Cerpen Ilham Wahyudi
“Gunung paling tinggi akan aku daki, laut paling dalam-kelam pasti akan aku selami jika itu mampu menjadi penawar sakit yang kau derita Baidah. Bahkan jikalau ada yang lebih berharga dari sebuah nyawa, tentu akan aku berikan untuk kesembuhanmu, Baidah.”
Belum ada obat teguk yang mampu merobohkan Atresia Bilier. Sampai hari ini baru operasi cangkok hati satu-satunya cara medis yang bisa menyembuhkan Baidah dari penyakit langka itu. Penyakit yang terjadi pada bayi disebabkan saluran empedunya tidak terbentuk atau tidak berkembang secara normal. Namun, untuk penanganan dan pemeriksaan lebih lanjut, Baidah mesti dibawa ke kota Besar.
“Halo, Bang Tigan. Uangnya sudah ada, Bang. Alhamdulillah, besok pagi kami berangkat ke kota Besar. Doakan Bang, semoga ikhtiar kami berhasil,” kata Junaidi dari ponselnya.
- Iklan -
“Amin. Nanti sampai kota Besar setelah Baidah diperiksa, abang langsung saja cari kontrakan. Abang harus tinggal dekat rumah sakit, supaya mudah dan cepat diambil tindakan kalau-kalau Baidah drop. Kalau bisa abang ketemu dengan orang tua AB lainnya, supaya mereka bisa bantu-bantu abang selama di sana. Rencananya 1 atau 2 minggu lagi saya akan ke kota Besar. Nanti jumpa kita, Bang,” jawab Bang Tigan.
“Ya, Bang Tigan. Terima kasih banyak.”
“Sama-sama, Bang Jun.”
Tunggu dulu! Jangan kira uang operasi cangkok hati sudah ada di kantong Junaidi. Uang yang Junaidi maksud hanyalah sekadar ongkos dan modal untuk bertahan hidup beberapa bulan di kota Besar. Lantas, bagaimana dengan uang untuk operasi cangkok hati? Nanti saja dipikirkan, yang penting Baidah dapat penanganan dulu.
***
Dua bulan sudah Junaidi dan Risma, istrinya, sibuk ke sana-kemari mengumpulkan pinjaman uang dan sumbangan orang kampung buat biaya berobat Baidah. Sepetak tanah warisan yang selama ini ditanami padi buat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, pun sudah berpindah kepemilikan.
Lagi pula, hati orang tua mana yang tak sedih melihat anaknya jatuh sakit. Ditambah usia Baidah yang belum genap 6 bulan. Semakin teriris hati Junaidi dan Risma jika melihat Baidah menangis menahan sakit.
Awalnya, Junaidi dan Risma menduga Baidah terkena penyakit kuning. Nenek Baidah, tetangga, serta sanak saudara sepakat satu suara menyuruh Junaidi menjemur Baidah. Kata mereka, obat anak kuning adalah sinar matahari dan banyak-banyak minum ASI. Sungguh tak terpikirkan penyakit lain. Apalagi Atresia Bilier, yang saking asingnya, orang kampung Jauh sampai terpatah lidah menyebut nama penyakit itu. Tapi sudah hampir 3 bulan nasehat dikerjakan, Baidah tetap saja kuning. Khawatir kondisi Baidah yang semakin kuning, Junaidi dan Risma berangkat ke kota Kecil memeriksakan Baidah.
Bukan lantaran sok-sok-an diperiksa di kota Kecil. Sebelum terbetik niat ke kota Kecil, Junaidi sudah dua kali membawa Baidah ke puskesmas dekat kampung Jauh. Akan tetapi, alat pemeriksaan kurang lengkap, Baidah pun dirujuk ke kota Kecil. Lalu dirujuk pula ke kota Besar.
***
Di luar masih gelap. Udara di kamar terasa begitu dingin. Padahal sudah tiga bulan kampung Jauh tak disinggahi hujan. Pelan Junaidi menepuk betis Risma. Tapi Risma tak terasa. Maklumlah, baru jam 1 dini hari Risma memejamkan mata. Tadi malam sanak saudara dan tetangga ramai datang ke rumahnya. Ada yang memberi uang jajan buat Risma, ada yang mendoakan dengan linang air mata, dan ada pula yang sekadar memberi Risma semangat.
Takut ketinggalan pesawat, Junaidi menepuk lebih keras betis istrinya. Risma kaget. “Jam berapa sekarang, Bang?” tanya Risma masih kantuk.
“Sudah jam setengah 3, Dik. Jam setengah 4 Bang Amir menjemput kita. Mandilah cepat!” jawab Junaidi sambil dilihatnya Baidah yang sedang tidur nyenyak. Tidak seperti biasanya. Mungkin Baidah tahu kalau ayahnya mau menjemput kesembuhan.
Tepat jam setengah 4 mobil Bang Amir sudah di depan rumah Junaidi. Hanya nenek Baidah yang mengantarkan keluarga kecil itu sampai ke mulut pintu. Tidak ada air mata. Nenek Baidah yakin kalau ikhtiar anak dan menantunya menjemput kesembuhan akan menuai hasil.
Mobil melaju kencang. Tanpa macet, tanpa hambatan seperti doa nenek Baidah dan orang-orang kampung Jauh untuk kesembuhan Baidah.
Sesampainya di bandara, Baidah mendadak menangis. Risma panik. “Mungkin tak sabar dia ingin segera berobat, Dik,” lembut suara Junaidi menenangkan Risma.
Syukurlah, Risma pun sedikit tenang. Diayun-ayunnya Baidah. Bayi itu berhenti menangis bahkan ketika pesawat yang mereka tumpangi take off dari bandara kota Kecil dan landing di bandara kota Besar.
Sesampainya di bandara kota Besar, Junaidi langsung tancap mencari taksi menuju rumah sakit besar. Meski jalanan lumayan macet, tapi Junaidi tepat waktu sampai di rumah sakit.
“Siti Baidah,” panggil suster berkaca mata.
“Iya, suster,” jawab Junaidi.
“Silakan masuk, Pak.”
Junaidi mengangguk.
Tetapi, mendadak entah apa sebabnya—sebelum dibawanya Baidah masuk ke ruang pemeriksaan—jantung Junaidi berdebar kencang. Junaidi tak tahu apa penyebabnya. Apa karena lapar sebab tak sesuap nasi pun masuk ke lambungnya, atau?
“Dengan bapak siapa?” tanya dokter sambil menjabat tangan Junaidi.
“Junaidi, Pak.”
“Bapak dari mana?” tanya dokter lagi sambil mengeluarkan ponselnya. Lalu menekan-nekannya, seperti sedang mencari sesuatu. Baidah masih digendong Risma. Dokter belum menyilakan Risma untuk membaringkan Baidah. Semacam melambatkan pemeriksaan, bisik batin Junaidi memantul ke gendang telinganya. Tapi cepat-cepat dia tepis buruk sangkanya itu.
“Saya dari kampung Jauh, Pak,” jawab Junaidi.
“Maaf, tidak ada rumah sakit di sana, Pak? Kasihan bapak harus jauh-jauh membawa anaknya kemari?” kata dokter itu dengan tenang.
Tubuh Junaidi mendadak lemas mendengar kalimat yang meluncur dari kerongkongan dokter. Susah sekali rasanya Junaidi mengeluarkan kata-kata untuk menjawab pertanyaan itu. Hingga dokter mengulangi lagi pertanyaannya.
“Tidak ada rumah sakit di sana, Pak?” kata dokter itu semakin mantap.
Junaidi masih membisu. Mulutnya seperti terkunci. Kata-kata kocar-kacir lari entah ke mana. Dipegangnya pundak Risma yang sedang menggendong Baidah. Lalu bergegas meninggalkan ruangan pemeriksaan. Dokter dan suster kaget. Risma pun sempat menangis dan meminta Junaidi untuk kembali. Namun Junaidi sudah terlampau kecewa. Terlampau sakit hatinya mendengar pertanyaan dokter itu. Lantas, mengapa mesti sakit hati? Bukankah itu hanya pertanyaan biasa?
Entahlah, hati orang memang tak ada yang tahu.
***
Sepanjang jalan ke bandara kota Besar, tak satu pun kata keluar dari mulut suami-istri itu. Mereka mematung. Patung yang luka.
Namun, setelah check-in, kata-kata seolah kembali lagi ke mulut Junaidi. Bang Tigan orang pertama yang dia ingat. Sambil menahan air mata, diteleponnya Bang Tigan.
“Bang Tigan,” kata Junaidi tak bertenaga.
“Ya, Bang Jun. Bagaimana Baidah, sudah diperiksa?” tanya Bang Tigan penuh semangat.
“Kecewa aku, Bang. Kecewa,” suara Junaidi nyaris hilang. “Aku pulang sekarang, Bang. Ini sudah di bandara.”
“Loh, kenapa, Bang? Abang jangan pulang dulu, ceritakan apa masalahnya, biar…”
Telepon terputus. Junaidi mematikan ponselnya. Lalu buru-buru ke toilet. Sudah dua kali dia bolak-balik ke toilet.
Udara di ruang tunggu bandara terasa begitu dingin. Risma pun mengambil jaket dan memakainya. Selesai memakai jaket, Risma baru sadar kalau sejak dari ruangan pemeriksaan Baidah tak sekalipun bersuara atau setidaknya bergerak. Nyenyak sekali tidurnya.
Akan tetapi, tidur Baidah membuat Risma khawatir. Dipanggilnya Baidah. Tak ada reaksi. Lalu digoyang-goyangkannya, tak juga bereaksi. Risma semakin khawatir. Takut terjadi sesuatu dengan Baidah, Risma menyusul Junaidi ke toilet. Belum sampai Risma ke toilet, Junaidi sudah tepat berdiri di depannya.
“Kenapa, Dik?”
“Baidah, Bang. Baidah…”
“Ya, kenapa?”
“Peganglah badannya, Bang! Lain adik rasa.”
Perasaan Junaidi campur aduk. Dia seakan mencium bau firasat tak baik. Tapi karena tak mau Risma semakin khawatir, dipasangnya wajah tenang di hadapan istrinya itu meskipun hatinya sungguh berkecamuk. Kemudian diambilnya Baidah dari gendongan Risma, lalu memeriksa tubuh Baidah pelan-pelan.
Beberapa saat Junaidi tampak terdiam, seperti telah mendapatkan sebuah jawaban. Tentu jawaban yang sudah tak sabar ingin Risma dengar. Namun, memberikan jawaban saat itu bukanlah perkara mudah bagi Junaidi.
Junaidi mengumpulkan udara dalam paru-parunya. Lalu dipadatkannya menjadi sebuah keyakinan. Dikuatkannya hati sekuat mungkin, kemudian mendekati Risma, dan berbisik.
“Jangan menangis kau, Dik. Kalau sampai kau menangis, anak kita dikubur di sini. Tak ada uang kita menziarahinya,” pelan sekali Junaidi berbisik. Seperti ingin mengalahkan pelannya suara udara yang berhembus.
Risma diam. Sebuah godam raksasa baru saja menimpa kepalanya. Sakitnya timpaan godam itu membuatnya tak mampu lagi berkata-kata. Sungguh, tak sehelai pun sanggahan keluar dari bibirnya, atau sekadar menanyakan kebenaran bisikkan suaminya. Dia sebenar patuh. Padahal, menangis sejadi-jadinya adalah hak mutlak baginya. Namun, kalimat suaminya tadi benar-benar ampuh membendung air matanya. Paling tidak sebelum sampai di bandara kota Kecil.
Selanjutnya, detik-menit berikutnya adalah penyiksaan yang tak putus-putus bagi Risma. Dimulai dengan pesawat mereka yang delay beberapa jam. Kemudian berlanjut saat di pesawat tatkala pramugari memuji Baidah yang dinilai tak rewel seperti anak bayi kebanyakan. Duh, terasa seperti dikuliti tubuh Risma yang layu itu.
Tapi Risma tidak boleh terlihat layu. Tidak boleh menangis untuk sekadar meringankan sedikit perih yang sudah sejak dari rumah sakit mendera tubuh kurusnya. Ia hanya boleh tersenyum. Ya, tersenyum saja! Meskipun seluruh penumpang berbasa-basi kepadanya tentang Baidah yang diam. Baidah yang seolah-olah tidur nyenyak di pangkuan ibunya.
Pesawat beberapa saat lagi akan mendarat. Pilot mengabarkan kalau cuaca di kota Kecil begitu cerah. Namun, apa untungnya berita cuaca cerah bagi Risma yang menggendong Baidah?
Eh, Junaidi apa kabar? Ampun, sepanjang perjalanan dia terus saja terbayang warga kampung Jauh yang sudah susah payah membantunya mengumpulkan biaya menjemput kesembuhan Baidah. Terbayang juga wajah nenek Baidah, wajah Pak Amir yang rela subuh-subuh mengantarkannya ke bandara tanpa dibayar, dan sepetak tanah warisan kakek Baidah—bertubi-tubi menerjang pikirannya.
***
Pintu pesawat sudah dibuka. Pramugari mempersilakan semua penumpang turun. Akan tetapi, baru selangkah kaki Risma menginjak tangga pesawat, hujan turun selebat-lebatnya. Seperti air yang begitu saja ditumpahkan dari langit, padahal sudah tiga bulan lebih hujan kabur tak berkabar. Dan Desember, masih sangat jauh.
Sungguh sangat jauh!
Jakarta, 2016-2021
Keterangan:
AB = Atresia Bilier
*ILHAM WAHYUDI. Lahir di Medan, Sumatera Utara. Ia seorang juru antar makanan di DapurIBU dan seorang Fuqara di Amirat Sumatera Timur. Beberapa cerpennya ada yang dimuat dan ada yang ditolak. Buku kumpulan cerpennya “Kalimance Ingin Jadi Penyair” akan segera terbit.