Cerpen Ede Tea
Sudah hampir satu bulan ibu terbaring di tempat tidur. Kesehatannya kian hari semakin lemah. Bukan saja karena penyakit jantung dan diabetes yang dideritanya, juga karena faktor usia tua. Aku dan Nunik tidak tahu lagi harus berbuat apa. Jangankan untuk membawanya ke rumah sakit, untuk mengepulkan asap dapur saja kami serba kekurangan. Utang di warung juga sudah menumpuk, tidak mungkin jika kami harus menambahnya dengan meminjam uang. Sementara itu, kami kerap mendengar napas ibu yang mulai pendek-pendek.
“Kenapa tidak pinjam ke rumah Bang Gopur saja, Mas? Bukannya dia habis jual tanah?” ujar Nunik seraya menjatuhkan pantatnya di seberang meja.
“Bang Gopur itu pelit, Nik. Aku tahu betul dengan sifatnya!” tandasku.
- Iklan -
“Ya, dicoba dulu saja, Mas. Dia kan juga anak ibu.”
Sejak ibu sakit, Bang Gopur yang tak lain adalah kakak kandungku sendiri, enggan untuk menjenguk. Hal itu lantaran ia menaruh rasa benci kepadaku. Ia pikir aku yang telah menghabiskan harta warisan bapak. Lebih-lebih lagi saat ibu memilih untuk tinggal bersamaku. Padahal jelas-jelas itu murni keinginan ibu sendiri.
Aku berusaha untuk menjelaskan, uang warisan bapak telah habis untuk keperluan berobat ibu. Namun, ia enggan untuk percaya. Ia justru menggunjingku sebagai anak yang tidak tahu diuntung. Anak yang hanya bisa menghabiskan harta peninggalan orang tua. Andai Bang Gopur tahu, sepeser pun tidak pernah aku memakan uang warisan itu.
“Kalau dia malah mengusirku bagaimana, Nik?” bisikku khawatir.
“Dicoba dulu, Mas!”
Akhirnya aku memberanikan diri untuk pergi ke rumah Bang Gopur. Meski kepalaku terasa sangat penuh dengan perasaan cemas yang menjalar, tapi bayangan wajah ibu kerap memberiku semangat. Setidaknya aku telah berusaha; tidak hanya pasrah dengan keadaan.
Setibanya di depan rumah gedong milik Bang Gopur, kakiku terasa sangat berat untuk melangkah. Aku memutuskan untuk diam sejenak sembari mengamati keadaan sekitar. Dua mobil sedan yang terparkir di garasi, aneka bonsai di sisi rumah, juga lampu yang menggantung di langit-langit rumah itu tampak begitu mewah. Kehidupan Bang Gopur memang terbilang sukses. Ia menikahi seorang janda yang punya banyak usaha. Sepuluh pintu kontrakan, rental mobil dan beberapa warung makan. Bahkan aku dengar sebentar lagi Bang Gopur akan mencalonkan diri sebagai kepala desa. Jujur saja, ia memang terlihat baik di hadapan orang lain. Namun, teramat culas jika bersinggungan denganku maupun ibu. Padahal aku berharap lebih kepadanya. Apalagi setelah bapak tiada, seharusnya ia menjadi orang yang bisa kami andalkan. Tapi harapan itu hanya sebatas angin lalu.
“Gus!”
Aku terkesiap ketika suara berat itu menyentuh gendang telingaku. Aku berbalik untuk memastikan asal suara itu.
“Ada perlu apa kau datang ke sini?” lanjut Bang Gopur kemudian.
Aku benar-benar enggan untuk menatap matanya. Sebisa mungkin aku hanya memasang wajah iba. Berharap ia mau sedikit berbaik hati untuk menolongku. Tentu aku tidak ingin pulang dengan tangan kosong.
“Saya lagi kesusahan, Bang. Ibu tak kunjung sehat. Apa Abang ada sedikit uang untuk membawa ibu berobat?” lirihku dengan hati-hati.
“Gus… Gus…!” Bang Gopur berjalan melewatiku sembari memasukkan kedua tangannya ke dalam saku. “Kan sudah saya bilang, lebih baik ibu tinggal bersamaku saja. Kehidupannya sudah pasti akan terjamin! Ibu sering sakit itu karena kamu tidak becus merawatnya.”
Secepatnya aku menyela, “Itu kemauan ibu sendiri, Bang. Lagi pula istri Abang juga tidak akan mau menerima kehadiran ibu.”
“Alasan saja kau, Gus!” hardiknya kemudian. “Aku tidak bisa memberimu uang. Pergilah! Itu sudah jadi tanggung jawabmu. Seharusnya sebelum kau menghabiskan uang warisan itu, pikirkan juga untuk menyisihkannya sedikit untuk ibu. Kau memang serakah!”
Mendengar perkataan itu rasa kesal meletup-letup dalam tubuhku. Aku berdengus penuh kebencian.
“Berhenti menuduhku! Itu fitnah yang tak beralasan. ”
Aku beringsut meninggalkan teras rumahnya yang lengang. Sekuat mampu aku meredam berbagai perasan yang telah bercampur baur. Setelah mengengkol sepeda motor, aku memacu kecepatan tanpa ingin menoleh sedikit pun.
Setibanya dari sana, aku bergegas ke dalam kamar. Nunik yang menungguku di depan rumah tak kuhiraukan keberadaannya. Tak lama Nunik menyusulku ke kamar sambil membawa secangkir kopi. Ia menatapku dengan penuh tanda tanya. Tapi aku masih enggan untuk membuka mulut.
“Minum dulu, Mas!” pintanya kemudian.
Aku menerima cangkir kopi itu dan secepatnya kuseruput hingga membasahi tenggorokanku yang kering.
“Bagaimana, Mas? Dikasih berapa sama Bang Gopur? Ibu harus segera berobat, soalnya tadi muntah darah lagi.”
Pertanyaan Nunik itu seketika membuatku tidak bersemangat untuk menyeruput kopi. Tanpa berani bersuara aku hanya menjawabnya lewat gelengan kepala.
“Terus bagaimana, Mas?”
Aku menyeruput kopi lagi. Sambil mencari jawaban di dalam kepala. Tetiba tubuhku bergetar dan aku mengingat sebuah nama, Tuan Guru. Ya, dulu bapak sering mengajakku untuk mengunjunginya. Bapak bercerita bahwa dia adalah seorang kiai yang memiliki banyak ilmu pengetahuan agama. Beliau pindah dari Lombok untuk mengasingkan diri. Kadang sepulang dari sana kami dibekali satu botol air yang sudah diberi doa. Air mujarab untuk menangkal segala macam penyakit.
Aku berpaling memadang wajah Nunik yang masih diselimuti rasa cemas. Kini satu-satunya jalan adalah mengunjungi Tuan Guru. Hanya dia yang bisa aku mintai pertolongan. Tanpa berkata sepatah kata pun kepada Nunik, aku bergegas meningalkan kamar. Aku kembali mengengkol sepeda motor lalu melesat dengan cepat.
Meski jarak rumah Tuan Guru masih sejauh lima ratus meter, namun cahayanya amat menyilaukan pandanganku. Dan meskipun berada jauh di dalam hutan, tapi tidak ada sedikit pun kesan seram yang ditampilkan. Justru melihatnya saja membuat perasaan nyaman dan tenteram di dalam hati. Sesampainya di depan rumah itu, aku segera mematikan mesin motor dan parkir di bawah pohon angsana.
“Assalamualaikum,” ucapku memberi salam.
Tak lama pintu bercat cokelat tua itu terbuka. Lalu keluar seorang lelaki berjanggut putih dengan serban yang melingkar di lehernya. Dialah lelaki yang aku sebut sebagai Tuan Guru.
“Waalaikum salam. Mari, masuk, Nak Gus!”
Aku sedikit terkejut saat ia dengan lantang menyebut namaku. Aku hanya tersenyum lalu mengikuti langkahnya menuju ke dalam. Di atas tikar rotan itu kami duduk bersila saling berhadapan. Ada jeda yang cukup panjang di antara kami. Sampai akhirnya aku mulai menceritakan tentang kesehatan ibu yang semakin menurun dan bapak yang sudah meninggal dua tahun yang lalu.
“Pantas kalian tidak pernah berkunjung lagi,” ucapnya lemah lembut. “Bapakmu itu orang baik, Nak Gus. Insyaallah ia diberi kelapangan kubur.”
Aku mengangguk dengan hati-hati.
“Merawat orang tua itu adalah amalan yang mulia. Jika kamu ikhlas untuk merawatnya, maka gerbang surga akan terbuka kepadamu. Rasululluh saw. pernah bersabda, celakalah bagi seseorang yang mendapati salah satu orang tuanya atau dua-duanya dalam keadaan tua, kemudian anak tersebut tidaklah masuk surga.”
Di depan Tuan Guru aku tak kuasa menahan kesedihan yang mendalam. Aku teringat kepada ibu, teringat bapak, dan segala permasalahan yang menghujaniku saban hari. Aku berusaha untuk menahan air mata yang hendak jatuh.
“Rezeki, jodoh, dan kematian adalah tiga rahasia yang tidak akan pernah kita tahu. Sekarang, selagi ibumu masih hidup, temanilah dia! Berbaringlah di samping tubuhnya. Sebab surga yang paling agung berada di bawah telapak kakinya.”
Mendengar perkataan itu air mataku menetes lalu membulir menuruni lereng pipi. Tuan Guru bangkit kemudian masuk ke sebuah kamar. Tak lama ia kembali dengan sebotol air tanpa merek.
“Minumkan kepada ibumu, setelah itu basuhkan pada wajahnya.”
Aku menerima botol air itu dengan pipi yang masih basah. Malam semakin larut, udara dingin menusuk ke dalam tubuh. Aku memutuskan untuk segera pulang. Tuan Guru memintaku untuk menginap. Tapi aku menolak. Setelah mencium punggung tangan Tuan Guru dan mengucapkan terima kasih, aku bergegas meninggalkan rumahnya.
Di perjalan pulang, tubuhku terasa sedikit lebih ringan. Aku tahu apa yang harus aku lalukan setelah ini: merawat ibu dengan setulus-tulusnya hati. Aku yakin akan selalu ada jalan untuk menui kebaikan. Segalanya memang terasa lebih baik setelah aku berkunjung ke Tuan Guru.
Entah pukul berapa aku tiba di rumah, namun suasana malam itu tidak seperti biasanya. Begitu ramai orang memadati rumahku. Aku segera turun dari motor dan melihat orang-orang menatapku dengan penuh curiga. Setelah berhasil masuk ke dalam rumah, aku melihat tubuh ibu yang terkujur di atas karpet. Dengan masih menggenggam botol air mineral dari Tuan Guru, aku mencari Nunik untuk mencari kebenaran. Aku ingin memastikan bahwa ini tidak pernah terjadi. ***
*EDE TEA lahir di Bogor. Karya-karyanya pernah dimuat di media cetak dan daring. Cerpennya juga masuk dalam beberapa buku antologi. Merupakan mahasiswa Institut Digital Bisnis Indonesia yang bergabung dengan Komunitas Pembatas Buku Jakarta.