Oleh Sam Edy Yuswanto
Syukur dan sabar adalah satu paket yang menjadi ciri khas umat Islam. Ya, syukur dan sabar memang sudah seharusnya selalu kita jadikan sebagai kebiasaan kita sebagai muslim.
Syukur dalam setiap situasi dan kondisi, bukan hanya bersyukur saat sedang mendapat karunia berupa nikmat-Nya, misalnya baru mendapatkan kelapangan rezeki yang halal. Demikian juga dengan sabar. Dalam kondisi apa pun, sikap sabar sangat kita butuhkan. Misalnya, memupuk kesabaran dalam diri ketika sedang menghadapi ujian atau cobaan dari-Nya.
Jangan sampai, kita menjadi muslim yang keterlaluan. Saat sedang diberi nikmat yang berlimpah kita enggan untuk bersyukur dan enggan berbagi dengan sesama.
- Iklan -
Sementara ketika rezeki sedang seret, kita begitu mudahnya mengeluh, tak memiliki sikap sabar, dan ujung-ujungnya malah menyalahkan orang lain atas kemalangan yang sedang menimpa kita.
Perihal hakikat syukur, Nadirsyah Hosen (NU Online, 19/5/2019) menjelaskan, dalam bahasa Arab, kata “syukur” berarti membuka dan menampakkan, dan lawan katanya adalah “kufur” yang bermakna menutup dan menyembunyikan. Ini artinya hakikat syukur adalah menampakkan nikmat dengan cara menggunakannya pada tempatnya dan sesuai dengan yang dikehendakinya oleh pemberinya, juga dengan cara menyebut-nyebut pemberinya dengan baik.
Syukur, bila merujuk laman duniapesantren.com (25/1/2020) terbagi menjadi tiga bagian. Pertama, syukur bi al-qolbi. Syukur semacam ini adalah bersyukur dengan hati. Artinya, seseorang menyengaja untuk berbuat baik serta menyimpan kebaikan tersebut untuk diberikan kepada semua makhluk. Titik tekannya adalah menyengaja kebaikan itu tadi. Alasannya, karena ini adalah bentuk syukur yang sebenarnya.
Kedua, syukur bi ali-lisan. Artinya bersyukur dengan lisan atau ucapan. Bentuknya adalah dengan menampakkan rasa syukur itu sendiri. Baik dengan ucapan yang menunjukkan kebahagiaan maupun berupa ucapan tahmid. Tahmid merupakan ucapan syukur yang lumrah diucapkan. Lafaz tahmid yang paling pendek adalah “alhamdulillah’.
Ketiga, syukur bi al-jawarih. Artinya, bersyukur dengan menggunakan anggota badan. Maksudnya, seseorang menjadikan nikmat yang sudah diberikan oleh Allah sebagai jalan untuk menambah rasa taat dalam dirinya. Dengan nikmat itu juga, dia memohon pertolongan kepada Allah serta lebih menjaga diri agar tidak bermaksiat kepada-Nya.
Syukur mengandung hikmah yang besar bagi kita semua. Dengan banyak bersyukur, insya Allah rezeki halal yang dikaruniakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala akan ditambah atau diperluas.
Bukankah setiap orang mendambakan rezekinya diberi keluasan dan kemudahan oleh-Nya? Karenanya, mari kita memperbanyak syukur kita pada-Nya.
Tentu saja syukur yang dimaksud tak sekadar kata-kata, tapi juga dibuktikan dengan amal perbuatan. Misalnya, berusaha menyisihkan sebagian harta kita untuk amal kebaikan, menggunakan anggota tubuh kita untuk memperbanyak melakukan ibadah dan aktivitas positif, dan sebagainya.
Syukur menjadi sebuah pertanda bahwa kita adalah orang yang tahu diri. Nadirsyah Hosen dalam tulisannya (NU Online, 19/5/2019) menjelaskan, orang yang bersyukur adalah orang yang tahu berterima kasih. Bukan sekadar banyak atau sedikitnya rezeki yang kita peroleh, tapi renungkan sejenak: yang memberi kita rezeki itu adalah Sang Maha Agung. Ini saja sudah pantas membuat kita bersyukur karena sedikit atau banyak kita masih diperhatikan dan diberi rezeki oleh Allah Swt.
Nadirsyah Hosen juga menjelaskan bahwa orang yang bersyukur akan jauh lebih produktif. Alasannya karena mereka tahu memanfaatkan resources dan peluang yang ada. Orang yang selalu mengeluh akan menghabiskan waktunya untuk menyesali diri.
Berlama-lama dalam nestapa membuat kita tidak siap menangkap peluang berikutnya. Orang yang bersyukur akan memanfaatkan apa yang dimiliki saat ini, sekecil apa pun itu, sebagai bekal untuk terus maju. Selain itu, orang yang bersyukur itu lebih bahagia dan optimis (NU Online, 19/5/2019).
Semoga, dengan merenungi arti syukur dan sabar, mudah-mudahan dapat menjadikan kita lebih tenang dalam mengarungi hidup yang penuh dengan lika-liku ini. Tenang di sini baik memiliki ketenangan jiwa (tidak grasa-grusu) saat berhadapan dengan hal-hal yang menyenangkan dan yang tidak menyenangkan. Wallahu a’lam bishawaab. (*)
Tentang Penulis:
Sam Edy Yuswanto, penulis lepas mukim di Kebumen.