Oleh Irna Maifatur Rohmah
Tanggal 1 Oktober 1919 di Sokaraja Tengah, Banyumas, Jawa Tengah dilahirkan seorang laki-laki yang setelahnya dikenal oleh hampir seluruh rakyat Indonesia. Prof. K.H. Saifuddin Zuhri merupakan anak dari pasangan suami istri K.H. Mohammad Zuhri dan Siti Saudatun. Ibunya merupakan salah satu cucu Kiai Asraruddin, ulama berpengaruh dan memimpin pesantren di daerahnya yang makin besar ketika beliau tidak bisa menghindar dari penunjukan bupati Banyumas untuk menjadi penghulu. Pasangan keluarga sederhana yakni sang ibu pengrajin batik dan sang ayah seorang petani ini tak lekang untuk mendoakan putranya, Saifuddin Zuhri agar kelak menjadi ‘orang besar’.
Masa kecil Saifuddin Zuhri dibesarkan di pesantren di daerah kelahirannya di sebuah pesantren yang tidak masyhur namanya. Ia gunakan masa mudanya untuk mendidik dirinya sendiri untuk hidup prihatin. Di pagi hari beliau belajar di Sekolah Dasar (Umum) dan Madrasah Ibtidaiyah Al-Huda Nahdlatul Ulama dan sorenya mengaji di Sekolah Arab atau Madrasah Diniyah. Dari dua pendidikan itu, beliau mempelajari pemikiran keilmuan barat dan agama Islam tak lupa ia dalami. Di usainya yang masih kanak-kanak ia telah fasih membaca Al-Qur’an dan menamatkan beberapa kitab. Begitu menginjak usia 13 tahun ia berhasil mengkhatamkan kitab Safinah, Qathrul Ghaits, Jurumiyah, serta kitab kuning lainnya. Beliau melakukan hal semacam itu sebab ibunya berpesan agar beliau menyerap habis seluruh ilmu ada pada kiai di desanya itu.
Tidak puas dengan keilmuan yang didapat di desanya, beliau merantau ke Solo di usianya yang 17 tahun. Meskipun kondisi ekonomi yang tidak memungkinkan dengan tekad dan semangat yang membara Saifuddin tetap pergi ke kota Solo. Karena desakan ekonomi beliau berencana untuk bekerja guna membiayai pendidikannya. Ia bekerja menjadi pelayan toko dan hotel, nahas ayahnya mengetahui dan melarang rencananya tersebut. Ia kembali memutar otak agar dapat membayar biaya sekolahnya. Ia memutuskan terjun di dunia kepenulisan dengan melamar sebagai staf koresponden surat kabar Pemandangan dan ditugaskan untuk meliput peristiwa yang terjadi di Solo khususnya di ranah politik. Ia memutuskan pekerjaan selaras dengan bakatnya, menulis. Di sisi lain ia juga membantu surat kabar berbahasa Jawa, Darmokondo, yang terbit di Solo. Berkat penghasilannya itu ia berhasil membayar biaya sekolah di Madrasah Mambaul Ulum sampai kelas VIII, kelas tertinggi. Ia berpindah ke Madrasah Salafiyah sebab pekerjaannya tersebut dirasa menganggu pembelajarannya di Mambaul Ulum dan berhasil diterima di kelas tertinggi. Namun ia hanya mampu bertahan dengan alasan yang sama, sekolah di siang hari. Tak lama ia kembali belajar di lembaga pendidikan Al Islam dan mulai kerasan sebab sekolahnya di pagi hari sehingga tidak menganggu pekerjaannya di siang hari sebagai wartawan. Di sisi lain pelajaran yang diberikan cukup menarik di matanya. Ia sempat meninggalkan bangku sekolah dan pesantren barang beberapa hari pada tahun 1938 guna meliput Kongres Bahasa Indonesia di Gedung Habipraya Solo yang merupakan perkembangan dari Sumpah Pemuda.
- Iklan -
Kiprahnya di Jamiyah NU juga cukup penting baik dalam ormas atau pada saat perjuangan kemerdekaan baik pada Orde Lama maupun pada Orde Baru. Bersama ormas Islam terbesar, beliau memimpin dan melakukan perjuangan bersenjata dan politik untuk mencapai, merebut, mempertahankan dan mengisi kemerdekaan. Beliau juga menyebarkan pandangan Islam Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang identik dengan Islam Rahmatan Lil ‘Alamin sebagai upaya dalam mempertahankan serta mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa. Di usianya yang 19 tahun juga sempat menjabat sebagai ketua Gerakan Pemuda Ansor Nahdlatul Ulama daerah Jawa Tengah Selatan dan Konsul Nahdlatul Ulama Daerah Kedu.
Ketika terjadi gejolak Palagan Ambarawa, beliau diberi amanat menjadi komandon Hizbullah Jawa Tengah dan Anggota Pertahanan Daerah Kedu di bawah komando Jendral Sudirman. Sebab kesungguhannya itu, Saifuddin Zuhri mendapat penganugerahan “Tanda Kehormatan Bintang Gerilya” dari Presiden sesuai dengan SK Presiden Republik Indonesai No. 2/Btk/1965 tanggal 4 Januari 1965. Selain itu beliau juga mendapat hibah tanah dari warga sebab membantu menyelamatkan keluarganya pada masa revolusi kemerdekaan. Tanah itu diberikannya kembali untuk kepentingan warga dan dijadikan pesantren atau lembaga pendidikan Islam. Baginya, pesantren perlu didirikan sebab pesantren menjadi salah satu pondasi dan basis dalam memupuk rasa nasionalisme serta peserta didik mendapat pendidikan secara holistic baik secara mental maupun intelektual.
Pada tahun 1962 beliau diundang ke Istana Merdeka. Ia menerka-nerka undangan tersebut apakah karena urusan DPR atau DPA atau Sekjen NU atau kabar Duta Masyarakat? Namun ternyata beliau diminta untuk menggantikan K.H. Wahib Wahab yang mengundurkan diri sebagai Menteri Agama. Beliau tak langsung mengiyakan penawaran tersebut dan meminta waktu kepada Bung Karno untuk memikirnya kembali barang beberapa waktu. Ini menunjukkan salah satu sikap terpuji yaitu tawaduk dan rendah diri. Lantas beliau meminta pendapat dan sowan kepada beberapa tokoh ulama seperti K.H. Wahab Chasbullah dan K.H. Idham Cholid. Beliau juga menemui K.H. Wahib Wahab untuk meminta petunjuk perihal ini. Setelah menemui ketiganya, beliau menyanggupi penawaran tersebut.
Ketika mengemban jabatan sebagai Menteri Agama, K.H. Saifuddin Zuhri berupaya mengembangkan lembaga pendidikan Islam, IAIN. Usahanya membuahkan hasil IAIN di sembilan Provinsi, hingga kabupaten dan kota. Selain itu beliau juga membuat kebijakan untuk mengirimkan dosen atau mahasiswa untuk belajar di luar negeri.
Meskipun menduduki posisi yang penting beliau tetap tidak gengsi untuk menjalani pekerjaan sebagai pedagang beras di Glodok, Jakarta Pusat. Hal ini mulanya tidak diketahui oleh keluarganya. Beliau biasa keluar selepas salat duha dan mengendarai mobil sendiri dan kembali ketika menjelang zuhur. Hingga putranya memergoki beliau sedang berdagang. Beliau sangat bersahaja dan tidak mau menggunakan posisinya untuk aji mumpung. Bahkan beliau menolak tawaran haji abidin Depag.
Masa hidup K.H. Saifuddin Zuhri sangat disayangkan jika dilupakn begitu saja. Karenanya beliau mengabadikan dalam bentuk buku berjudul “Berangkat dari Pesantren” yang ditulis kurang lebih enam bulan sebelum kepergiannya. Buku ini menjadi saksi yang berharga tentang sejarah, makna perjuangan, pengabdian, dan pengorbanan anak bangsa untuk lahirnya negara yang berdaulat, sejahtera dan maju. Sebagai penulis beliau pun meninggalkan beberapa buku hasil garapannya yang tidak hanya mengangkat tema NU atau masalah politik dalam negeri namun meliputi masalah internasional juga. Tulisannya pun bermacam-macam mulai dari artikel, ulasan dalam tajuk koran, hingga analisis dan esai. Melalui karyanya beliau seolah menyatakan kapada generasi penerus untuk tidak hanya menikmati kekayaan pendahulu namun harus melestarikan tradisi yang baik serta menciptakan hal baru untuk generasi setelahnya.
Pada tanggal 25 Februari 1986 beliau menghembuskan napas terakhirnya. Namun namanya tetap harum di mata bangsa Indonesia khususnya daerah kelahirannya, Banyumas. Kini nama beliau diabadikan dalam sebuah nama perguruan tinggi di Banyumas. (*)
*Irna Maifatur Rohmah, Mahasiswi UIN Prof. Dr. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto. Akun media sosial : ig : irnamaifaturr, twitter : irna_mrr