Oleh: Muhammad Nur Faizi
Seorang pemerhati pendidikan yang berasal dari Amerika Serikat, Ivan Illich mengutarakan pendapatnya terkait pendidikan di masa pandemi. Menurut Ivan Illich, pandemi mengubah sistem pendidikan menjadi lebih ringkas; penyempitan ruang pengajaran, fleksibelitas waktu pengajaran, dan keluasan materi yang dapat diakses melalui perangkat digital. Keuntungan tersebut menurut Ivan Illich berbanding terbalik dengan tujuan dasar dari pendidikan. Sekolah yang tadinya dijadikan sebagai lembaga perbaikan kualitas peserta didik, kini sudah tidak tepat sasaran dan kehilangan prinsip kemanusiaan.
Ivan Illich lebih menyukai suasana sekolah yang terdapat guru, kurikulum, serta sejumlah peraturan yang menuntun siswa ke arah yang lebih beradab. Sekolah yang berbentuk bangunan akan menjadi lingkungan yang kondusif untuk belajar. Terdapat peringkat, kelas-kelas, dan murid-murid yang membentuk lingkar belajar, semua itu menjadi komponen wajib penyusun kurikulum dan nilai kemanusiaan.
Akan tetapi, segala bentuk laku konvensial dalam pembelajaran, kini harus digantikan dengan metode yang lebih modern karena adanya pandemi yang membawa ketakutan pada penyebaran virus membahayakan. Akibatnya, proses pembelajaran yang dahulu dilakukan secara tatap muka, kini harus dilakukan secara jarak jauh. Sehingga komponen-komponen yang dahulu ada dalam pendidikan, terpaksa hilang dan tergusur oleh keadaan.
- Iklan -
Persoalan pendidikan digital tidak terhenti pada pergeseran perilaku peserta didik. Ada sejumlah masalah lain yang mengiringi perpindahan bentuk pendidikan ke sistem digital. Seperti halnya sesuatu yang baru, identifikasi yang dilakukan selalu membawa pada temuan permasalahan baru yang harus segera diselesaikan. Bahkan banyaknya permasalahan yang ditimbulkan, menggiring beberapa lembaga penelitian untuk melakukan sejumlah survei terkait pembelajaran digital.
Salah satu survei yang dilakukan oleh Tanoto Foundation, yaitu organisasi yang didirikan oleh Sukanto Tanoto dan Tinah Bingei Tanoto pada tahun 1981 sebagai organisasi filantropi keluarga independen menggambarkan betapa kompleksnya permasalahan pendidikan digital. Survei dari Tanoto Foundation mengungkapkan jika Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) yang dilakukan oleh 332 kepala sekolah, 1.368 guru, 2.218 siswa, dan 1.712 orang tua mengakarkan tiga permasalahan utama.
Pertama, 56% orang tua yang mengikuti survei mengaku bersikap tidak sabar dalam menghadapi kompetensi anak yang duduk di SD/MI. Sedangkan 34% orang tua merasa tidak sabar untuk menghadapi anaknya yang duduk di jenjang SMP atau setingkatnya. Rasa tidak sabar ini ditimbulkan oleh berbagai macam kesibukan orang tua dalam mengelola pekerjaan. Sekolah bagi orang tua sudah dijadikan tempat penanaman karakter dengan kompetensi yang mumpuni dari tenaga pendidik. Sehingga orang tua merasa tidak siap apabila semua tanggung jawab yang ada pada sekolah dilimpahkan pada dirinya.
Kedua, 19% orang tua kesulitan untuk menjelaskan materi SD/MI. Sedangkan untuk jenjang SMP/MTS sebesar 28% orang tua sulit menjelaskan materi pelajarannya. Input pendidikan yang tidak setara antara orang tua dan anak menjadi penyebab utama sulitnya orang tua menjadi pengajar yang baik dalam pelajaran sekolah. Selain itu, faktor usia dari orang tua juga mempengaruhi kemampuan mereka untuk menerima dan mempelajari hal-hal baru.
Ketiga, 15% orang tua tidak mampu memahami materi pelajaran di jenjang pendidikan SD/MI. Dan 24% orang tua tidak mampu memahami materi SMP/MTS. Materi pembelajaran yang terus berkembang di setiap zamannya, menuntut orang tua untuk meng-upgrade keilmuannya. Akan tetapi, waktu yang terlalu mendadak untuk melakukan pembaruan ilmu, membuat orang tua tidak mampu memahami materi sepenuhnya.
Ketiga permasalahan tersebut menggambarkan secara jelas betapa pendidikan di era pandemi masih menyimpan banyak permasalahan. Apalagi orang tua yang berada di posisi sentral, kompetensi yang dimiliki oleh mereka tidak sepadan dengan pelajaran anaknya. Pada akhirnya, fungsi utama dari sekolah tidak bisa dicapai dengan pembelajaran yang dilakukan di rumah ataupun secara digital.
Tidak semua orang tua mempunyai latar belakang pendidikan yang menjanjikan. Masih banyak orang tua yang tidak mempunyai kesempatan emas untuk merasakan dunia sekolah. Banyak digambarkan dalam sebuah serial drama seperti “Laskar Pelangi” yang mengangkat pendidikan anak perdesaan yang mempunyai akses serba terbatas.
Lingkungan yang kurang mendukung, media yang terbatas, serta beban pemenuhan ekonomi yang juga ditanggung peserta didik.
Selain itu, “Laskar Pelangi” juga menggambarkan peran orang tua yang masih minim dalam dunia pendidikan. Aspek ekonomi masih merajai dan dianggap sebagai hal pokok, dibandingkan dengan pendidikan anaknya. Sehingga keikutsertaan orang tua menjadi sangat nihil. Dan sangat jelas orang tua tidak selalu mempunyai kemampuan yang mumpuni untuk mengajarkan anaknya. Oleh karena itu, diperlukan peran guru yang harus selalu mendampingi pengajaran anak, dimulai dari aspek perilaku hingga kemampuan untuk menyerap pembelajaran.
Walaupun pendidikan digital terasa simpel dan menyenangkan, namun nilai kebajikan yang telah dicapai oleh pendidikan konvensional tidak dapat tercapai sepenuhnya di pendidikan digital. Peran guru yang hilang, menciutnya lingkungan sosial yang diciptakan oleh siswa, serta berkurangnya tujuan dari sebuah kurikulum, menjadi kelemahan penerapan pendidikan digital. Adaptasi juga memerlukan kreatifitas lebih agar dapat menciptakan fungsi yang maksimal.
Meskipun dalam hal ini, kreatifitas guru sangat diperlukan, namun keterbatasan media dan interaksi, menjadikan guru tidak bisa melakukan apa-apa. Lihatlah bagaimana guru juga mengadu tentang bagaimana susahnya untuk berkomunikasi dengan siswa. Korban dari pandemi bukan hanya dialami oleh siswa, namun orang tua bahkan guru juga mengalami kerugian yang sama.
Kacamata pendidikan digital yang dahulu identik dengan modernisme dan kemajuan, haruslah dilakukan banyak revisi agar tujuan sebenarnya dari pendidikan dapat dicapai. Namun bukan berarti pendidikan digital buruk untuk dilakukan. Pendidikan digital dapat dijadikan solusi yang tepat dalam masa pandemi, namun ada beberapa sisi yang wajib diperbaiki. Sehingga pendidikan digital dapat menjadi mata pisau yang tajam dalam menggoreskan nilai kebajikan siswa. Menawarkan solusi praktis dalam metode belajar dan memperluas waktu belajar yang tidak terbatas pada sekat-sekat ruang kelas.
–Penulis adalah reporter LPM Metamorfosa dan menjadi santri di Pondok Pesantren Kotagede Hidayatul Mubtadi-ien Yogyakarta.