Oleh Nadhif
Setiap manusia berkeinginan hidup bahagia, mereka menciptakan harapan dalam segala lini kehidupannya, dengan kesabaran mereka curahkan segala potensi dalam dirinya untuk mewujudkannya, namun sebagian harapan tersebut tetap tidak dapat terwujud. Dalam menghadapi keadaan yang tidak sesuai dengan harapan, manusia diperintahkan Allah Swt. untuk bersabar.
Inti kehidupan adalah menjalankan perintah Allah Swt., meninggalkan larangan-Nya dan menerima segala keputusan-Nya. Sedangkan ruh ketiga hal tersebut adalah kesabaran. Karena itu kesabaran banyak dikaitkan dengan banyak sikap-sikap lain, seperti kaitannya sabar dengan syukur, sabar dengan tawakal, sabar dengan rida terhadap takdir dan lain-lain.
Keterkaitan sabar dengan banyak sifat menandakan tingginya nilai keistimewaan sikap sabar dibanding sikap yang lain. Selain itu, keterkaitan sabar dengan banyak sikap juga menandakan keluasan makna sabar. Oleh karena itu, sabar tidak hanya sekadar dimaknai sebagai sikap menerima (sikap pasif) sebagaimana pemahaman umum, namun sabar semestinya dimaknai dengan sikap menerima dan berusaha (sikap aktif) untuk menjalankan perintah Allah Swt., menjauhi larangan-Nya dan menerima segala keputusan-Nya. Kesalahan pelaksanaan sabar sebagai sikap pasif akan menyebabkan umat Islam mengalami kemunduran dalam berbagai bidang kehidupan.
- Iklan -
Membangun Kesabaran
Sabar adalah jiwa para auliya Illah, bekal para pembaharu, senjata para pejuang, rahasia kebahagiaan dan kesuksesan, mata air kebaikan, sumber kekuatan dikala tertimpa cobaan, terapi kesehatan mental. Nabi bersabda:
“Tidak ada pemberian yang dikaruniakan kepada seseorang yang lebih baik dan lebih luas daripada sabar.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Nasai, Abu Daud, Tirmidzi).
Kehidupan adalah ladang ujian manusia, maka kesabaran adalah keharusan baginya. Kesabaran berguna untuk mendidik jiwa manusia, menajamkan keimanan dan ketakwaan serta meneguhkan karakter positifnya. Kesabaran akan meningkatkan kekuatan manusia dalam menahan penderitaan, memperbarui kekuatan dalam menghadapi berbagai problem kehidupan serta menggerakkan kesanggupannya untuk terus menerus menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.
Dalam menghadapi terpaan badai cobaan, sebagian manusia sulit dan lama untuk bangkit dari cobaan, meratapi dan mengutuknya sepanjang perjalanan, jatuh dalam jurang keterpurukan dan keputusasaan, menganiaya diri sendiri bahkan tidak jarang mengakhiri hidupnya. Di sisi yang lain, sebagian manusia justru begitu mudah dan cepat bangkit dari cobaan, mensyukuri cobaan dengan penuh senyum keridaan, melihatnya sebagai bentuk kasih sayang Allah, mampu menangkap pembelajaran, hingga meningkatkan kualitas hidupnya. Perbedaan kedua sikap tersebut lahir dari perbedaan kualitas kesabaran.
Untuk membangun kesabaran yang baik, manusia perlu berjuang mendayagunakan tiga potensi dalam dirinya, yaitu kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual. Ketiga kecerdasan ini adalah pintu keluar dari terpaan cobaan. Jika hanya mengandalkan salah satu kecerdasan saja, apalagi sekeadar mengandalkan kecerdasan intelektualnya, maka manusia akan kesulitan bahkan gagal dalam bersabar. Orang yang paling sabar adalah orang yang paling tinggi kecerdasan intelektualnya, emosionalnya dan spiritualnya. Berikut ini adalah kiat-kiat untuk memperbaiki dan meningkatkan kesabaran.
Pertama, memahami hakikat kehidupan dengan benar. Dunia adalah tempat untuk menjalankan tugas suci dari Allah Swt. bukan tempat bersenang-senang menuruti hawa nafsu.
Kehidupan adalah roda yang berputar, manusia terkadang di bawah terkadang di atas. Tidak ada satu pun manusia yang selamanya bahagia, suatu saat pasti merasakan kesedihan. Banyak kejadian yang memang tidak bisa dihindari oleh manusia, seperti kematian orang terdekat, bencana alam, dll. Hal itulah yang menuntut manusia bersabar. Hal ini adalah cara Allah mengetahui dan menguji kualitas manusia, sebagaimana firman Allah dalam surat Ali Imran: 140
“Jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka, maka sesungguhnya kaum (kafir) itu pun (pada perang Badar) mendapat luka yang serupa. Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim.” (Q.S. Ali Imran (3): 140).
Dengan demikian, Segala yang terjadi di muka bumi harus disikapi dengan baik dan benar sebagai bentuk pelaksaan tugas sucinya.
Kedua, cobaan adalah jalan terbaik meraih makna kehidupan. Pengetahuan adalah kekuatan untuk menggapai kesuksesan hidup, tetapi pengetahuan bisa jadi tidak memiliki kekuatan, bahkan bisa hilang, ketika pengetahuan itu tidak diamalkan. Pengetahuan harus diuji agar hidup dan menerangi jiwa manusia. Dengan cobaan, pengetahuan akan bermakna sehingga lekat dalam ingatan, hidup dalam jiwa manusia hingga menyinari setiap langkah-langkahnya.
Pengetahuan yang dilandasi pengalaman adalah kekuatan yang mengantarkan manusia meraih makna hidup. Pengetahuan tanpa pengalaman adalah kekosongan. Hidup tanpa makna adalah sebuah kehampaan. Karena itu ada sebuah perkataan bijak bahwa; “Kehidupan adalah sekolah dan universitas terbaik manusia, sedangkan sekolah dan universitas hanyalah sekadar pembelajaran pengetahuan.”
Semakin banyak cobaan, semakin kaya pengalaman, semakin meningkat kualitas manusia dan semakin bermakna hidupnya. Semakin sedikit cobaan hidup, semakin sedikit pengalaman, semakin sulit menemukan makna hidup. Karena itu cobaan seharusnya dipandang sebagai bentuk kasih sayang terbesar Allah, karunia termegah yang harus disyukuri oleh.
Allah menguji manusia sesuai degan kemampuannya. Allah tidak pernah membebani manusia melewati batas kemampuannya. Cobaan adalah cermin dari kualitas manusia, semakin keras cobaan menandakan semakin berkualitas kehidupan manusia. Nabi bersabda:
“Rasulullah bersabda: manusia yang paling berat cobaannya ialah para nabi, kemudian orang-orang saleh, kemudian orang-orang yang sesudah mereka, kemudian orang-orang selanjutnya.” (HR Ibnu Majah).
Dengan demikian, di balik musibah terdapat anugerah, bahkan apa yang kita anggap musibah sebenarnya adalah anugerah.
Ketiga, menggali hikmah dari peristiwa. Setiap peristiwa adalah rahmat dan anugerah Allah, pembelajaran dan hikmah bagi para bijak. Namun setiap peristiwa adalah siksaan, cobaan dan bencana tanpa nilai dan pembelajaran yang bermakna bagi orang yang tidak bijak.
Untuk menjadi orang bijak, daya pikiran dan nurani harus selalu dibina dan diasah. Mengasah ketajaman pikiran dan nurani tidaklah instan, namun membutuhkan waktu yang lama. Selain waktu yang lama, juga membutuhkan perjuangan untuk selalu istikamah, segera menepis habis perasaan dan pikiran buruk, berjuang menggantinya dengan perasaan dan pikiran yang baik dengan secepatnya, hal itu dapat dilakukan dengan selalu berupaya menelisik sisi-sisi positif dari sebuah kejadian, menekankan pikiran dan perasaan pada hal baik, bukan menekankan perasaan dan pikiran pada hal-hal yang buruk.
Pepatah yang mengatakan: “Orang-orang bijak akan melihat sinar matahari segera menembus setiap mendung dan menyadari dibalik setiap kemalangan dan penderitaan terdapat kebahagiaan yang mereka rindukan.”
Ketika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, biasanya, perasaan dan pikiran manusia menekankan pada hal yang negatif, seperti menekankan bahwa dirinya benar-benar menderita, bahkan menjadi manusia yang paling menderita, padahal di luar sana masih banyak orang yang cobaannya lebih berat dibanding cobaan dirinya. Sikap ini adalah bentuk ketidakmampuan manusia dalam memberdayakan pikiran dan nuraninya dengan baik, membuktikan pula ketidaksopanan manusia pada Allah, karena limpahan kasih sayang Allah lebih luas daripada cobaannya.
Keempat, membiasakan sabar. Hakikat manusia adalah tentang kebiasaan, seperti halnya senyum dengan penuh keramahan, bermuka masam dengan penuh kecuekan, makan dengan tangan kanan, makan dengan tangan kiri. Termasuk kesabaran, kesabaran bukanlah anugerah, tetapi buah perjuangan latihan yang panjang, orang dapat selalu sabar karena ia memang membiasakan diri untuk bersabar, demikian pula orang selalu tergesa-gesa tanpa penuh pertimbangan karena ia memang tidak pernah membiasakannya.
Membiasakan sabar akan mencetak manusia menjadi pribadi yang berakhlak luhur sebagaimana tujuan diutusnya rasul untuk menyempurnakan akhlak. Sabar akan tercermin dalam kemampuan manusia dalam mengendalikan perasaan dan pikirannya dengan baik di tengah kehidupan badai kehidupan, gemar memaafkan, menerima kenyataan hidup dengan penuh keikhlasan dan keridaan sebagai ketentuan Allah Swt. ***
*NADHIF, Mahasiswa Pascasarjana IAIN Surakarta, Guru di Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadiin Tuntang Semarang.