Oleh Imam Bukhori
Sore itu tak seperti biasanya, aku berjalan tunggang-langgang tanpa membawa sebuah dompet. Sebenarnya ini bukan kejadian pertama. Beberapa waktu lalu aku pernah seperti ini; pergi tanpa mengantongi dompet. Namun, meski tak berbekal dompet, biasanya aku selalu menyisipkan uang; di saku baju, celana atau jok motor. Ndilalahnya, hari ini berjalan tak sebagaimana biasanya.
Keadaan diperparah ketika aku tak mengajak siapa pun. Ini jarang sekali aku lakukan. Biasanya untuk mengurus hal sepele sekali pun, aku lebih suka mengajak orang lain. Bukan persoalan takut atau apa pun, aku lebih senang memiliki teman perjalanan. Meski kadang tidak membantu, setidaknya aku bisa berbagi cerita tentang apa yang aku temui dan apa yang aku lalui.
Kejadian sore itu bermula saat aku tengah tergesa-gesa mengendarai sepeda motor. Selain persoalan mengejar waktu agar kantor yang aku tuju tidak keburu tutup, aku juga sedang bertanggung jawab menghandel suatu kegiatan. Kalau pun mesti melibatkan orang lain, hal tersebut bukan membantuku malah justru menghambatku. Maksudku menghambat kelancaran kegiatan yang sedang aku handel. Atas dasar itulah keputusan untuk menancap gas motor seorang diri aku lakukan.
- Iklan -
Sialnya, di separuh perjalanan aku baru sadar tak membawa sepeser pun uang. Mau putar balik sudah cukup jauh dari titik awal. Bukannya memikirkan bahan bakar motor yang menipis atau tenggorokan yang nyaris kering, bayanganku justru seketika tertuju pada penjaga parkir di tempat yang kutuju. Aku hafal betul dengan penjaga parkir di sana. Sebab, ini bukan pertama kalinya aku ke tempat itu. Kurang lebih sudah tiga atau empat kali.
Asal kalian tahu saja, penjaga parkir di tempat itu adalah ibu-ibu. Meski belum pernah menanyakan langsung berapa usia beliau, aku bisa mengira-ngira usia ibu itu cukup tua. Hal ini tergambar dari raut wajah dan kondisi fisik beliau. Bisa ddibayangkan ‘kan betapa melasnya wajah ibu-ibu tua yang berprofesi sebagai tukang parkir. Kadang kala penjaga parkir lelaki saja sudah membuat kita iba, apalagi ini ibu-ibu; gimana nggak semakin terenyuh ….
Aalih-ali membayangkan bagaimana wajah kecewa sang ibu penjaga parkir nanti, aku lebih memilih mencari solusi gimana biar motorku terbebas dari pantauan ibu sang penjaga parkir itu. Aku mencoba mengingat-ingat titik lokasi parkir umum seperti minimarket, masjid, hingga pom bensin terdekat. Semua sudah aku pikirkan masak-masak. Berharap ketiga plan lokasi ini bisa menjadi alternatif pilihan supaya terbebas dari jangkauan penjaga parkir ibu tadi.
Ketiga tempat ini aku planingkan karena dalam ingatanku ketiganya dekat dengan tempat tujuanku. Hal yang tak kalah penting, lokasi tersebut gratis biaya parkir sehingga bisa menyelematkanku dari tagihan tukang parkir. Dan yang terpenting jauh dari jangkauan ibu penjaga parkir tempat yang aku tuju dan selamat dari rasa bersalahku nanti.
Sialnya ketiga tempat umum ini tak sesuai dengan ekspektasiku. Ternyata kesemua tempat itu jauh dari lokasi kantor yang aku tuju. Ingatan jangka pendekku memang agak kacau. Mau tidak mau aku harus tetap parkir motor di halaman parkir depan kantor yang aku tuju meski tak membawa uang.
Selanjutnya persoalan lain yang aku pikirkan ialah ucapan permohonan maaf yang paling halus dan kalimat yang paling tepat agar saat aku menuturkan bahasa itu tidak melukai hati sang ibu dan tidak memutuskan harapannya.
Jam di ponselku menunjukkan setengah lima sore dan motorku baru saja sampai di tempat yang aku tuju. Benar saja, baru mematikan mesin motor, wajah sayu ibu tukang parkir itu sudah menyambutku. Rasa bersalahku terasa kian memuncak.
Aku mencoba bersikap biasa. Masuk ke kantor dengan menyembunyikan rasa bersalah. Tetap saja fokusku bukan pada mengambil cetakan stiker pesananku, melainkan kepada kalimat yang pas untuk aku tuturkan kepada tukang parkir yang baru saja menyambutku. Tak selang berapa lama aku keluar dari kantor. Membuka pintu kantor itu dan mencoba bersikap biasa. Deg! Baru menutup pintu dari sebelah utara kantor, bu tukang parkir itu bangkit dari posisi duduknya. Ia menyambutku dengan senyum penuh harap. Aku seperti tak tega untuk menyampaikan kalimat yang sudah aku susun sesopan dan sehalus mungkin. “Ngapunten nggih, Bu. Kulo boten beto arto,” (Maaf, Bu. Saya tidak bawa uang.) ucapku dengan lirih. Kalimat itu harus tetap aku tuturkan, sebagai penebus rasa bersalahku. Lebih tepatnya supaya ibu-ibu tukang parkir itu tak perlu repot membantuku memarkirkan motor. Setidaknya itu jauh lebih baik. Tidak membebani ibu. Aku tidak mau ibu tukang parkir itu lebih kecewa karena sudah melakukan kewajibannya membantu parkirku tetapi tidak memperoleh haknya. Justru aku akan semakin merasa berdosa.
Ibu itu tidak mengeluarkan satu, dua kata sekali pun. Tapi aku ingat betul bagaimana wajah kecewanya waktu aku berucap seperti itu. Beliau seakan mempertanyakan tampilanku. Aku merasa menjadi seorang yang paling jahat waktu itu. Uang senilai dua ribu saja tak sanggup aku sodorkan. Betapa ini tindakan memalukan.
Meski sudah bertolak dari tempat itu, ingatanku masih tertuju pada wajah kecewa ibu tadi. Sungguh tak bisa aku lupakan. Bahkan, sampai cerita ini ditulis, ingatanku pada tukang parkir itu masih utuh. Beliau terlihat sangat kecewa.
Aku membayangkan bagaimana pupusnya harapan ibu waktu itu. Bagaimana kecewanya ibu dan mungkin beliau sangat marah kepadaku. Aku yang waktu itu berbaju batik biru khas daerahku, memperlihatkan aku sebagai sosok yang sangat rapi dan rasa-rasanya mustahil kalau tidak mempunyai uang yang nilainya hanya dua ribu. Ditambah dengan celana bahan warna hitam, khas pekerja kantoran. Rasanya, tak mungkin kalau tak berduit; mungkin semacam itu fikiran yang ada di benak ibu tadi.
Aku membayangkan bagaimana ibu penjaga parkir sudah kehilangan dua ribu rupiah rezekinya sebab keteledoran dan kecerobohanku hari ini. Sekalipun rezeki sudah diatur yang Maha Kuasa. Kalau boleh memilih, aku tadi memilih untuk tidak lupa membawa uang supaya ibu tetap bisa memperoleh rezeki lewatku. Ahhh, aku ini payah sekali. Menjadi penyebab hilangnya rezeki hambamu yang lain.
Mungkin, dua ribu rupiah bukan angka yang cukup besar. Tetapi barangkali itu sangat berarti untuk ibu itu. Pikiranku langsung berselancar ke mana-mana. Bagaimana seusia ibu mesti jerih payah menjadi tukang parkir. Pekerjaan yang menurutku kurang pas dengan usia ibu itu. Tak ada yang salah memang. Zaman sekarang kita mesti bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidup dan tidak memandang jenis pekerjaan dan jenis kelamin. Semua punya kesempatan yang sama untuk meraih pintu rezekinya.
Bagaimana kalau uang dua ribu tadi untuk memenuhi kebutuhan keluarganya? Bagaimana kalau uang tadi menjadi sebab keluarganya tidak makan esok hari? Atau bagaimana kalau uang dua ribu tadi buat bekal pendidikan anak-anknya? Bagaimnaa kalau uang tadi menjadi sebab anak-anknya tidak bisa sekolah? Ah, sial! Ceroboh sekali aku. Semoga saja prasangka-prasangka itu tidak sepenuhnya tepat. Semoga saja ibu penjaga parkir yang sempat aku kecewakan tidak benar-benar kecewa padaku.
Mungkin kejadian ini sudah berlalu, tatapi perasaan bersalah itu masih terus membelenggu. Mungkin ini kejadian yang sepele, tetapi ada pelajaran yang tidak bisa kita anggap sepele. Yang ingin aku sorot dari kejadian ini sebenarnya bukan pada persoalan uang yang jumlahnya tak seberapa. Atau bukan pada pikiran-pikiranku yang terlalu jauh. Tetapi aku ingin menggambarkan bagaimana hati kita bekerja.
Kita boleh saja berdalih merasa baik-baik saja dengan alasan apa pun, atas kejadian tidak menyenangkan yang menimpa kita. Tetapi tidak dengan hati kita. Beruntunglah hati kita yang masih bisa berkerja dengan baik. Andai saja aku merasa kejadian sepele ini sebagai sesuatu yang biasa, boleh jadi ada hal yang salah dengan hatiku ini. Bersyukurlah kita dikaruniai hati yang masih bisa merasa. Kalau tidak? Celakalah hidup kita.
Terakhir aku ingin menitipkan doa untuk ibu penjaga parkir itu, semoga senantiasa dikaruniai sehat dan semangat dalam menjemput pintu-pintu rezeki. Di jalanan sana banyak ibu-ibu yang memilih untuk menjadi peminta-minta. Aku salut dengan ibu ini, ia lebih memilih menjadi tukang parkir yang tentu tidak mudah, ketimbang hanya seorang peminta-minta. Semoga di lain waktu kita bisa saling mengenal dan berbagi pelajaran. Karena sejatinya setiap peristiwa ialah pelajaran. Sehat-sehat para ibu dan kuat di bumi. ***
*Imam Bukhori, Guru di MAN 1 Tegal. Aktivis IPNU dan enulis Buku “Tak Perlu Mengkhawatirkan Sesuatu Yang Sudah Pasti Untukmu”. Penulis tidak tetap dan aktif menulis beberapa artikel yang dimuat di beberapa media internet untuk mengembangkan hobi.
Semangat menulis mas bukhori…….