Oleh Fatna Harista
Di dalam kitab al-Bidayah wa an-Nihayah, Imam al-Hafidz Abil Fida’ Isma’il bin Katsir (Ibnu Katsir), berkisah pada zaman dahulu, ada seorang raja yang mewanti-wanti larangan bersedekah kepada rakyatnya. “Jika masih ada yang tidak patuh, maka akan dipotong kedua tangannya,” tegas raja mengancam.
Di bawah siraman cahaya matahari yang menyengat, seorang nenek berjalan dengan langkah gontai. Sesekali tangannya memegang perut. Lapaaaaar…, teriaknya dalam hati. Ia memasuki gerbang negeri yang dipimpin oleh raja yang melarang rakyatnya bersedekah itu. Nenek berlalu sembari mengetuk hati setiap orang yang ditemui agar memberinya sepotong roti atau pun sekerat daging.
Sejauh ia melangkah, tak seorang pun penduduk negeri itu yang sudi memenuhi permintaannya. Seusai menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya, ia meneruskan langkahnya, hingga sampai di sebuah rumah yang dihuni seorang gadis berparas cantik.
- Iklan -
Setelah beberapa kali mengusap keringat yang menempel di dahi, nenek berkata dengan suara serak di hadapan gadis ayu itu, “Berilah aku sepotong atau dua potong roti! Sudah berhari-hari perutku tak tersentuh makanan. Aku mohon, kasihanilah aku!”
“Maaf, aku tak bisa. Aku takut hukuman dari raja,” balas gadis itu.
“Tolonglah! Demi Allah…,” nenek berharap sambil bertekuk lutut.
Hati si gadis mulai tersentuh. Ia merasa iba. Kemudian ia masuk ke rumahnya, mengambil dua helai roti, lalu menyerahkannya kepada nenek.
“Ini, terimalah! Maaf, hanya ini yang bisa aku berikan,” katanya kepada perempuan tua itu.
Seulas senyum terlukis di wajah nenek. Ia bahagia sekali. Lapar yang ia tahan selama beberapa hari akan segera terobati.
Entah, angin mana yang mula-mula mengembuskan. Selang beberapa hari, kabar gadis ayu yang bersedekah kepada nenek itu akhirnya sampai ke telinga raja.
Malang tak dapat ditolak. Gadis tersebut menerima hukuman potong tangan yang selama ini sangat ditakutinya. Ia pun menjadi gadis cantik tanpa kedua tangan.
***
Tahun-tahun telah berlalu. Tersiar kabar bahwa raja sedang mencari sosok wanita untuk menjadi istrinya. Dalam sebuah kesempatan, raja melakukan perjalanan melewati pemukiman rakyatnya. Tak sengaja iring-iringan tersebut berhenti di depan sebuah rumah warga. Kebetulan raja berjumpa dengan seorang perempuan yang ternyata adalah ibu dari gadis cantik yang dipotong kedua tangannya itu.
Kepada perempuan itu, raja bertanya, “Apakah kamu bisa menunjukkan wanita cantik yang bisa aku peristri?”
“Bisa. Ada seorang gadis di daerah ini yang pesonanya tak terkalahkan oleh gadis-gadis lain. Tapi sayang, ia cacat.”
“Apa maksudmu?”
“Gadis itu sudah tak memiliki kedua tangan,” jawab perempuan tersebut.
Awalnya raja tak menghiraukan cerita perempuan yang ditemuinya itu. Namun, saat gadis itu melintas di dekat rombongan kerajaan, raja tak sanggup menyembunyikan ketakjubannya. Semua keindahan yang ia lihat selama ini, baik di negerinya sendiri maupun di negeri sahabat, tak sebanding dengan keindahan yang memancar dari muka gadis itu.
“Sungguh, ini keindahan yang sempurna,” gumam raja dalam hati.
Tanpa pikir panjang lagi, raja mendekati gadis tersebut dan mengungkapkan isi hatinya kepada perempuan yang tak lain adalah ibu dari gadis itu bahwa ia ingin menikahi putrinya. Ibu gadis itu setuju.
Pesta pernikahan pun digelar dengan sangat meriah selama tujuh hari tujuh malam. Para undangan dari negara-negara sahabat berdatangan mempersembahkan hadiah yang sangat berlimpah. Gadis itu sangat bahagia menjalani hidupnya yang bergelimang harta.
***
Suatu ketika, sebab ada ancaman dari kerajaan musuh, raja keluar dari istana menuju daerah pembatasan. Berbulan-bulan ia tinggal di daerah tersebut. Ia pun menulis surat kepada ibunda permaisurinya dengan perantara seorang kurir. Surat tersebut tertulis, “Ibu, tolong jaga baik-baik istriku! Kabari aku jika ada apa-apa dengan istriku!”
Di luar dugaan, kurir kepercayaan raja itu ternyata membelot. Ia berkhianat. Sebelum surat itu diserahkan kepada ibu mertua raja, terlebih dulu ia berikan kepada istri-istri raja yang lain. Lantaran tersulut api cemburu dan iri yang tak dapat dipungkiri, surat itu mereka ganti dengan tulisan, “Tolong awasi istriku! Aku dengar ia telah selingkuh.”
Membaca surat tersebut, ibu permaisuri dongkol. Surat tuduhan itu langsung ia balas, “Kau keliru. Tuduhanmu tak layak kau alamatkan kepada wanita jujur seperti dia.”
Sebelum surat itu sampai ke tangan raja, lagi-lagi kurir pengkhianat itu memberikan terlebih dulu kepada para istri raja yang lain. Mereka pun mengganti isi surat, “Kegelisahanmu memang beralasan. Sekarang, telah lahir seorang anak hasil perselingkuhan istrimu.”
Muka raja langsung merah padam saat membaca surat itu. Ia sangat murka. Hatinya seolah dicabik-cabik. Sebagai raja, ia merasa harga dirinya diinjak-injak. Kemudian raja menulis surat berisi perintah pengusiran, sebab ia sudah tak tahan lagi.
Seluruh penghuni istana gempar. Permaisuri meminta keterangan terkait pengusiran dirinya. Tak satu pun yang bisa menjelaskan. Prajurit kalap. Mereka tak dapat berbuat apa-apa selain mematuhi perintah raja. Akhirnya, permaisuri yang mereka kenal berbudi baik itu terusir dari istana kerajaan.
Wanita malang itu keluar dari istana raja bersama bayi yang baru saja ia lahirkan, dan sebenarnya tak lain ia adalah anak dari sang raja. Sebab kedua tangannya telah buntung, permaisuri itu menggendong anaknya menggunakan kain selendang yang dilingkarkan ke leher dan bahunya.
Sembari menggendong bayinya, wanita itu sedikit gembira saat di tengah perjalanan menemukan sungai kecil, sebab sudah berhari-hari tenggorokannya kering tak kemasukan air. Karena haus tak dapat dibendung, wanita itu segera melangkah menuju bibir sungai. Saat kepalanya merunduk mau minum air sungai, tanpa disadari selendangnya lepas, sehingga bayi yang digendongnya jatuh dan terseret arus air beberapa meter. Ia pun menangis sejadinya dan menyesali kebodohan yang baru saja ia lakukan.
Di tengah kebingungan dan kegalauan yang merajai jiwanya itu, tiba-tiba datang dua orang laki-laki berparas sangat tampan mendekatinya.
“Kenapa kau menangis?” tanya salah satu laki-laki tampan.
“Anakku jatuh dan tenggelam ke sungai akibat kebodohanku.”
“Sudahlah, kau tak sepenuhnya salah,” salah seorang dari mereka menghibur. “Kau ingin anakmu kembali?” tanyanya lagi.
“Tentu. Tapi, bagaimana caranya?”
Kedua laki-laki itu lalu menatap langit dan menengadahkan kedua tangannya. Beberapa saat kemudian, bayi yang terseret arus itu seketika kembali ke pangkuan wanita tersebut. Air mata bahagia pun membasahi pipinya. Ia bersyukur kepada Allah atas keajaiban yang terjadi.
Waktu wanita itu hendak mengucapkan terima kasih kepada kedua laki-laki tampan tersebut, salah seorang dari mereka bertanya, “Ada apa dengan kedua tanganmu?”
“Tanganku dipotong oleh prajurit kerajaan karena telah memberi dua potong roti kepada seorang pengemis tua.”
“Kau mau kedua tanganmu kembali?”
Wanita itu mengangguk, “Tentu saja. Tapi, bagaimana bisa?”
Kedua laki-laki yang sangat tampan itu kembali menatap langit dan bermunajat. Tanpa menunggu lama, kedua tangan wanita tersebut kembali sedia kala. Betapa terkejut dan gembira dirinya. Ia terharu, lalu berterima kasih kepada kedua laki-laki itu dan bertanya jati diri mereka.
Keduanya saling tatap sebelum salah satunya menjawab, “Kami adalah dua helai roti yang kau sedekahkan kepada pengemis tua itu.”
Dari kisah di atas, hikmah yang dapat dipetik adalah: Pertama, jika kita bersungguh-sungguh, niat murni tanpa pamrih dan ikhlas dalam beribadah (sedekah), maka pertolongan Allah selalu datang. Kedua, berlaku jujurlah! Janganlah berkhianat. Sebab khianat akan meruntuhkan yang utuh dan menghancurkan persatuan. ***
*FATNA HARISTA, pegiat literasi sekaligus pendidik di Pondok Pesantren Nurul Qarnain Sukowono Jember.