Cerpen Indarka P.P
Hari pertama di bulan puasa memang begitu berat. Aku memutuskan pulang ketika hari mulai petang. Selain karena alasan peluang terbelinya daganganku sudah semakin sempit, aku juga ingin berbuka di rumah saja. Hal itu tentu akan lebih menghemat pengeluaran, daripada harus mampir di warung-warung pinggir jalan.
Sayup-sayup lantunan azan mulai tersiar dari pengeras suara masjid. Kayuhan sepedaku sudah sampai di halaman. Aku segera menyandarkannya pada tiang, dan bergegas masuk ke dalam rumah. Aku bergabung dengan istri dan ketiga anakku yang sedang duduk melihat siaran televisi. Lima gelas teh hangat digelar di tengah-tengah tikar.
“Seadanya ya, Mas.” Istriku menyerahkan satu gelas padaku.
- Iklan -
Aku hanya tersenyum. Dalam hati aku menanggapi, bahwa akulah yang seharusnya perlu bicara begitu. Aku yang mesti bertanggungjawab perihal apa yang akan kami makan setiap hari.
Sementara anak-anakku kompak kembali menatap televisi seusai meneguk teh di gelas masing-masing. Mereka seolah sudah paham, kepulangan ayahnya tak akan membawa apa-apa. Dan memang begitulah keadaannya.
Wabah membuat segalanya jadi memburuk, terutama urusan pekerjaan. Pasalnya, bagi pedagang kecil seperti aku ini, pada saat kondisi normal saja mencari uang susahnya setengah mati, apalagi ditambah kemunculan wabah. Hal itu membuatku mempunyai anggapan bulan puasa tahun ini tidak terasa spesial. Bahkan bisa dibilang yang paling berat dibandingkan tahun-tahun lalu.
Meski masih di awal-awal bulan puasa, aku sudah jauh membayangkan nanti ketika lebaran tiba. Hari suci yang dikenal sebagai hari kemenangan setelah sebulan penuh menjalani laku prihatin. Begitulah kata orang-orang. Sebenarnya, kalau boleh jujur, saat ini aku tak terlampau meyakini penjelasan itu. Aku mencoba berpikir realistis, di tengah kepayahan mencari nafkah, rasanya hari lebaran bukan lagi puncak kemenangan yang sesungguhnya. Menurutku akan datang hari-hari lain yang mengharuskan untuk lebih prihatin lagi.
Kendati aku bukanlah orang yang taat dalam menjalankan agama, bukan berarti apa yang kukatakan itu bermaksud mengingkarinya. Bahkan, sedikit pun aku tak menyangsikan nilai mulia yang terkandung dalam puasa dan hari raya. Adapun alasan utama perihal pendapatku itu karena aku memandang keadaan dengan apa adanya, karena nyatanya situasi wabah tak kunjung membaik juga.
Bayangan hari lebaran yang telah kusinggung tadi, tak lain perihal membeli baju baru. Di tengah impitan keuangan yang sedang kualami, timbul sebuah keraguan yang menghantui setiap waktu. Mampukah membelikan baju baru untuk istri dan anak-anakku?
Bayangan yang seakan menjelma jadi tututan itu membuatku semakin tersudut. Oleh karena keadaan kian sulit, pada bulan puasa ini, aku berniat untuk lebih giat beribadah. Barangkali, kesusahan yang mendera selama ini karena ketidakpatuhanku terhadap perintah-perintah agama.
***
Waktu melaju begitu saja, separuh bulan puasa terlampaui juga. Ternyata aku sanggup melewatinya. Entah. Mungkin karena sudah hampir setahun aku hidup dalam bayang-bayang kemelaratan, sehingga urusan menahan lapar bukan lagi perkara yang mengejutkan. Bahkan jika dipikir-pikir, perbedaan hari-hari biasa dan hari-hari saat puasa hanya terletak pada hitungan pahala yang konon bobotnya dilipatgandakan.
Selama bulan puasa ini aku juga selalu mengikuti salat tarawih. Selain membuat perasaanku lebih tenang, aku juga berharap hal tersebut akan membuat jalan rezeki terbuka lebar lagi, sehingga keluargaku bisa hidup lebih sejahtera.
Sayangnya, pada suatu malam selepas salat tarawih, ketenangan itu seakan buyar setelah Ustaz Salim mengingatkan jemaah akan kewajiban membayar zakat fitrah. Meski perkataan Ustaz Salim sama sekali tidak terkesan memaksa, tetapi terang membuatku bingung mau berbuat apa. Jujur, sudah beberapa tahun belakangan aku tak pernah membayar zakat fitrah, sehingga ketika Ustaz Salim menerangkannya, aku cukup terkejut.
Setelah ceramah selesai, aku pulang dengan langkah gontai. Setibanya di rumah, aku duduk termenung di beranda, berpikir keras perihal cara untuk memenuhi tuntutan-tuntutan yang kian menjeratku. Aku bimbang, tuntutan mana yang mesti kupenuhi lebih dulu: membayar zakat atau membeli baju baru.
Sekira satu jam berlalu, tiba-tiba istriku muncul dari dalam rumah. Ia terlihat setengah kaget melihat keberadaanku.
“Kamu kenapa, Mas? Sedang apa duduk di sini?”
“Kita disuruh bayar zakat,” jawabku sedikit lemas.
Kuterangkan padanya tentang apa yang baru saja kudengar dari Ustaz Salim. “Menurutmu bagaimana?” tanyaku sembari menatapnya dalam-dalam.
Ia menghela napas panjang, lantas mengeluarkannya perlahan. “Mas sanggup mengusahakannya tidak?” Istriku balik bertanya.
Sebenarnya, jika mengacu pada penghasilan setiap hari, tentu saja istriku paham bahwa aku tak mampu. Selama ini hasil penjualan mainan habis untuk keperluan sehari-hari. Jangankan tersisa, buat makan pun ala kadarnya.
“Aku lupa hitungan zakat yang harus dibayar.”
“Keluarga kita ada lima orang, tinggal kalikan dua setengah kilo harga beras.”
Tatapan istriku mendadak beralih ke atas. Ia menggaruk-garuk rambutnya yang terjuntai itu, menuruti apa yang telah kuperintahkan.
“Sekitar seratus lima puluh ribu, Mas.” Ia kembali menatapku serius. “Mas kan bisa pinjam Mbak Warni,” tandasnya.
Mendengar apa yang baru saja istriku katakan, aku mendadak lemas. Usulannya itu jelas sesuatu yang berat untuk aku lakukan. Hubunganku dengan Mbak Warni saat ini menjadi lebih renggang selepas meninggalnya orangtua kami. Lagipula, kendati rumah tak terlampau jauh, aku jarang sekali berkunjung ke rumah Mbak Warni, begitu pula sebaliknya. Tak ingin meneruskan perbincangan, aku lantas beranjak dari beranda, masuk ke dalam rumah.
Tengkuk leher terasa berat. Beban tak lagi sekadar bayang-bayang. Aku memutar otak untuk bisa melewati semuanya. Di tengah kegundahan itu, muncul pikiran untuk tidak membelikan baju baru buat anak-anak.
Dari segi keuangan, hal tersebut setidaknya akan sedikit mengurangi beban yang menderaku. Tetapi jika bicara soal perasaan, ketika kujelaskan pada mereka untuk tidak mengharapkan baju baru, hatiku seperti tersayat. Sakitnya berlipat-lipat.
Alasan utamaku mengesampingkan anak-anak adalah karena anjuran Ustaz Salim waktu itu perihal kewajiban membayar zakat. Adanya kata wajib itulah yang cukup membuatku bergidik. Rasanya harus pikir seribu kali untuk tidak melaksanakannya. Maka dalam hal ini, kupikir ada yang perlu dikorbankan, dan pilihan itu jatuh pada anak-anakku.
Hari-hari telah berlalu, hasil penjualanku masih stagnan. Bahkan karena terbawa oleh semangat yang malah meredup, semuanya jadi bertambah buruk. Aku seperti terjerembab dalam jurang ketidakberdayaan.
Siang yang terik selepas salat di sebuah masjid, aku melanjutkan mengayuh sepeda melampaui rute jalan yang biasa kususuri saban hari. Daganganku masih utuh, oleh karena itu, jika hanya mengandalkan rute biasanya, bisa-bisa aku pulang dengan tangan hampa.
Perjalananku terhenti ketika melihat kerumunan dekat sebuah balai desa. Kuperhatikan di sana terdapat gapura – yang dipakai sebagai jalan masuk dan keluar orang-orang – bertuliskan “Pasar Gombal Klithikan”. Aku yang memandang dengan posisi masih berada di atas sadel sepeda, kemudian berjalan mendekat.
Kuparkirkan sepeda di sebelah gapura itu dan berharap anak-anak kecil bakal tertarik dengan mainan daganganku. Tetapi sudah sekian lama menanti, tak ada satu pun orang yang membeli atau hanya sekadar melihat-lihat. Dengan perasaan kecewa, aku meninggalkan tempat itu.
Aku semakin diselimuti kebingungan. Ada perasaan malu untuk pulang dengan kondisi tanpa penghasilan. Kendati kerap begitu, kali ini rasanya beda. Jangan sampai pilihan mengorbankan anak-anakku berbalas sia-sia.
Merasa tak menemukan pilihan, aku ingat dengan apa yang dikatakan istriku waktu itu. Aku memberanikan diri datang ke rumah Mbak Warni. Kali ini aku mengesampingkan rasa malu. Aku harap Mbak Warni masih mau menerima kedatanganku, syukur-syukur bisa memberi jalan keluar atas masalah yang tengah kuhadapi.
Aku tiba di sana disambut oleh Mbak Warni dan suaminya. Ada perasaan canggung sebenarnya, tetapi semua itu segera kusingkirkan jauh-jauh. Sambutan Mbak Warni dan suaminya itu cukup membuatku lega, bahkan mungkin mereka tak lagi mempersoalkan masalah yang dulu pernah kami alami. Setelah bercakap-cakap sejenak di teras, tiba-tiba Mbak Warni masuk ke dalam rumah. Tak berselang lama, ia keluar membawa plastik besar berwarna hitam.
“Ini baju-baju milik ponakanmu yang sudah tidak muat dipakai lagi,” katanya sambil menyodorkan kepadaku. “Siapa tahu pas kalau yang pakai anak-anakmu,” sambungnya kemudian.
Aku meraih plastik itu, sembari mengucap terima kasih. Aku bersyukur, ternyata Mbak Warni benar-benar dapat meringankan masalahku. Ada secercah harap yang aku tangkap. Perihal apa yang selama ini menjadi beban tersendiri bagiku, sedikit menemukan jawaban.
Ketika pertamuan itu sudah kurasa cukup, aku mengucap pamit. Kugantungkan plastik berisi baju-baju itu di setang sepeda. Aku mengayuh sepeda sedikit laju supaya harapan segera jadi kenyataan.
Akhirnya aku sampai di halaman bertepatan dengan tersiarnya azan isya. Setelah menyandarkan sepeda, aku berjalan masuk ke dalam rumah. Istriku yang sedang duduk bersama anak-anak beralas tikar di depan televisi tersenyum melihat kedatanganku.
“Mas…” Aku hanya membalas dengan senyum sembari sibuk merogoh saku celana. “Tadi Mbak Warni telepon, katanya titip barang untuk anak-anak,” tandasnya kemudian.
Mendengar ucapan itu, aku mendadak kaku. Kulihat anak-anak memandangiku dengan mata yang berbinar-binar. Aku menatap mereka nanar. Aku hanya bergeming kebingungan, dengan posisi tangan yang masih menyangkut di balik saku celana. ***
INDARKA P.P, lahir di Wonogiri (Jawa Tengah). Alumni Fakultas Syariah, IAIN Surakarta. Saat ini bermukim di telatah Kartasura dan bergiat di Komunitas Kamar Kata.