Oleh Miftahul Jannah Safitri
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik. (Q.S. Al-Isra’: 23)
Kereta api masih terus melaju dengan kecepatan tinggi. Aku masih terus menunggu stasiun pemberhentian tempat aku turun. Akhirnya, pada pukul 21.49 kereta telah sampai di stasiun Tulungagung. Aku pun bergegas untuk segera turun dan menunggu temanku yang katanya berjanji untuk menjemput.
Setelah turun dari kereta, gawaiku berdering dengan nada dering yang khas. Tanganku segera merogohnya dari dalam saku yang berada di sebelah kiri tas yang aku tenteng. Ternyata isinya sebuah pesan dari teman sekamarku yang tidak bisa menjemput karena ada urusan mendadak di organisasi yang ia ikuti.
- Iklan -
Aku pun mulai kebingungan dan gelisah. Untungnya aku telah menginstal aplikasi ojek online di gawai kesayanganku.
Akhirnya memesan ojek online menjadi pilihanku. Awalnya aku takut jika tidak mendapatkan driver di waktu yang mendekati malam hari. Jam tanganku menunjukkan pukul 21.45. Aku bersyukur masih ada yang mau menerima orderan. Kulihat ponselku dan seorang pengemudi telah menerima orderanku. Aku memantau aplikasi ojek online yang selalu informatif dalam menginfokan pada pengguna perihal letak driver. Aku mencari-cari driver yang telah sampai dengan mengamati pelat nomor kendaraannya. Aku menghampiri sebuah sepeda berwarna hitam dan melihat kembali nomor pelat sepeda motornya yang persis sesuai informasi aplikasi.
Kemudian, aku pun melesat bersama seorang driver paruh baya. Beliau membuka pembicaraan seputar perjuangan hidupnya membesarkan kedua anak perempuannya.
Dulu sebelum menjadi driver ojek online ia seorang pengemudi becak yang biasa mangkal di Stasiun Tulungagung. Setiap hari istrinya berjualan makanan di warung dekat stasiun. Selepas anak pertama lulus SMA dan bekerja, ia dibelikan sebuah sepeda motor untuk ngojek. Sedangkan untuk putri keduanya setelah lulus SMA ia memperoleh beasiswa untuk melanjutkan pendidikan tinggi, beliau masih terus ngojek untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
“Awalnya saya bingung, Mbak. Anak saya ingin kuliah, tapi alhamdulillah dapat beasiswa nggak usah bayar uang kuliah dan dapat uang saku per bulannya. Saya selalu berusaha agar anak saya mendapatkan kehidupan yang lebih baik daripada bapaknya.”
“Iya, Pak.”
Aku hanya menjawab singkat, karena merasa tertampar sangat keras. Selama aku kuliah rasa malas seringkali bertamu dan aku malah menjamunya dengan baik. Dari cerita bapak tersebut aku kembali mengumpulkan niat dan menata ulang hal-hal yang seharusnya aku lakukan ketika kuliah. Mungkin ini juga menjadi salah satu cara Allah untuk mengingatkan agar belajar bersungguh-sungguh dan bekerja keras untuk mencapai impian.
Sebelum menjadi driver ojek online, beliau seorang tukang ojek konvensional. Ketika anak keduanya pulang kampung di tengah liburan kuliahnya, ia berinisiatif untuk mendaftarkan bapaknya untuk menjadi ojek online. Kemudian ia juga bercerita bahwa ketika mendaftar di kantor ojek online ia dibantu oleh putrinya yang nomor dua. Anaknya tidak ingin bapaknya kepayahan dengan mengayuh becak dengan tenaga manual berupa kaki. Aku benar-benar hanyut hingga meneteskan air mata ketika bapak ojek online tersebut bercerita dengan semangat.
Untuk mengoperasikan aplikasi ojek online ia juga dibantu oleh anaknya. Mulai dari cara menanggapi order, membaca lokasi pelanggan, dan lainnya diajarkan dengan baik. Sungguh, baru kali ini aku mendengar secara langsung cerita anak yang sungguh berbakti pada orang tuanya dan aku sangat salut padanya. Di usia yang mulai senja semangat belajarnya masih seperti anak muda. Aku pun menjadi semakin tersindir karena terkadang bermalas-malasan untuk belajar. Aku juga merasa bersalah pada orang tuaku yang terkadang aku membentaknya jika keinginanku tidak dikabulkan.
Beliau juga mengungkapkan bahwa dengan bergabung dengan ojek online penghasilannya lebih baik daripada sebelumnya. Ketika menjadi tukang ojek becak rasa pegal juga kerapkali dirasakannya. Beliau sangat bersyukur bisa mendapatkan penghasilan yang lebih baik.
“Sedikit banyak rezeki yang diberikan itu perlu disyukuri, Mbak. Kalau kita bersyukur, rasanya … uang yang dikira tidak cukup ternyata cukup.”
Terkadang aku merasa heran, penghasilan yang menurut manusia seperti tidak mungkin untuk menghidupi keluarga nyatanya cukup-cukup saja. Mungkin karena Allah telah menjatah rezeki setiap hamba-hamba-Nya sesuai kebutuhannya. Pada akhirnya sebesar apa pun penghasilan memang tidak bisa menjadi tolok ukur bahwa kita telah cukup menghidupi dan membahagiakan keluarga.
“Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezeki yang telah diberikan Allah kepadamu dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah” (Q.S An-Nahl: 14)
Orang tua selalu mengusahakan yang terbaik untuk setiap anak-anak yang dimilikinya. Tidak ada satu pun orang tua di dunia ini yang menginginkan anaknya merasakan kesusahan yang pernah dialami orang tua. Tidak ada satu pun orang tua yang sempurna, akan tetapi akan selalu ada orang tua yang berusaha menjadi sempurna di mata anak-anaknya.
Aku merasa tertampar mendengar setiap cerita yang dilontarkan oleh bapak ojek online tersebut. Rasa lelah yang tak berkesudahan tak dihiraukan hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup anaknya.
Gaji dan rezeki memang hal yang jauh berbeda. Jika gaji bisa dihitung dengan angka-angka maka hal ini sangat berbeda dengan rezeki.
Menghitung rezeki dengan angka-angka tentu sangat mustahil karena rezeki seseorang tidak akan pernah putus kecuali ia telah meninggal dunia. Dari seorang tukang becak aku belajar bahwa rezeki memang sudah diatur. Hanya Tuhan yang tahu kapan rezeki itu seharusnya diturunkan. ***
*Miftahul Jannah Safitri, tinggal di Balongbendo, Sidoarjo. IG: @miftahul.jannahs