Oleh: Slamet Makhsun*
Judul Buku : Linguistik Arab; Pengantar Sejarah dan Mazhab
Penulis : Aziz Anwar Fachrudin
Penerbit: DIVA Press
Cetakan : Pertama, Mei 2021
Tebal Buku: 258 Halaman
Sebagian besar dari apa yang disebut keilmuan Arab-Islam, tidak murni lahir dan orisinal atas prakarsa bangsa Arab sendiri. Seturut dengan penjajakan Islam yang meluas ke berbagai daerah, menghasilkan perjumpaan dengan bangsa lain sehingga terjadilah asimilasi-akulturasi ilmu pengetahuan. Diantaranya adalah ilmu nahwu.
Kendati kali pertama muncul dengan tujuan untuk menjaga Al-Quran, pematangan ilmu nahwu justru kebanyakan dilakukan oleh orang-orang ajam—non-Arab. Misalnya Imam Sibawaih dan Imam Kisa’i yang berkebangsaan Persia, ataupun Imam Ibnu Malik yang berkebangsaan Andalusia yang telah berhasil menyusun Kitab Alfiyah—hingga kini, kitab itu masih menjadi standar pembelajaran bahasa Arab hampir di seluruh pondok pesantren di Indonesia. Memang, kala itu orang Arab banyak disibukkan dalam urusan politik sehingga sedikit yang benar-benar pakem dalam keilmuannya.
- Iklan -
Sejatinya, faktor awal yang menyokong digelutinya ilmu nahwu adalah ketika Islam telah menyebar ke berbagai daerah di luar Arab, yang mau tak mau, bertemu dengan dialek dan bahasa yang berbeda. Hal ini, berimbas pula terhadap lahjah Al-Quran yang terbagi menjadi banyak aliran, sehingga dikhawatirkan akan merubah dan merusak ayat-ayat Al-Quran. Oleh karenanya, pengkodifikasian Al-Quran dibawah perintah Usman bin Affan agar menjadi satu lahjah—yang lalu disebut Mushaf Usmani—merupakan langkah yang sangat jenius.
Setelah Mushaf Usmani diperbanyak dan disebarkan ke berbagai daerah, problematikanya pun tak kunjung selesai. Di era pemerintahan Ali bin Abu Thalib, hal serupa masih terjadi. Banyak orang yang belum paham dengan gramatikal Arab secara utuh. Kali ini, penyebabnya adalah gaya bahasa ‘Ajam (non-Arab) yang mulai mewarnai bahasa Arab. Sampai-sampai banyak orang Arab yang me-rafa’-kan sebuah kata, yang seharusnya dibaca khafdh atau nashab, dan sebaliknya. Di konteks sosial seperti inilah, muncul sosok Abu Aswad Ad-Duali yang berjasa besar dalam peletakan dasar-dasar kaidah ilmu nahwu.
Dalam sebuah riwayat, dikatakan bahwa suatu hari, Abu Aswad Ad-Duali sedang bersama putrinya memandangi langit malam yang indah. Lalu, putrinya berujar, “Ma ahsanu as-sama’i”, dengan maksud untuk mengungkapkan kekagumannya pada isi langit. Namun, Abu Aswad memahaminya lain, karena redaksi kalimat seperti itu digunakan untuk pertanyaan (istifham).
Selain itu, dia juga sering mendengar bacaan Al-Quran orang Arab yang sering salah, imbasnya, hal itu sangat berpengaruh terhadap makna ayat Al-Quran. Ia pun bersegera melaporkannya kepada Ali, sehingga disuruh untuk merumuskan kaidah bahasa Arab. Singkat cerita, setelah Abu Aswad Ad-Duali selesai merumuskan kaidahnya, lalu menyodorkannya kepada Ali. Ali pun menerima dan menambahkan sedikit catatan. Demikian ini, pada kelanjutannya menjadi pondasi ilmu nahwu yang terus dikembangkan sampai abad pertengahan dan dipakai hingga kini.
Pada dasarnya, bahasa Arab masuk dalam rumpun bahasa Semit. Semit sendiri mengacu ke peradaban-peradaban kuno seperti Aram, Phoenisia, Ibrani, Yaman kuno, Babilonia, Assyria, dan Arab. Penemuan arkeologis oleh para ilmuwan abad 18 dan 19, menunjukkan bahwa mereka dulunya adalah satu keluarga. Sehingga, antar rumpun bahasa Semit pun masih memiliki kesamaan, entah dalam pola kalimatnya, kosa kata, ataupun leksikal-leksikal bahasanya.
Salah satu alasan kenapa Al-Quran diturunkan kepada bangsa Arab adalah karena letak geografis dan geopolitiknya yang mendukung. Profesor di Princenton University—Phillip K Hitti—mengatakan bahwa bahasa Arab adalah turunan bahasa Semit yang paling mirip dengan induknya. Hal ini karena suku-suku nomad Arab secara psikologis, biologis, sosial, dan geografis, hidup dalam keterasingan serta kehidupan yang monoton. Karakter yang khas ini, kemudian membentuk lingkungan yang keras dan terisolasi, yakni di Jazirah Arab bagian tengah. Sehingga, bahasa yang digunakan adalah bahasa yang masih murni dan memiliki corak keunikan tersendiri.
Dalam perkembangannya, ilmu nahwu yang dalam era modern disebut linguistik Arab ini, terbagi menjadi banyak mazhab, dua diantaranya mazhab yang paling besar adalah mazhab Bashrah dan mazhab Kuffah.
Secara geografis, Bashrah lebih strategis dibanding Kufah. Daerahnya menjadi transit perdagangan sekaligus dekat dengan Madrasah Jundisapur—pusat pengkajian peradaban Persia—juga letaknya di tengah-tengah sehingga menjadikan Bashrah sebagai titik temu antara budaya Barat dan Timur. Maka tak heran, jika metodologinya sedikit banyak terpengaruh dengan budaya Barat. Misalnya seperti qiyas (silogisme) dan istiqra (induktif) adalah warisan dari filsafat Yunani.
Di waktu yang sama, Bashrah menjadi pusat ilmu kalam sedangkan Kuffah menjadi pusat pengkajian fiqh. Walhasil, kerasionalan ulama Kuffah tidak setajam ulama Bashrah. Oleh karenanya, hanya sedikit ulama Kuffah yang ulung dalam silogisme. Dalam periwayatan syair-syair Arab, mazhab Kuffah tidak sebegitu ketat seperti mazhab Bashrah. Pun demikian, ketika merujuk kosakata bahasa Arab, mazhab Kufah kurang selektif dalam memilih kabilah Arab yang bahasanya masih murni dan tidak tercampur dengan bahasa lain.
Walaupun secara genealogi keilmuan masih tersambung dengan ulama Bashrah, salah satu alasan yang patut dianggap membuat Kuffah sebagai mazhab sendiri, adalah karena telah membuat istilah-istilah khusus yang berbeda dari kajian linguistik Bashrah.
Pada kuncupnya, karena ilmu nahwu cum linguistik Arab ini berhubungan erat dengan Al-Quran, maka menjadi penting bagi umat Islam untuk dipelajari. Keilmuan ini, menjadi kunci bagaimana cara membaca, memahami, serta menafsirkan Al-Quran agar jauh dari kesalahan.
*) Slamet Makhsun lahir tanggal 31 Mei 2001. Alumni PP Muntasyirul Ulum asuhan Kyai Ali Affandi ini memiliki hobi ngopi dan membaca buku. Turut pula bergabung dengan PMII Rayon Pembebasan dan anggota IPNU PAC Mlati, Sleman. Kini menempuh pendidikan di Fakultas Ushuludin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga.
Sekarang tinggal di Asrama Garawiksa Institute yang beralamat di Jln. Gedongkuning, Gg Irawan, RT08/RW34, No. 306, Banguntapan, Bantul, Yogyakarta.