Kontan burung-burung seperti: Elang, Bangau, bahkan Gagak bergerak melancarkan protes. Tetapi dengan angkuh dan sombong, kepala kota malah memerintahkan komunitas Rajawali mengintimidasi burung-burung yang melakukan protes.
Sebenarnya sudah banyak komunitas burung selain Elang, Bangau dan Gagak yang tidak menyukai perilaku serta kebijakan kepala kota. Hanya saja komunitas burung yang lain merasa tidak memiliki fisik yang kuat. Sehingga mereka pun akhirnya hanya bisa pasrah pada keadaan yang sudah begitu jauh berubah.
“Kita tidak bisa membiarkan kondisi ini terus terjadi,” celetuk Merpati.
“Tapi bagaimana caranya mengalahkan pasukan Rajawali yang kuat itu?” sambar burung Pipit yang sadar kondisi fisiknya tak sekuat Rajawali.
Begitulah bisik-bisik komunitas burung setiap hari. Bisik-bisik yang pada akhirnya hanya menjadi uap di udara. Tanpa jalan keluar, tanpa penyelesaian yang jelas. Peluang mereka hanya tinggal pada pemilihaan kepala kota baru yang waktunya masih beberapa tahun lagi. Namun peluang itu juga sepertinya semakin kabur, sebab beberapa bulan yang lalu, kepala kota melalui komunitas-komunitas burung yang mendukungnya telah pula berani mengusulkan jabatan kepala kota burung boleh menjadi dua periode, bahkan lebih.
Komunitas burung yang tidak setuju pun kembali protes. Tetapi—lagi-lagi—mereka tidak kuasa melawan intimidasi pasukan Rajawali yang bukan hanya menggertak belaka, melainkan sudah pula berani melukai komunitas burung yang dinilai pembangkang dan pemberontak. Tentu saja suasana kebatinan burung-burung dipenuhi ketakutan. Pelan-pelan timbul pula rasa saling curiga di antara komunitas burung. Mereka takut menjadi korban, atau mungkin dilaporkan oleh komunitas burung yang mendukung kepala kota.
Ketakutan demi ketakutan terus disebarkan kepala kota kepada burung-burung yang protes. Sang kepala kota paham betul bila burung-burung semakin takut, maka kekuasaannya akan semakin langgeng tak tergantikan.
Protes demi protes sebenarnya masih dilancarkan komunitas burung yang tidak setuju. Namun karena setiap aksi protes selalu memakan korban, lambat laun mereka pun menjadi putus asa. Pikiran burung-burung akhirnya teralihkan kepada penyelamatan diri mereka masing-masing.
¤ ¤ ¤
Syahdan, kebusukan tetaplah kebusukan. Sehebat apa pun kebusukan dipertahankan, ia akan tetap punah karena itulah fitrahnya. Begitu pula halnya kemunculan tunas yang baru, ia tetap akan tumbuh menggantikan yang busuk, walaupun segala cara dilakukan untuk menghentikannya. Begitulah fitrah makhluk; yang busuk digantikan yang baru.
Meski keberanian burung-burung di kota burung sudah hancur berkeping-keping akibat teror yang disebarkan Rajawali, tiba-tiba muncul seekor burung pembebas yang berani dan teguh. Seekor burung ksatria yang memilih untuk tidak dikenal. Tapi dengan keberaniannya, ia merapikan kembali marwah burung yang telah kocar-kacir pergi entah ke mana. Ia juga menyuntikkan jiwa dan semangat baru bagi burung-burung untuk kembali menjadi burung merdeka sesuai fitrahnya.
Maka pada malam yang terang, dari balik jubahnya yang kelam, paruh si pembebas terlihat berkilauan ditimpa cahaya bulan. Ia pun mulai menyusup ke gedung-gedung pencakar langit tempat kawanan Rajawali bermukim setelah seharian menebarkan ketakutan di kota burung. Dengan ayunan paruhnya yang runcing, ditebasnya kawanan Rajawali itu tanpa sisa. Setelah berhasil menebas kawanan Rajawali, ia pun terlihat terbang menuju kediaman kepala kota.
Keesokan hari saat burung-burung mulai beraktivitas, mereka dikejutkan dengan banyaknya bangkai Rajawali yang hancur berserakan di bawah gedung-gedung pencakar langit. Awalnya burung-burung terlihat takut. Namun setelah melihat Itik sang kepala kota terbujur kaku di tengah-tengah kota, pelan-pelan terbit senyum kebebasan dari paruh-paruh mereka yang selama ini tidak pernah lelah berdoa. Sungguh sebuah peristiwa yang mengharukan sekaligus menggetarkan. Peristiwa yang tidak akan pernah dilupakan burung-burung di kota burung.
Akasia 11CT
*ILHAM WAHYUDI, lahir di Medan, Sumatera Utara. Ia seorang juru antar makanan di DapurIBU dan seorang Fuqara di Amirat Sumatera Timur. Beberapa cerpennya ada yang dimuat dan ada yang ditolak. Buku kumpulan cerpennya “Kalimance Ingin Jadi Penyair” akan segera terbit.