Oleh Akhmad Idris
Beberapa waktu yang lalu, hati saya terketuk oleh sebuah video yang diunggah di media sosial. Video dengan durasi sekitar 3 menit tersebut menampilkan sosok lelaki tua yang harus dibantu dengan sebuah tongkat untuk berjalan.
Semula terasa normal hingga tiba pada scene lelaki tua hendak menyeberang jalan. Lampu penyeberangan hanya memberikan waktu singkat, sementara lelaki tua tersebut membutuhkan waktu yang lebih lama untuk sampai di seberang jalan.
Anehnya, lelaki tua tersebut tak pernah mau menerima uluran bantuan dari orang lain. Kejadian sama terus berulang berkali-kali, begitu pula penolakannya menerima bantuan. Hingga suatu waktu, lelaki tua tersebut menyeberang bersamaan dengan seorang gadis yang masih remaja.
- Iklan -
Gadis ini tidak menawarkan bantuan. Ia hanya berpura-pura memainkan telepon genggam, berjalan pelan-pelan sebagaimana lelaki tua, hingga sampai di seberang jalan.
Sesampai di seberang jalan, lelaki tua itu membungkuk sembari tersenyum tanda mengucapkan terima kasih. Video selesai, namun ketakjuban saya yang belum selesai.
Dalam beberapa kasus, niat baik saja nyatanya masih belum cukup. Masih dibutuhkan kepekaan terhadap kondisi sekitar. Sebagaimana lelaki tua tersebut yang tak ingin dibantu secara terang-terangan. Ia justru berterima kasih pada gadis yang terlihat cuek, ternyata memiliki tingkat sensitivitas etika yang jauh lebih tinggi.
Gadis itu menyadari bahwa menawari bantuan secara langsung akan mencederai harga diri lelaki tua tersebut, sehingga bantuan secara tidak langsunglah yang dibutuhkan lelaki tua tersebut.
Agaknya hal seperti ini yang sering luput dari pemahaman kita ketika berbagi selama pandemi seperti saat ini, yakni memberi tanpa mempertimbangkan perasaan dan harga diri orang lain.
Tak semua orang dengan hati dan tangan terbuka menerima bantuan. Bisa saja ada orang yang sejenis dengan lelaki tua dalam video yang saya ceritakan sebelumnya. Oleh sebab itu, dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim, dari Sahabat Abu Hurairah, Nabi Muhammad pernah menyebutkan bahwa satu di antara tujuh golongan yang akan mendapatkan naungan Allah pada hari yang tak ada naungan kecuali naungan-Nya adalah seseorang yang bersedekah hingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diberikan oleh tangan kanannya.
Banyak sekali interpretasi tentang semiotika ‘tangan kanan’ dan ‘tangan kiri’ dalam hadis ini. Salah satunya adalah manifestasi dari kerahasiaan dalam bersedekah. Dengan sembunyi-sembunyi, selain melatih keikhlasan, hal itu juga melindungi harga diri dari pihak yang diberi.
Berbagi dengan Sembunyi-Sembunyi
Ada banyak cara yang dilakukan oleh masyarakat untuk saling berbagi di masa pandemi, mulai dari membagi-bagikan makanan, uang, sembako hingga melakukan penggalangan dana.
Namun satu di antara sekian banyak cara berbagi tersebut, ada satu cara yang membuat saya berdecak kagum, yakni dengan cara menggantungkan makanan pada gantungan sepeda motor saat pemiliknya sedang menunaikan kewajiban salat Jumat. Menurut hemat saya, cara seperti inilah yang dapat dikategorikan berbagi dengan sembunyi-sembunyi.
Senada dengan video kakek tua sebelumnya, tak semua orang bersedia menampilkan penderitaannya dan kesusahannya dalam menghadapi pandemi. Beberapa orang memiliki karakter tak suka dikasihani, sehingga dengan tiba-tiba menggantungkan makanan pada sepeda motor akan membuat pihak penerima tetap terjaga harga dirinya. Tak hanya itu, berbagi dengan cara seperti ini bertepatan dengan momen yang pas, yaitu sedekah JUM’AH BERKAH.
Selain membantu saudara seiman yang hampir semuanya terkena imbas dari pandemi yang tak kunjung pergi, berbagi dengan cara seperti ini sekaligus mengharapkan keberkahan di hari yang mulia.
Secara efektivitas, berbagi dengan sembunyi-sembunyi terasa lebih praktis daripada berbagi dengan terang-terangan. Misalnya saja jika pembagian makanan dilakukan menunggu jemaah selesai menunaikan kewajiban salat Jumat, maka dimungkinkan terjadi rebutan dan dibutuhkan waktu yang relatif lebih lama.
Namun ketika pembagian makanan cukup digantungkan pada gantungan sepeda motor, maka masalah waktu dan rebutan tersebut dapat teratasi dengan mudah. Meskipun tidak semua jemaah salat Jumat membawa sepeda motor, tetapi setidaknya proses pembagian dengan cara menggantungkan berlangsung lebih praktis.
Pada dasarnya kebaikan memang dapat diungkapkan dalam bentuk apa pun, karena setiap orang memiliki cara untuk mengekspresikannya. Setiap orang juga dapat dengan bebas memilih berbagi dengan sembunyi-sembunyi maupun dengan terang-terangan, namun dalam beberapa keadaan tertentu, hanya satu yang lebih baik dilakukan dari dua pilihan yang ada; seperti dalam kasus lelaki tua dalam video yang telah disebutkan sebelumnya.
Oleh sebab itu, kebaikan tak hanya cerita tentang membantu, tetapi juga cerita tentang cara membantunya. Membantu gadis kecil yang menginginkan permen tentu saja akan berbeda dengan membantu ibu yang sedang kesusahan gegara memikirkan uang bayar kontrakan.
Akhir kata, satu hal yang sering luput dalam kehidupan manusia, yakni kepekaan. Seolah-olah berbuat baik dianggap sudah cukup, padahal setiap manusia memiliki ‘mata’ yang berbeda-beda. ***
*AKHMAD IDRIS, M. Pd., Dosen bahasa Indonesia di STIBA Satya Widya Surabaya sekaligus penulis buku Wasiat Nabi Khidir untuk Rakyat Indonesia.