Cerpen Edy Firmansyah
Way Apim tentu saja tak bisa menceritakan perihal mimpi anehnya pada istrinya. Selain ia memang tak mampu menceritakannya, juga bisa-bisa ia akan ditertawai istrinya. Istrinya termasuk salah satu orang yang percaya bahwa mimpi hanyalah bunga tidur. Barangkali memang ada orang yang bisa jadi nabi berdasarkan wahyu yang datang dari mimpi, tapi jelas tak ada lagi nabi terakhir. Dan jika hari ini ada orang-orang yang mengaku dapat wahyu dari mimpi jelas adalah para pembual. Barangkali benar adanya jika mimpi bisa jadi pertanda nasib buruk yang akan menimpa manusia. Tapi nasib buruk bisa diatasi dengan sedekah.
”Sedekah bisa menolak bala. Menolak nasib buruk terus menimpa kita. Asal ikhlas,” kata istrinya ketika Way Apim terjaga dari tidurnya karena mengalami mimpi buruk. Tentu saja Way Apim setuju dengan pendapat istrinya. Sebab begitu orang tuanya dulu mengajarinya.
Tentu saja setiap manusia yang tidur pernah mengalami mimpi. Termasuk Way Apim. Tapi mimpi kali ini benar-benar mengganggu Way Apim. Mimpi itu tak hanya datang sekali. Tapi sudah tiga kali berturut. Mimpi yang sama. Adegan yang sama. Dalam tiga malam tidur-tidurnya. Padahal tiap menjelang tidur Way Apim selalu mengambil wudu dan berdoa. Tapi semua itu tak mempan juga. Dan mimpi itu selalu membuat Way Apim bangun dengan menggigil. Saking seringnya mimpi itu datang dalam tidurnya, Way Apim jadi takut untuk terlelap. Takut bahwa mimpi itu bukanlah mimpi melainkan kenyataannya yang akan dijalaninya. Sebenarnya tidak masalah jika mimpi yang datang adalah mimpi basah. Dan yang mengajaknya bercinta adalah bidadari surga. Mimpi macam itu tentu saja menyenangkan. Way Apim pernah mengalami mimpi basah. Meski bukan dengan bidadari. Tapi bagaimana jika yang datang dalam mimpi adalah malapetaka?
- Iklan -
Karena itu pada hari kelima setelah mimpi itu datang lagi, Way Apim segera mengambil keputusan bulat. Ia merasa barangkali inilah saatnya. Maka tepat lima belas menit sebelum azan subuh berkumandang, mesti hawa dingin bisa membuat rematiknya kumat, ia melangkah menuju empang dan mandi. Setelah melaksanakan salat subuh ia kembali merebahkan tubuhnya ke tempat tidur. Biasanya usai melaksanakan salat subuh, ia akan menyiapkan dagangannya untuk dibawa ke pasar. Tapi kali ini tidak. Ia mengenakan pakaian terbaik yang ia miliki. Tepatnya ia mendandani tubuhnya dengan istimewa seolah hendak berangkat kondangan. Tak hanya itu, ia juga memanggil istrinya. Istrinya tentu saja terheran-heran melihat tingkah suaminya.
“Kenapa kau, Kang? Sakit?” Tanya istrinya.
Way Apim menggeleng. Posisi tubuhnya tidak berubah. Berbaring terlentang di tempat tidur. Kedua tangannya diletakkan di dadanya. Mulutnya terus komat-kamit membaca zikir. Kadang berselawat memuji kebesaran Sang Ilahi. Memuji Kanjeng Nabi Muhammad. Siapa tahu dengan cara begitu setidaknya ia bisa menyambut takdirnya dengan bahagia. Hidup hanya sekali, maka berdoa dan berusahalah berkali-kali agar hidupnya berguna.
“Tolong buntelan sayur digerobak berikan pada Yu Tinah, Mak Siti, Yu Sri, Yu Sulis, dan Kang Rokip,” kata Way Apim.
“Mereka ngutang lagi?” Tanya istrinya. Orang-orang yang disebut suaminya itu adalah para tetangga Way Apim yang kerap berutang belanjaan.
Way Apim kembali menggeleng.
“Semua?”
“Ya. Semua. Dibagi rata.”
“Terus Akang mau jualan apa? Akang sudah gila apa? Kita juga kekurangan, Kang. Kalau Akang sakit dan takut sayuran jadi basi, biar Sutini yang jual ke pasar. Akang istirahat saja,” kata istrinya.
“Sudah tak perlu banyak tanya. Sepertinya yang sering kamu bilang, tiap sedekah pasti ada gantinya. Atas izin Allah. Sebentar lagi akan ada tamu istimewa yang akan mengubah nasib kita selamanya. Aku bersedekah untuk tamu itu,” kata suaminya.
“Tamu? Siapa?”
“Sudahlah. Antarkan saja semua dulu. Dan lekaslah kembali. Agar ketika tamu itu datang kau ada di sampingku.”
Sutini menerawang. Tak mengerti benar apa maksud suaminya. Ia hanya mengangguk saja. Bukankah tidak baik menolak perintah suaminya? Lantas Sutini bergegas meninggalkan kamar. Terdengar suara kelaher sepeda ontel menjauh. Memasuki remang kabut. Menembus gigil pagi.
Way Apim sebenarnya hendak menceritakan perihal mimpi-mimpinya. Tapi tiap kali ia ingin menceritakannya, ia merasa gemetar. Bibirnya kaku. Seolah ada kekuatan ganjil yang membuatnya membisu. Barangkali memang beginilah jadinya. Ia hanya perlu merahasiakannya. Juga pada istrinya. Takdir adalah kesunyian masing-masing.
Dalam mimpi itu, ketika ia berangkat ke pasar, seorang wanita tua berpakaian lusuh dan compang-camping mendadak mencegatnya. Way Apim tak mengenal perempuan tua itu. Perempuan itu menutupi wajahnya dengan kerudung kumal. Yang tampak hanya sepasang bola matanya yang merah bagai bara arang sate.
“Bolehkah aku meminta semua pepayamu, Apim? Aku sangat lapar. Sudah seminggu belum makan.”
“Ambillah sesukamu, Nenek.”
“Tapi aku tak bisa membayarmu, Apim.”
“Tak apa-apa, Nenek. Bahkan meski dirimu malaikat maut sekali pun aku akan memberikannya padamu.”
Nenek tua itu tertawa. Kemudian meraih dua pepaya dari gerobak Way Apim.
“Aku sebenarnya malaikat maut, Apim. Dan aku akan mengambilmu besok. Ada orang-orang yang kuberi semacam tanda-tanda saat aku akan menjemputnya. Tapi ada juga yang kurampas begitu saja nyawanya dari badannya. Kau orang yang beruntung, Apim. Aku memberitahumu. Dan satu hal lagi, tak usah membuat orang lain curiga. Bertindaklah seperti biasa atau segalanya akan berantakan,” kata si nenek tua. Usai mengatakan itu nenek itu lenyap begitu saja seperti asap. Way Apim tejaga dan gemetar. Wajahnya yang legam dan penuh keriput bagai kulit pohon kenitu tua mendadak makin kelam. Dan itu tidak hanya datang sekali. Tapi tiga kali berturut-turut. Bahkan pada mimpi terakhirnya, si perempuan itu bilang: ”Hari ini waktumu, Apim. Bersiaplah. Ikhlaskan segalanya.”
Peristiwa itulah yang membuat Way Apim kini mendekam dalam kamar. Tidak berangkat kerja. Sebab ia tak ingin mati mendadak di pinggir jalan. Way Apim tahu rute perjalanannya sepi jika pagi. Ia tak mau tubuhnya jadi seonggok mayat dan baru ditemukan orang pada siang harinya. Belum lagi jika kemudian tubuhnya dikoyak serigala lapar. Betapa tidak mulianya mati dengan jasad hancur begitu. Karena itu Way Apim memilih menunggu malaikat maut di rumahnya. Setidaknya ia bisa ditemani istrinya di detik-detik kematiannya. Toh, nanti malaikat maut akan datang jua ke rumahnya. Sebab kematian itu pastinya. Di mana pun tempatnya. Way Apim tahu bahwa ia tak bisa menunda kematian. Kematian itu pasti. Tapi Way Apim setidaknya bisa memilih tempat untuk mati.
Pada hari yang ditentukan itu beginilah kejadiannya: Malaikat maut telah menunggu di tempat yang telah disepakati bersama. Sebenarnya bukan Malaikat Izrail yang ditemuinya dalam mimpi yang menyamar sebagai perempuan tua itu. Tapi anak buahnya. Sebab hari itu terlalu banyak kematian yang harus dipungut, dan terpaksa banyak malaikat pembantu Izrail yang ditugaskan untuk mengambil nyawa. Termasuk nyawa Way Apim. Tapi hingga waktunya tiba batang hidung Way Apim belum kelihatan juga. Sementara hari itu jadwalnya begitu padat. Dan malaikat maut pembantu itu tak suka keterlambatan. Sebenarnya malaikat maut pembantu itu sudah hendak melayang ke rumah Way Apim saat matahari telah setinggi galah, namun mendadak ia mendengar suara kelaher sepeda Way Apim dari kejauhan. Dengan sedikit geram ia menjentikkan sebiji papaya menembus ban sepeda Way Apim. Sepeda oleng dan meluncur jatuh ke jurang. Sebuah nyawa lepas dari badan. Secepat kilat malaikat maut menyambar segumpal asap dan membawanya pergi ke langit.
Yang tak pernah Way Apim sadari, Sutini tidak melaksanakan semua yang diperintahkan Way Apim. Ia hanya memberikan sebagian sayur pada para tetangga. Sisanya ia bawa ke pasar untuk dijual agar bisa mendapatkan sedikit uang untuk tabungan. Dan Sutini melewati rute yang biasa dilewati Way Apim. Sementara Way Apim masih berbaring di tempat tidur. Mulutnya komat-kamit membaca zikir. Menunggu takdir. Hingga hari beranjak senja dan azan magrib menggema di udara.
Setelah lelah berbaring dan cemas menunggu istrinya yang tak kunjung kembali, Way Apim bangkit dari tidurnya, kemudian melangkah ke halaman rumahnya dan berhenti tepat di bawah pohon kenitu. Ia memandang jalanan. Sementara gerimis telah jadi logam-logam hujan. Ia menunggu istrinya pulang. Dengan dada penuh debar. Mendadak tubuhnya lunglai.
***
Seminggu kemudian, setelah mengalami tidur yang panjang, Way Apim terjaga pada malam purnama dan berusaha menggerakkan tubuhnya. Tentu saja tak ada yang bisa ia gerakkan, kecuali jari-jari tangan dan kakinya serta matanya yang sesekali berkedip. Sebab tubuhnya diikat rantai. Ia mencoba mengingat semua kejadian yang menimpanya. Kemudian tubuhnya bergetar hebat.
”Tuhan, mengapa kau siksa diriku sedemikian rupa? Mengapa tak kau ambil nyawaku saja!” teriak Way Apim. Tapi yang terdengar hanya suara “Grrrhhh… grrrrh!”
Seorang suster datang. Menyuntikkan penenang. Dan Way Apim kembali tertidur.
“Kita tak bisa membuatnya terus begini,” kata si suster pada dokter yang telah berada di muka pintu ruang isolasi.
“Saya juga tak tahu ini apa. Ilmu saya tak cukup. Saya juga baru pertama kali melihat orang terkena petir, tak mati, tapi tubuhnya mendadak ditumbuhi bulu dan wajahnya pelan-pelan jadi serupa serigala. Kita tunggu saja ahli-ahli dari Jakarta datang. Perintah dari Jakarta kita hanya perlu membuatnya terus hidup.”
*Edy Firmansyah adalah pengarang kelahiran Pamekasan, Madura. Pengelola Komunitas Gemar Baca (KGB) Manifesco, Pamekasan. Pernah menerbitkan buku kumpulan cerpen “Selaput Dara Lastri” (IBC, Yogyakarta, 2010). Pernah menjadi jurnalis Jawa Pos. Karyanya berupa cerpen, puisi dan artikel tersebar di banyak media cetak maupun online, baik nasional dan lokal seperti: KOMPAS, KORAN TEMPO, MEDIA INDONESIA, REPUBLIKA, HU PELITA, SUARA KARYA, KORAN JAKARTA, KORAN SINDO, JAWA POS, Harian SURYA, SURABAYA POST, DUTA MASYARAKAT, LAMPUNG POST, BALI POST, RADAR SURABAYA, RADAR MADURA, MAJALAH ANNIDA, STORY MAGAZINE, MAJALAH SURAMADU, kompas.com, basabasi.co, detik.com, cendananews.com, becik.id, pojokpim.com, apajake.com, magrib.id, biem.co serta dalam antologi bersama. Kini menetap di Sampang-Madura. Bisa dihubungi lewat twitter dengan akun: @semut_nungging atau IG: @edy_firmansyah