Cerpen Mahrus Prihany
Kau tahu kawan, aku adalah orang yang paling susah untuk tidur siang dan aku memang tidak pernah melakukannya karena hari-hariku dihabiskan dengan pekerjaan di kantor. Tentu ini hal bagus, hanya kadang ini membuatku agak tersiksa karena akhir pekan saat liburan, sepasang mataku juga susah terpejam saat siang. Tapi anehnya, aku memiliki waktu yang paling nikmat untuk bisa tidur siang meski itu tidak lama. Setelah kaumendengar ceritaku ini, kau bisa jadi akan sangat kesal atau marah padaku meski sebagian – walau dalam hati – ada juga yang setuju denganku.
Aku bisa tidur siang dengan nikmat justru ketika hari Jumat dan saat sedang melaksanakan salat Jumat di masjid. Biasanya mataku akan terpejam lelap sesaat setelah khatib mengucapkan salam pembuka atau pujian pada Tuhan untuk memulai khotbah. Itulah saat tiba-tiba mataku terpejam dengan sendirinya. Aku akan terbangun kembali saat ada ikamah untuk menunaikan salat Jumat. Memang tidur siangku mungkin sebentar, berkisar antara lima belas hingga dua puluh menit atau lebih sedikit beberapa menit dari itu. Durasi tidurku sesuai panjang dan lama sang khatib dalam menyampaikan khotbah.
Aku ingat betul, aku tertidur lelap saat khotbah Jumat itu berlangsung sejak aku lulus dari perguruan tinggi. Dulu tentu aku sangat rajin mendengarkan khotbah Jumat tanpa tertidur. Kau mungkin berkata bahwa aku telah kehilangan pahala besar karena menurut cerita atau katakanlah perkataan para ustaz, khotbah Jumat adalah dua rakaat pengganti salat Zuhur. Itu artinya aku telah kehilangan dua rakaat dan salat Jumatku tak sempurna. Kau juga bisa berkata, betapa aku tak berdaya melawan para iblis yang datang menggoda.
- Iklan -
Jika kau bertanya padaku kenapa aku bisa seperti itu, mungkin jawabannya seakan sedang meledek dan akan sangat menjengkelkan telingamu atau telinga para khatib. Bisa jadi mereka akan mencercaku sebagai seorang yang sungguh telah keluar batas. Aku tentu saja agak merasa segan untuk sembarangan bercerita. Namun ada juga teman dekatku yang selalu bertanya padaku tentang itu setelah cukup lama memperhatikan kebiasaanku saat tertidur. Padahal aku juga tahu, banyak temanku sering pula terkantuk mendengarkan ceramah, hanya mereka tak sepulas diriku saat tertidur.
“Kenapa kau selalu tidur saat khatib sedang berkhotbah?” Tanya Rahmat, rekan kerjaku. Ia adalah orang yang paling ingin tahu tentang kebiasaanku itu.
“Aku merasa mengantuk saja. Mungkin karena lelah bekerja.”
“Tapi aku perhatikan itu selalu saja terjadi, setiap kali. Pada hari lainnya kau juga tak pernah merasa mengantuk karena lelah.”
“Bukankah kau juga sering tertidur?” Tanyaku asal. Tentu aku tak tahu persis jika Rahmat sering tertidur, bukankah aku sedang lelap saat itu. Aku hanya menduga saja. Ingatanku terbang saat aku dulu khusu’ mendengarkan khotbah. Aku sering melihat banyak jemaah terkantuk-kantuk bahkan sebagian sempat tertidur.
“Ya, namun aku tertidur hanya sekejap saja, aku akan terjaga kembali dan mendengarkan khotbah. Tidak sepertimu.”
“Ya, baguslah jika seperti itu.”
“Kau belum menjawab pertanyaanku.”
“Bukankah sudah kukatakan tadi jika aku benar-benar merasa mengantuk.” Rahmat tak puas dengan jawabanku.
Ia sering mengulang pertanyaannya pada hari Jumat lainnya setelah kami pulang dari salat. Aku masih menjawab dengan alasan yang sama. Sungguh aku malas jika kemudian menjadi perdebatan. Banyak hal kecil yang menurutku bukan hal yang subtansial akan menjadi perdebatan terlebih jika itu berkaitan dengan praktik keagamaan. Aku sudah sangat banyak memperhatikan ini. Rekanku itu lalu banyak menasihatiku seperti layaknya para khatib dan penceramah.
Bahkan ternyata Rahmat melakukan lebih dari itu. Ia sering mendramatisir tidur siangku yang paling nikmat. Lebih jauh lagi, ia mulai menganggap kebiasaan tidur siangku itu sebagai bentuk sikap dan pendirianku dan itu sebagai suatu penyimpangan dan penistaan agama. Aku diam saja, tak menanggapinya. Beberapa teman kerja lain ada yang membenarkan pandangan Rahmat bahwa aku semestinya tak melakukan itu, tidur siang saat berlangsung khotbah.
***
Beberapa Jumat ini aku memiliki kebiasaan baru. Aku sengaja melakukan itu. Mungkin yang kulakukan ini keisengan yang agak kurang ajar, namun aku benar-benar sekadar memastikan saja meski aku telah memiliki keyakinan bahwa apa yang kulakukan ini juga bukan hal yang penting, karena pasti akan sama saja dengan dulu saat aku sering dengan khusu’ mendengarkan khotbah. Sesaat sebelum aku benar-benar tertidur, saat khatib akan memulai khotbahnya, aku merekam ceramah sang khatib. Aku akan mematikan rekaman dari ponselku tersebut saat aku terbangun, yaitu saat ikamah dikumandangkan. Setelah itu aku akan mendengar rekaman ceramah tersebut di rumah sepulang kerja atau kadang pada malam hari saat aku akan tidur. Aku dengarkan kembali dengan sungguh-sungguh rekaman itu.
Suatu hari Jumat, Rahmat menanyaiku kembali. Aku katakan padanya jika aku malas menjawabnya. Ia mulai mengguruiku. Aku memasang headset di telinga lalu mendengar ponselku sambil kepala manggut-manggut. Ia jengkel dan marah. Aku biarkan dia dan makin asyik dengan ponselku. Setelah beberapa puluh menit, tak sampai setengah jam kemudian, aku melepaskan headset dari telingaku.
“Menurutku, kau benar-benar keterlaluan,” sungut Rahmat.
“Kenapa?”
“Ya. Kau bukan saja tidak menghargai para khatib. Tapi sikapmu itu bisa memberi contoh yang tidak baik pada orang-orang,” lanjutnya.
“Rahmat, sudah sering kukatakan, banyak orang juga melakukan hal yang sama, tidur saat khotbah. Tapi banyak mereka berpura-pura sedang khusu’ mendengarkannya.”
“Kaumencari pembelaan dan pembenaran.”
“Oh tidak. Ini kenyataan,” tegasku.
“Apapun itu, adalah hal salah kita tidur saat khotbah. Dan yang paling parah, kau seperti sengaja menjadikan momentum khotbah untuk tidur siang.”
“Itulah kita, terlalu sering menyalahkan atau menghakimi tanpa mau mencari tahu penyebab kenapa bisa terjadi seperti itu.
“Memang menurutmu kenapa?” Rahmat bertanya.
“Jawabannya sederhana. Mereka bosan.”
“Ini persoalan ibadah, tak bisa bosan dijadikan alasan.”
“Hmmmmm ….Begini, Mat. Bisa saja kau beranggapan padaku atau beberapa yang lain seperti itu. Tapi yang perlu kau tahu, khusus bagiku, meski aku tidur, aku tahu apa yang khatib sampaikan tadi dalam ceramah.” Aku lalu menyampaikan poin-poin khotbah Jumat tadi. Rahmat melongo saat mendengar aku dengan lancar berbicara tentang materi khotbah padanya.
“Bahkan aku tahu apa yang khatib sampaikan pada khotbah Jumat lalu. Sekarang aku bertanya padamu, juga teman-teman yang lain di kantor ini, ingatkah kau dan mereka tentang ceramah Jumat lalu?” Ia diam saja dan aku memaksanya untuk memastikan apakah ia paham materi tersebut. Akhirnya Rahmat mengulang kembali materi ceramah Jumat lalu yang kutanyakan.
“Ternyata kau tidak menangkapnya dengan baik, Mat.” Aku kemudian menyampaikan ulang ceramah khatib Jumat lalu padanya. Kali ini ia tambah melongo, betul-betul terkesima. Aku lalu meninggalkannya, menyibukkan diri kembali dengan pekerjaanku, membiarkan Rahmat dengan rasa penasarannya.
“Bagaimana kau bisa paham materi ceramah itu?” Cecar Rahmat sore hari sebelum kami pulang. Ia benar-benar tak kuasa memendam rasa ingin tahunya.
“Tidurnya orang berilmu lebih baik dari ibadahnya orang bodoh,” jawabku singkat.
***
Aku memang telah membohongi Rahmat. Materi khotbah yang kuulang di depannya tentu saja dari rekaman ceramah yang kulakukan saat aku tertidur. Tapi sesungguhnya aku sendiri memang sudah sangat paham terhadap materi itu. Rekaman materi tersebut sesungguhnya serupa rekaman ingatanku pada khotbah-khotbah yang aku dengar saat aku masih di bangku sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Puluhan atau belasan tahun, pada hari Jumat aku serasa mendengar materi yang sama. Lebih dari itu, saat aku mendengar ceramah di televisi dan radio, sungguh tak jauh berbeda dengan yang kudengar seperti pada khotbah jumat. Sebenarnya karena rasa bosan yang sangat itulah yang membuat rasa kantukku begitu hebat meski aku orang yang tidak pernah tidur siang.
Khotbah Jumat bagiku sesungguhnya sangat sakral dan begitu penuh makna. Jemaah yang datang selalu penuh – aku yakin di masjid tempatmu juga begitu – dan itu suatu kesempatan yang sangat berharga. Para khatib bisa memanfaatkan itu sebagai momentum untuk membangun nalar kritis umat ini. Para khatib bisa menyampaikan banyak realitas yang terjadi di masyarakat sebagai media untuk menyikapi dan mengatasi banyak persoalan umat dan masyarakat. Tapi yang kudengar selalu saja soal dosa dan pahala atau surga dan neraka juga ancaman-ancaman, siksaan, dan azab Tuhan.
Apakah para khatib itu tidak takut karena telah menggambarkan zat Tuhan sebagai yang maha kejam. Misal, saat ada gempa bumi, banjir, dan bencana alam lain, para khatib itu berkata jika itu siksa atau azab Tuhan yang sedang murka akibat perbuatan dosa manusia dengan penjelasan yang begitu normatif dan repetitif. Aku bahkan pernah menjumpai seorang khatib yang sama berbicara hal yang sama dalam Jumat yang berbeda-beda. Dalam hati, aku jadi sering bertanya-tanya, apa yang sesungguhnya mereka baca hingga berbicara hanya yang itu-itu saja.
Sungguh aku bukan merasa sok pintar. Aku justru ingin banyak lebih tahu tentang agama. Aku mulai senang membaca buku-buku agama. Banyak pemikir jenius di sana. Seharusnya para khatib itu juga begitu, berbicara dengan ilmu. Betapa banyak dan luasnya cakupan pembahasan persoalan keagamaan tanpa ada batasan, tetapi mengapa para khatib itu tak mampu. Aku yakin mereka sudah sangat malas belajar karena sudah menganggap diri mereka yang paling tahu dengan sudah menyandang predikat ustaz atau guru. Padahal jika mereka mau, mereka bisa berbuat lebih hebat dan lebih banyak untuk umat ini.
Aku bahkan memiliki tetangga seorang kyai yang luar biasa dengan khotbah Jumatnya yang sangat kontekstual dan mencerahkan. Namanya Kyai Husain. Sungguh sangat sayang dan tak mungkin bagiku untuk tidur jika ia sedang khotbah Jumat. Beberapa kali aku mendengarkan khotbahnya dengan khusu’. Sayangnya aku hampir selalu mendengarkan khotbah Jumat di masjid dekat kantor tempatku bekerja. Tapi pada kesempatan lainnya, saat Kyai Husain sedang memnyampaikan pengajiannya, aku selalu duduk di muka, mendengarkan dan menyimak ceramahnya dengan saksama.
“Untuk apa orang mendengarkan khotbah, ceramah, dan mengikuti pengajian, Pak Kyai?” Tanyaku suatu ketika pada Kyai Husain.
“Agar pandai,” jawab Beliau..
“Untuk apa orang membaca Al-Quran?” Tanyaku lagi.
“Agar pandai. Al-Quran adalah petunjuk dan sumber segala ilmu.”
“Tetapi yang selalu kudengar agar kita mendapat pahala,” sergahku.
“Sesungguhnya itu tidak tepat. Bahkan bisa jadi mereka tidak mendapat pahala,” Jawab Kyai Husain.
“Oh…ya? Ini sungguh mengejutkan. Kenapa bisa begitu?” Aku memang benar-benar terperanjat mendengar itu.
“Orang mengaji, mengikuti majlis ta’lim, mendengarkan ceramah, dan membaca Al-Quran, sesungguhnya agar pandai, dengan kata lain menjadi orang yang memiliki ilmu pengetahuan. Dengan ilmu pengetahuan itu manusia bisa mengatasi segala persoalan hidup dan menjadi maju serta bisa bermanfaat dan bermartabat bagi kehidupan dan dunia. Apa mereka akan mendapat pahala jika tetap saja bodoh walau sudah lama mengaji. Tentu kesalahan juga pada para kyai dan ustaz. Mereka juga manusia yang memiliki kesalahan hanya mereka bisa berlindung di balik jubah, sorban, sarung, peci, dan atribut keagamaan,” terang beliau lagi.
“Wowww…ini sungguh luar biasa, Pak Kyai. Tetapi kenapa aku sering melihat banyak ustaz atau pemuka agama lebih senang membangkitkan rasa sentimen keagamaan hingga yang timbul adalah permusuhan dan kebencian. Betapa perasaan umat mudah tersulut atas nama agama. Sepertinya justru nalar kritis, pemikiran, dan pengetahuan jauh sekali dari mereka?”
“Ya, itu karena materi ceramah hanya seputar dosa dan pahala dengan lingkup terbatas yang difokuskan pada akhirat. Banyak ustaz akhirnya lupa bahwa kita memiliki tanggung jawab di dunia, tanggung jawab pada masyarakat, bangsa, dan negara. Setidaknya tanggung jawab terhadap keluarga. Butuh keluasan keilmuan untuk mengatasi banyak persoalan itu. Bukankah dunia ini ladang dan anak tangga menuju ke akhirat sana.”
Aku ingin bertanya beliau lebih banyak lagi. Tapi tiba-tiba sepasang mataku terbuka. Aku mendengar seorang mengumandangkan ikamah. Ternyata perbincanganku dengan Kyai Husain itu mimpi siang hari Jumat pada tidur siangku yang paling nikmat. Di sebelahku kulihat Rahmat tersenyum begitu hangat. Aku yakin penilaiannya padaku telah berubah pesat, menganggapku seorang yang memiliki kelebihan dan penuh keramat.
Ahhh….! Betapa aku rindu khotbah jumat yang lezat. Aku rindu ceramah dan khotbah Kyai Husain yang cerdas dan ini yang perlu dicatat, sangat bermanfaat untuk umat. (*)
Mahrus Prihany, lahir di Peninjauan, Lampung Utara, pada 17 April 1977. Meluluskan studi di Akademi Bahasa Asing Yogyakarta (ABAYO) dan Komunikasi Penyiaran Islam di STAI Publisistik Thawalib, Jakarta. Pernah nyantri di Ponpes al-Muayyad, Surakarta. Saat ini bergiat di Komunitas Sastra Indonesia Tangerang Selatan (KSI Tangsel), kepala sekretariat Lembaga Literasi Indonesia (LLI), dan Redpel di portal sastra litera.co.id. Karyanya tersiar di sejumlah media massa seperti Suara Merdeka, Fajar Makassar, Batam Pos, Riau Pos, Sumut Pos, Lampung Pos, Bangka Pos, Solopos, Medan Pos, Pontianak Pos, Tanjungpinang Pos, Aceh Post, Pos Bali, Koran Merapi, Utusan Borneo, Singgalang, SKH Amanah, Bhirawa Surabaya, Haluan Padang, Palembang Ekspress, Magelang Ekspress, Padang Ekspress, Rakyat Sumbar, Rakyat Aceh, Rakyat Sultra, Kabar Priangan, Analisa Medan, Majalah Semesta, Majalah Mutiara Banten, Majalah Kandaga, Majalah Apajake, Majalah Elipsis, Tabloid Target, maarifnujateng.or.id, kareba.id, lensasastra.id, iqra.id, gadanama.my.id, magrib.id, sastra.co.id, himmahonline.id, detik.com, cendananews.com, sabah360online.com, madahetam.com, ayobandung.com, ngewiyak.com, madrasahdigital.co, labrak.co, nongkrong.co, Dinamika News, Cakra Bangsa, Lampung News, Radar Bromo, Radar Malang, Radar Kediri, Radar Madiun, Radar Banyuwangi, dan Radar Mojokerto. Karyanya juga tersiar dalam sejumlah antologi bersama. Kumpulan cerpen tunggalnya yang telah terbit adalah Raliatri (2016), Seseorang yang Menunggu di Simpang Bunglai (2019), Bidadari dalam Secangkir Kopi (2021), dan Di Way Kulur, Tak Ada Lagi yang Kucari (2022)