Oleh Sam Edy Yuswanto
Umumnya, manusia baru bisa merasakan nikmatnya kesehatan ketika sedang terserang virus penyakit. Dia baru menyadari bahwa dengan kondisi tubuh yang lemah tak berdaya, dia tidak mampu melakukan beragam aktivitas sebagaimana hari-hari biasanya. Jangankan melakukan aktivitas, bahkan makan dan minum pun tak mampu dilakukannya sendiri. Harus disuapi oleh orang lain.
Namun anehnya, ketika penyakit telah pergi dari raga, dan ketika dia sudah mampu melakukan beragam aktivitas sebagaimana biasanya, dia (lagi-lagi) lupa untuk mensyukurinya. Dia kembali abai untuk menjaga kesehatan. Parahnya bila sampai dia juga abai menjalankan apa yang menjadi kewajibannya terhadap Tuhan. Misalnya, ketika tengah sibuk bekerja atau lelap dalam tidur, dia merasa enggan berhenti sejenak atau bangun untuk menunaikan kewajiban shalat. Dan, ketika suatu hari virus penyakit kembali datang menggerogoti tubuhnya, dia (lagi-lagi) kembali tersadar betapa pentingnya menjaga kesehatan. Saat sakit, dia (biasanya) juga baru merasa lebih dekat dengan Tuhan, misalnya rajin berdoa memohon kesembuhan.
Bicara perihal penyakit, mungkin sebagian kita ada yang bertanya-tanya, sebenarnya untuk apa sih, Tuhan menurunkan penyakit kepada kita semua? Dr. Zaprulkhan, dalam buku Hikmah Sakit; Mereguk Kasih Sayang Ilahi (2016) mengurai keterangan Badiuzzaman Said Nursi, seorang ulama terdahulu yang begitu memahami perihal hikmah yang terkandung di balik penyakit. Menurut Said Nursi, penyakit hadir dalam kehidupan kita untuk mengingatkan sekaligus mempersiapkan datangnya kematian, walaupun penyakit tidak pasti mengantarkan kita menuju pintu kematian. Ini adalah salah satu hikmah di antara sederet hikmah yang bisa dipetik dari penyakit yang biasa menyerang tubuh manusia.
- Iklan -
Dr. Zaprulkhan (dalam bukunya) juga mengisahkan, ada dua orang murid Said Nursi yang tidak begitu pandai membaca dan menulis, yakni Sabri dan Mustafa Wazir Zadah. Keduanya terserang penyakit kronis yang menyebabkan mereka sangat tulus dan setia dalam mendukung dakwah Islam di Turki. Dengan penyakit itu, mereka menjadi orang-orang bertakwa dan mengabdikan diri mereka untuk kepentingan ukhrowi semata. Bersama penyakit itu pula akhirnya mereka berdua mengembuskan napas terakhir menghadap Sang Khaliq. Dalam penglihatan Said Nursi, itulah penyakit yang menyadarkan kedua muridnya tentang maut dan alam akhirat sehingga menyebabkan mereka waspada dan berpacu dalam kebajikan untuk bekal mereka di negeri keabadian.
Kisah yang dialami oleh dua murid Said Nursi tersebut, mestinya dapat kita jadikan sebagai renungan yang mampu menyadarkan kita agar selalu berlomba-lomba dalam berbuat kebaikan, baik dalam kondisi sehat maupun sakit. Meskipun mereka memiliki keterbatasan (tidak begitu pandai baca tulis) akan tetapi mereka memiliki hati yang tulus serta ikhlas dalam mengabdikan hidupnya untuk syiar agama sekaligus menghambakan dirinya kepada Allah Swt. Dengan kata lain, keterbatasan mereka tak membuat mereka merasa rendah diri. Malah keterbatasan tersebut kemudian tertutupi dengan ketulusan hati dalam mengabdi kepada Tuhan dan agamanya.
Belum tentu orang-orang yang memiliki kecerdasan luar biasa memiliki hati dan sikap yang mulia. Bisa jadi kecerdasan dan kepintaran mereka malah justru menjerumuskannya pada kemurkaan Tuhan. Misalnnya, mereka tak memiliki hati yang ikhlas dalam mengabdikan hidupnya di jalan Allah. Bahkan, kesombongan dan keangkuhan mereka di hadapan manusia lain begitu mendominasi kehidupan mereka. Menganggap orang lain yang lebih bodoh, lebih rendah, dan seterusnya.
Bersyukur Saat Sakit
Pada hakikatnya, sakit menjadi cara bagi setiap muslim untuk lebih mendekatkan diri kepada-Nya. Tak hanya itu, dengan perantara penyakit pula, Allah akan menggugurkan dosa-dosa yang pernah dilakukan di masa yang telah lampau, sebagaimana gugurnya daun-daun kering dari ranting-ranting pepohonan. Tentu saja, selama dia berusaha ikhlas dan sabar dalam menghadapi penyakit yang dideritanya.
Perihal penyakit yang katanya dapat menggugurkan dosa-dosa, Zainal Abidin Abu Habib Zain dalam buku Tetap Bahagia di Kala Sakit (2013) menjelaskan sabda Nabi Muhammad Saw. Dalam hadis riwayat Abu Dawud, Nabi Muhammad Saw. bersabda, “Kabar gembira bagimu, wahai Ummul A’la (yang saat itu sedang sakit) karena sesungguhnya sakitnya seorang muslim akan menghilangkan kesalahan-kesalahannya, sebagaimana api menghilangkan karat yang terdapat pada emas dan perak”. Hadis lain, riwayat At-Tabarani (dalam Al-Kaba’ir, 2/1.548), beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala terus menguji para hamba-Nya yang mukmin dengan penyakit, sehingga hilang dosa-dosa dari mereka”.
Bila dengan perantara penyakit, dosa-dosa kita menjadi hilang tak bersisa, maka mestinya kita tak perlu terlalu bersedih dan selalu mengeluh kala sakit sedang menimpa kita. Justru kita harus berusaha bersyukur karena Allah telah menurunkan penyakit yang mampu menyadarkan segala sifat-sifat dan perilaku buruk kita di masa lalu. Bersyukur saat sakit mungkin terdengar aneh dan lucu di mata manusia umum, tapi tidak di hadapan Tuhan. Memang seperti itulah (sabar dan beryukur) sikap yang seyogianya kita lakukan saat sedang sakit. Tentu, seraya terus melakukan ikhtiar penyembuhan misalnya berobat ke dokter, agar Allah segera memberikan kesembuhan pada kita. Karena bagaimana pun, melakukan beragam kegiatan yang bernilai ibadah itu akan terasa lebih nyaman ketika kondisi tubuh dan jiwa kita sedang sehat. Wallahu a’lam bish-shawaab.
*Sam Edy Yuswanto, penulis lepas mukim di Kebumen.